Sejarah dan Biografi Lengkap KH. Bisri Mustofa

2 comments
Sejarah dan Biografi Lengkap KH. Bisri Mustofa
Seseorang dianggap sebagai tokoh (figure) besar karena banyak hal. Di antaranya adalah karena karya besar yang ia tulis yang memberikan kontribusi dan manfaat bagi khalayak. Dia adalah “KH Bisri Mustofa” yang merupakan salah satu tokoh besar dalam dunia pendidikan dan pemikiran islam.

1. Nasab dan kelahiran

lahir pada tahun 1915 M[1]  atau bertepatan tahun 1334 H. di kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah. Beliau adalah anak dari pasangan suami istri H. Zainal Mustofa dan Khatijah yang telah memberinya nama Mashadi[2]. Mashadi adalah anak pertama dari empat bersaudara, yaitu Mashadi, Salamah (Aminah), Misbah}[3] dan Khatijah. Selain itu pasangan ini juga mempunyai anak tiri dari suami istri sebelumnya. Sebelum H. Zainal Mustofa menikah dengan Khatijah, beliau menikah dengan Dakilah, dan mendapatkan dua orang anak, yaitu H. Zuhdi dan Hj. Maskanah. Begitu juga dengan Khatijah sebelum menikah dengan H. Zainal Mustofa[4], beliau menikah dengan Dalimin, dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ahmad dan Tasmin.
H. Zainal Mustofa adalah anak dari Podjojo atau H. Yahya. Sebelumnya H. Zainal Mustofa bernama Djaja Ratiban, yang kemudian terkenal dengan sebutan Djojo Must}opo. Beliau merupakan seorang pedagang kaya dan bukan seorang kyai. Akan tetapi beliau merupakan orang yang sangat mencintai kyai dan alim ulama, di samping orang yang sangat dermawan. Dari keluarga ibu Mashadi masih mempunyai darah keturunan Makasar, karena Khatijah merupakan anak dari pasangan Aminah dan E. Zajjadi. E. Zajjadi adalah kelahiran Makasar dari ayah bernama E. Sjamsuddi>n dan ibu Datuk Djijah.
Pada tahun 1923 Mashadi diajak oleh bapaknya untuk ikut bersama– sama   sekeluarga menunaikan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah Haji. Rombongan sekeluarga itu adalah H. Zainal Mustofa, Khadijah, Mashadi (umur 8 tahun), Salamah (umur 5 tahun setengah), Misbah (umur 3 tahun setengah) dan Ma’sum (umur 1 tahun). Kepergian ke tanah suci itu dengan menggunakan kapal haji milik Hasan Imazi Bombay dan naik dari pelabuhan Rembang. Dalam menunaikan ibadah haji tersebut H. Zainal Mustofa sering sakit–sakitan. Sampai menginap wukuf di Arafah, menginap di Mina, T{awaf dan Sa’i juga dalam keadaan sakit. Sehingga beliau harus ditandu. Selesai ibadah haji dan hendak berangkat ke Jeddah untuk pulang ke Indonesia, H. Zainal Mustofa dalam keadaan sakit keras. Disaat sirine kapal berbunyi sebagai tanda kapal akan segera diberangkatkan, wafatlah sang ayah (H. Zainal Mustofa) dalam usia 63 tahun. Jenazahnya kemudian diserahkan kepada seorang Syekh dengan menyerahkan uang Rp. 60,- untuk ongkos dan sewa tanah pemakaman[5]. Sehingga keluarga tidak tahu di mana makam almarhum H. Zainal Mustofa. Sejak pulang dari ibadah haji Mashadi mengganti namanya dengan nama Bisri[6], kemudian akrab dengan sebutan  Bisri Mustofa.
Sejak ayahandanya wafat pada tahun 1923 merupakan babak kehidupan baru bagi Bisri Mustofa. Sebelumnya ketika bapaknya masih hidup seluruh tanggung jawab dan urusan-urusan serta keperluan keluarga termasuk keperluan Bisri menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu sepeninggal H.
Zainal Mustofa (bapaknya), keluarga Bisri merasakan ada perubahan yang besar dari kehidupan sebelumnya. Sepeninggal itu, tanggung jawab keluarga termasuk Bisri berada di tangan H. Zuhdi[7].

2. Pendidikan

  H. Zuhdi kemudian mendaftarkan Bisri ke sekolah HIS (Hollans Inlands School) di Rembang. Pada waktu itu di Rembang terdapat tiga macam sekolah, yaitu:
1.              Eropese School; di mana muridnya terdiri dari anak-anak priyayi tinggi, seperti anak-anak Bupati, asisten residen dan lain-lain.
2.              HIS (Hollans Inlands School); di mana muridnya terdiri dari anka-anak pegawai negeri yang penghasilannya tetap. Uang sekolahnya sekitar Rp. 3,- sampai Rp. 7,- .
3.              Sekolah Jawa (Sekolah Ongko loro); di mana muridnya terdiri anak-anak kampung; anak pedagang, anak tukang. Biaya sekolahnya sekitar Rp. 0,1,- samapi Rp. 1,25,-[8].
 Bisri Mustofa di terima di sekolah HIS, sebab beliau diakui sebagai keluarga Raden Sudjono, Mantri guru HIS yang bertempat tinggal di Sawahan Rembang Jawa Tengah dan merupakan tetangga keluarga Bisri Mustofa. Akan tetapi setelah Kyai Cholil Kasingan mengetahui bahwa  Bisri Mustofa sekolah di HIS, maka beliau langsung datang ke rumah H. Zuhdi di Sawahan dan memberi nasehat untuk membatalkan dan mencabut dari pendaftaran masuk sekolah di HIS.  Hal ini dilakukan karena Kyai Cholil mempunyai alasan bahwa HIS adalah sekolah milik penjajah Belanda yang dikhususkan bagi para anak pegawai negeri yang berpenghasilan tetap. Sedangkan Bisri Mustofa sendiri hanya anak seorang pedagang dan tidak boleh mengaku atau diakui sebagai keluarga orang lain hanya bisa untuk belajar di sana. Kebencian kyai Cholil dengan penjajah Belanda mempengaruhi dalam keputusan ini. Beliau sangat khawatir kelak Bisri Mustofa nantinya memiliki watak seperti penjajah Belanda jika beliau masuk sekolah di HIS. Selain itu kyai Cholil juga menganggap bahwa masuk sekolah di sekolahan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Kemudian Bisri Mustofa masuk di sekolah Ongko 2, beliau menyelesaikan sekolah selama tiga tahun dan lulus mendapatkan sertifikat.
Sebelum berangkat sekolah ongko 2 Bisri Mustofa biasanya belajar mengaji al Qur’an kepada kyai Cholil Sawahan. Dan setelah beliau masuk sekolah ongko 2 beliau tidak bisa mengaji lagi karena waktunya bersamaan. Oleh karena itu beliau memilih mengaji kepada kakaknya yaitu H. Zuhdi. 
Pada tahun 1925 Bisri Mustofa bersama-sama dengan H. Muslich (Maskub) oleh kakaknya H. Zuhdi diantar ke Pondok Pesantren Kajen, pimpinan Kyai Chasbulla>h untuk mondok bulan puasa. Akan tetapi baru tiga hari mereka mondok, Bisri Mustofa sudah tidah kerasan. Akhirnya mereka pulang ke Rembang.
Setelah lulus sekolah di Ongko 2 pada tahun 1926 Bisri Mustofa diperintah oleh H. Zuhdi untuk turut mengaji dan mondok pada kyai Cholil Kasingan. Pada awalnya Bisri Mustofa tidak minat belajar di Pesantren. Sehingga hasil yang dicapai dalam awal-awal mondok di Pesantren Kasingan sangat tidak memuaskan[9]. Hal tersebut disebabkan oleh:
1.              Kemauan belajar di Pesantren tidak ada, karena beliau merasa pelajaran yang di ajarkan di Pesantren sangat sulit, seperti; nahwu, s}orof dan lain-lain.
2.              Bisri Mustofa menganggap kyai Cholil adalah sosok yang galak dan keras. Sehingga beliau merasa takut apabila tidak dapat menghafal atau memahami apa yang diajarkan pasti akan mendapat hukuman.
3.              Kurang mendapat tanggapan yang baik dari teman-teman Pondok.
4.              Bekal uang Rp. 1,- setiap minggunya dirasa kurang cukup[10].
Setelah tidak kerasan maka Bisri Mustofa berhenti mondok dan selalu main-main dengan teman-teman sekampungnya. Kemudian beliau tidak mondok beberapa bulan, maka pada permulaan tahun 1930 Bisri Mustofa diperintahkan untuk kembali lagi ke Kasingan untuk belajar mengaji dan mondok pada kyai Cholil. Bisri Mustofa kemudian dipasrahkan oleh ipar kyai Cholil yang bernama Suja’i. Di Pesantren itu, Bisri Mustofa tidak langsung mengaji kepada kyai Cholil. Akan tetapi beliau terlebih dahulu belajar mengaji kepada Suja’i. hal ini dilakukan selain Bisri Mustofa belum siap mengaji langsung kepada kyai Cholil juga untuk membuktikan kepada teman-temannya bahwa beliau akan mampu dan untuk mempersiapkan diri nantinya mengaji secara langsung kepada kyai Cholil. Bisri Mustofa tidak diajarkan kitab-kitab yang macam-macam, tetapi beliau hanya diajarkan kitab Alfiyah Ibnu Malik[11]. Sehingga setiap hari yang dipelajari hanya satu kitab itu saja. Pada akhirnya Bisri Mustofa menjadi santri yang sangat menguasai kitab tersebut.
Setelah selama dua tahun beliau mempelajari kitab Alfiyah maka ketika ada pengajian kitab Alfiyah oleh kyai Cholil sendiri, maka Suja’i mengizinkan Bisri Mustofa untuk ikut serta dalam pengajian tersebut dan diharuskan untuk duduk paling depan agar lebih paham serta dapat dengan cepat menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan oleh kyai Cholil. Setiap ada pertanyaan dari kyai Cholil, maka Bisri Mustofa lah santri pertama yang ditanya dan dengan mudah beliau menjawab pertanyaan. Sehingga mulai saat itu teman-teman santri mulai memperhitungkan seorang Bisri Mustofa dan selalu menjadi tempat rujukan teman-temannya apabila mendapat kesulitan pelajaran[12].
Satu tahun kemudian Bisri Mustofa mulai ikut mengaji kitab Fath}ul Mu’i>n[13]. beliau mempelajarinya secara sungguh-sungguh sebagai mana beliau mempelajari Alfiyah. Setelah selesai belajar kedua kitab tersebut (Alfiyah dan Fath{ul Mu’i>n), maka barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang lain, Seperti; Fath{ul Wahhab, Iqna>’, Jami>’ul Jawami’, Uqudul Juman dan lain-lain.
Sejak tahun 1933 Bisri Mustofa sudah dipandang sebagai santri yang memiliki kelebihan. Sehingga teman-temannya yang lain selalu menjadikan sebagai rujukan. Pada tahun itu pula adiknya (Misbah) dimasukkan juga di pondok Kasingan. Sehingga biaya hidup pun menjadi bertambah. Oleh H. Zuhdi beliau dikasih uang Rp. 1,75,- untuk biaya hidup dua orang. Karena merasa kurang cukup maka Bisri Mustofa nyambi jualan kitab yang beliau ambil dari toko kakaknya H. Zuhdi, keuntungan dari penjualan tersebut dijadikan tambahan untuk biaya di pondok14
Pada tahun 1932 Bisri Mustofa minta restu kepada kyai Cholil untuk pindah ke Pesantren Termas yang diasuh oleh kyai Dimyati. Pada tahun itu kebanyakan temen-temen Bisri Mustofa melanjutkan mengaji ke Termas, seperti Thoyib, Fatchur Rachman dan Anwar. Permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh sang kyai. Bahkan kyai Cholil dengan nada lantang dan keras melarang Bisri Mustofa untuk ke Termas. Beliau mengatakan bahwa di Kasingan pun Bisri Mustofa tidak akan bisa menghabiskan ilmu yang diajarkan. Bisri Mustofa tidak boleh ikut-ikutan dan meniru teman-temannya yang mau mengaji ke Termas. Kyai Cholil tidak meridhoi Bisri Mustofa untuk pergi ke Termas. Akhirnya Bisri Mustofa menuruti titah sang kyai dengan tidak jadi pergi ke Termas. Beliau tidak berani melanggar titah kyai Cholil. Kemudian Bisri Mustofa tetap tinggal di Kasingan[14]
Akhirnya pada bulan Sya’ban tahun 1934 Bisri Mustofa diajak oleh kyai Cholil ke Tuban Jawa Timur. Kepergian tersebut tidak jelas dan kenapa Bisri Mustofa diajak. Setelah sampai di Jenu, di rumah kyai Husain, kyai Cholil berkata kepada Bisri Mustofa:”Engkau mau tidak saya akui sebagai anak saya dunia akhirat?”, tentu saja Bisri Mustofa langsung menjawab; “Ya mau Syaikhuna>”. Kyai Cholil terus berkata: “Kalau begitu engkau harus patuh kepadaku”. Bisri Mustofa pun diam sebagai tanda tidak menolak. Kemudian kyai Cholil berkata lagi: “Engkau akan saya nikahkan dengan putri kyai Murtadho Makam Agung Tuban. Putrinya itu ayu, manis dan bapaknya kyai Murtadho adalah seorang kyai yang alim, beruntung engkau menjadi menantunya”. Akan tetapi Bisri Mustofa memberanikan diri untuk menolak perintah untuk menikah itu. Beliau merasa belum pantas untuk menikah, karena ilmu yang beliau dipelajari masih sangat kurang. Kyai Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri Mustofa akan dikawinkan dengan putri seorang kyai besar dan alim agar nantinya beliau menjadi seorang alim juga[15].
Tanpa diberikan kesempatan menjawab, Bisri Mustofa langsung diajak ke rumah kayai Murtadho Tuban. Di tempat situ sepertinya sudah dipersiapkan segala hal untuk menerima tamu kyai Cholil dan Bisri Mustofa yang akan melakukan khit}bah kepada kyai Murtadho. sesampai di rumah tujuan, Bisri Mustofa merasa beruntung karena sang putri yang akan dikhit}bah ternyata lari dan bersembunyi ketika melihatnya. Hal ini yang dijadikan alasan Bisri Mustofa untuk menolak perintah menikah. Tetapi kyai Cholil sudah melakukan perundingan dengan kyai Murtadho bahwa keputusan menikahkan Bisri Mustofa dengan putri kyai Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan juga pada tanggal 7 bulan Syawwal tahun 1934, kyai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama putrinya untuk Khit}bah dan dilangsungkan dengan pernikahan.
Pada tanggal 3 Syawwal 1934 Bisri Mustofa dengan ditemani Mabrur meninggalkan Rembang tanpa pamit kepada siapa pun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penolakan dari perintah nikah. Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang, Kaliwungu, Kendal dengan berbekal uang pas-pasan. Setiap mereka mampir ke tempat teman atau orang tua teman, mereka diberi tambahan bekal. Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih. Rantauan yang paling lama mereka tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon  Kendal. Setelah satu bulan lebih lamanya mereka pulang ke Rembang. Bisri Mustofa langsung menghadap kyai Cholil dan meminta maaf atas perlakuannya tersebut. Dijabatnya tangan kyai Cholil, tetapi tanpa sepatah kata pun yang terucap dari mulut kyai Cholil. Waktu Bisri Mustofa mau pamit kembali, beliau pun menjabat tangan kyai Cholil. Tetapi sang kyai masih saja berdiam diri. Seperti biasanya Bisri Mustofa mengikuti kembali pelajaranpelajaran di Pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri Mustofa sama sekali tidak ditanya oleh kyai Cholil sebagai mana biasanya[16].
Hal ini membuat Bisri Mustofa merasa dikucilkan oleh kyai Cholil. Kejadian tersebut berlangsung selama setahun lebih dan berakhir dengan berita yang menurut Bisri Mustofa sungguh di luar dugaan. Berita itu adalah keinginan kyai Cholil untuk mengambil Bisri Mustofa sebagai menantunya. Bisri Mustofa akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Ma’rufah.
Berita tersebut beliau dapat dari ibunya ketika beliau pulang ke rumah Sawahan. Ibunya menceritakan bahwa kyai Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri Mustofa untuk dijadikan sebagai menantunya. Bisri Mustofa kemudian mengalami sebuah kebingungan serta kebimbangan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat Ibu dan keluarganya, termasuk kakaknya H. Zuhdi menyetujuinya maka hati Bisri Mustofa menjadi mantap dan setuju untuk menikah. Sehingga setelah segala sesuatunya dipersiapkan maka pada tanggal 7 Rajab 1354 H. atau bertepatan dengan bulan Juni 1935 dilaksanakan sebuah akad nikah antara Bisri Mustofa dengan Ma’rufah binti kyai Cholil. Pada waktu itu Bisri Mustofa berusia 20 tahun dan Ma’rufah berusia 10 tahun.
Setelah menikah status Bisri Mustofa menjadi menantu dari kyai Cholil (pengasuh pondok Kasingan). Sehingga beliau harus ikut membantu mengajar kitab-kitab kepada para santri. Pada bulan Sya’ban pada tahun perkawinan Bisri Mustofa dengan Ma’rufah yaitu tahun 1935, kyai Cholil memerintahkan Bisri Mustofa untuk turut khataman kitab Bukha>ri> Muslim[17] kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari> di Tebu Ireng Jombang Jawa Timur. Pengajian mulai tanggal 21 Sya’ban 1354 H., tetapi yang dibaca kitab Muslim dan Tajrid Bukha>ri>. Pada tanggal 10 Ramadhan 1354 H. KH Hasyim Asy’ari jatuh sakit dan pengajiannya dilanjutkan oleh KH Ilyas untuk meneruskan pengajian kitab Muslim dan KH Baidhowi untuk meneruskan pengajian kitab Tajrid Bukha>ri>[18].
Sebagaimana telah diketahui Bisri Mustofa telah menjadi menantu kyai Cholil. Menjadi menantu kyai enak-enak susah. Bagi yang pintar memang enak karena bisa langsung ikut mengajar. Tetapi bagi yang ilmunya pas-pasan adalah suatu masalah yang susah dan membingungkan. Hal ini yang dipahami oleh  Bisri Mustofa. Para santri menganggap sebagai orang yang pintar dan menguasai banyak ilmu. Akan tetapi, Bisri Mustofa sendiri merasa bahwa beliau belum mampu dan belum cukup ilmu. Akan tetapi para santri tidak percaya dan menganggap hal itu dilakukan oleh Bisri Mustofa sebagai bentuk sikap yang tawaddhu’. 
Terlebih dengan telah wafatnya kyai Dimyati Termas, maka banyak santri-santri dari sana yang pindah ke Kasingan untuk melanjutkan mengaji. Kebanyakan mereka meminta untuk mengaji kepada Bisri Mustofa dengan kitab-kitab yang belum pernah Bisri Mustofa pelajari. Akhirnya Bisri Mustofa menggunakan prinsip belajar candak kulak (belajar sambil mengajar). Beliau belajar atau bermusyawarah membaca kitab di Karanggeneng bersama kyai Kamil dan kyai Fadholi. Hasil musyawarah tersebutlah yang diajarkan kepada para santrinya. Sehingga jadwal mengaji di Pesantren harus disesuaikan dengan jadwal musyawarah Bisri Mustofa di Karanggeneng. Jika di Karanggeneng libur maka di Kasingan pun juga ikut libur Bisri Mustofa kehabisan bahan.
Tidak betah dengan model candak kulak, Bisri Mustofa ingin meninggalkan Rembang untuk belajar lagi dan memperdalam ilmu. Sehingga ketika musim haji tiba, Bisri Mustofa nekat pergi ke Mekkah dengan uang tabungan dan hasil jual kitab Bijurumi Iqna>’, kitab milik kyai Cholil, kyai Cholil memberikan izin kepada Bisri Mustofa dan membantu biaya keberangkatan dengan menjual kitab tersebut. Harga tiket berangkat haji waktu itu Rp. 185,-[19]
Pada tahun 1936 berangkatlah Bisri Mustofa ke Mekkah untuk ibadah haji tanpa bekal yang cukup. Selama di Mekkah beliau menumpang di rumah Syaikh Chamid Said sebagai khadam atau pembantu. Menjelang rombongan haji pulang ke tanah air, Bisri Mustofa sedih teringat bahwa dirinya menjadi menantu seorang kyai dengan ilmu yang sangat pas-pasan. Sehingga bersama dua orang temannya, yaitu; Suyuthi Cholil dan Zuhdi dari Tuban, Bisri Mustofa memutuskan bermukim untuk memperdalam ilmunya di Mekkah. Di sinilah Bisri Mustofa berguru pada kyai Bakir, Syaikh Umar Chamdan al Mag}ribi, Syekh Maliki, Sayyid Amin, Syekh H{asan Masysyat}, Sayyid Alawi>, dan kyai ‘Abdul Muhaimin.
Selama setahun  Bisri Mustofa belajar di Mekkah. Pada musim haji berikutnya Bisri Mustofa mendapat surat dari kyai Cholil yang isinya bahwa beliau hares segera pulang kembali ke Rembang. Jika Bisri Mustofa tidak mau pulang maka tidak akan diakui sebagai anak dunia akhirat. Dengan berat hati akhirnya Bisri Mustofa bersama kedua temannya pulang kembali ke Rembang pada tahun 1937 M.
Status Bisri Mustofa menjadi menantu dari kyai Cholil (pengasuh pondok Kasingan) membuat beliau harus ikut membantu mengajar kitab-kitab kepada para santri. Apalagi pada tahun 1937 setelah Bisri Mustofa kembali dari Mekkah, maka tugas dan waktu mengajarnya semakin bertambah. Bisri Mustofa merasa puas atas pengajaran yang beliau sampaikan dapat mudah dipahami oleh para santri. Hal tersebut berjalan sampai satu setengah tahun. Kemudian datanglah musibah yang besar, yaitu pada tanggal Rabius\s\a>ni>
1358 H. (1939 M.), mertua dan sekaligus gurunya yaitu Syaikhuna> kyai Cholil wafat. Selanjutnya tanggung jawab sebagian besar mengurus Pesantren menjadi tanggung jawab Bisri Mustofa di samping yang lain[20].
Setelah wafatnya kyai Cholil, Bisri Mustofa tidak lagi tinggal di kamar pondok, tetapi tinggal bersama-sama ibu mertua dan keluarga lainnya. Bisri Mustofa bersama istrinya mendapat dua kamar yang dijadikan sebagai tempat tidur dan satunya sebagai ruang tamu.
Ketika bapaknya Bisri Mustofa masih hidup yaitu H. Zainal Mustofa masih hidup, beliau telah membeli sepetak tanah di Kasingan sebagai wakaf. Sebelum tanah tersebut digunakan H. Zainal Mustofa terlebih dahulu wafat.
Sehingga oleh Bisri Mustofa tanah tersebut dimanfaatkan sebagai rumahnya dengan memindah rumah dapur (omah pawon: Jawa) yang berada di Sawahan ke Kasingan tersebut. Atas izin keluarganya rumah dapur tersebut didirikan di atas tanah wakaf. Bisri Mustofa dan istrinya bertempat tinggal di rumah dapur tersebut sampai mempunyai dua anak (Cholil dan Mustofa). Setelah itu mereka pindah ke Sawahan bertempat di rumah Sisir (jalan Kartini).
Kepindahan tersebut dilakukan ketika itu Bisri Mustofa harus pergi setiap pagi ke Pati Jawa Tengah untuk bekerja dan sorenya baru kembali, selain itu Bisri Mustofa merasa ada kekurangcocokan dengan saudaranya, kyai ‘Abdullah Zaini. Di jalan Sisir tersebut Bisri Mustofa tinggal selama satu setengah tahun. Setelah itu mereka kemudian menyewa rumah kakanya, H. Zuhdi di Sawahan sebesar Rp. 7,5/bulan[21].

3. Karir

Pada akhir tahun 1945 terjadi pembagian tanah dan rumah peninggalan H. Zainal Mustofa. Dalam pembagian tersebut Bisri Mustofa mendapat bagian rumah di jalan Sisir (jalan Kartini) bersama kakanya yaitu Maskanah. Selain itu beliau juga mendapatkan tanah kosong di Jalan Mulyo 3. Sedangkan saudara-saudaranya juga mendapatkan bagian yang adil, termasuk juga mendapatkan tanah kosong di sekitar Jalan Mulyo 3. Oleh  Bisri Mustofa tanah-tanah tersebut dibeli dan menjadi hak milik Bisri Mustofa. Kemudian Bisri Mustofa pindah pindah rumah dari Kasingan ke Leteh di jalan Mulyo tersebut. Di Leteh inilah kemudia Bisri Mustofa membangun pondok Pesantren dengan nama Raud}atut} T{alibi>n. pesantren tersebut merupakan kelanjutan dari Pesantren kyai Cholil di Kasingan yang bubar pada masa pendudukan Jepan pada tahun 1943 M. sebelum dinamakan Pesantren Raud}atut} T{alibi>n, Pesantren yang dibangun oleh Bisri Mustofa tersebut dikenal dengan sebutan Pesantren Rembang saja. Sebagai mana Pesantren-pesantren lain yang ada di Jawa, misalnya Pesantren Lirboyo, Pesantren Krapyak, Pesantren Sarang, Pesantren Tebu Ireng dan lain-lain. 
Kemudian pada tahun 1955-an para santri dan pemuda meminta kepada Bisri Mustofa untuk memberikan nama Pesantren Rembang tersebut. Kemudian Bisri Mustofa  memberikan nama Pesantren Rembang tersebut dengan nama Raud}atut} T{alibi>n. akhirnya Pesantren Rembang tersebut populer dengan nama Pesantren Raud}atut} T{alibi>n atau dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut Pesantren Taman Pelajar Islam (TPI).
Dalam pernikahannya dengan Nyai Ma’rufah binti kyai Cholil, kyai
Bisri dikaruniai delapan orang anak[22], yaitu; 
1.          Cholil (lahir pada tanggal 12 Agustus 1942) 
2.          Mustofa (lahir pada tanggal 10 Agustus 1943) 
3.          Adib (lahir pada tanggal 30 Maret 1950) 
4.          Faridah (lahir pada tanggal 17 Juni 1952) 
5.          Najihah (lahir pada tanggal 24 Maret 1955) 
6.          Labib (lahir pada tahun 1956) 
7.          Nihayah (lahir pada tahun 1958), dan 
8.          Atikah (lahir pada tanggal 24 Januari 1964). 
Perjalanan kyai Bisri kemudian  mengalami berbagai dinamika dan cobaan seiring dengan perjalanan waktu dengan kondisi zaman waktu itu. Seiring dengan perjalanan waktu itu pula tanpa sepengetahuan keluarganya termasuk istrinya sendiri, kyai Bisri menikah lagi dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa Tengah yang bernama Umi Atiyah. Peristiwa tersebut terjadi kira-kira pada tahun 1967-an. Ketika itu kyai Bisri mendirikan Yayasan Muawanah Lil Muslimi>n (YAMU’ALLIM). Pernikahan kyai Bisri yang kedua kalinya itu tanpa persetujuan oleh istri kyai Bisri yang pertama yaitu Nyai Ma’rufah. Sehingga sampai sekarang Nyai Ma’rufah tidak menganggap bahwa Umi Atiyah adalah istri kedua dari suaminya. Keduanya pun tidak perenah saling ketemu kecuali pada saat kyai Bisri wafat dan istrinya yang kedua itu datang ke Rembang untuk melayat. Kedatangannya tersebut tidak dianggap oleh Nyai Ma’rufah sebagai istri kyai Bisri, Nyai Ma’rufah menganggapnya sebagai tamu seperti para pelayat lainnya. Berbeda dengan Nyai Ma’rufah, Putra tertuanya sendiri adalah KH Cholil Bisri mengakui bahwa Umi Atiyah adalah istri yang kedua dari kyai Bisri dan merupakan ibu tirinya. Dalam pernikahannya dengan Umi Atiyah, kyai Bisri dikarunia satu orang anak laki-laki yang bernama Maimun[23].

4. Wafat

KH Bisri Mustofa wafat pada hari Rabu tanggal 17 Pebruari 1977 (27 S{afar 1397 H.), menjelang Asar di Rumah Sakit Umum Dr. Karyadi Semarang karena serangan jantung, tekanan darah tinggi dan gangguan pada paru-paru. Seminggu sebelumnya, pada tanggal 2 Pebruari 1977, KH Bisri Mustofa masih menghadiri pengajian di Kragan Rembang. Tiga hari kemudian pada tanggal 5 Pebruari 1977, beliau berada di Gedung Olahraga Semarang Jawa Tengah untuk berpidato dalam rangka Harlah PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Sehari kemudian KH Bisri Mustofa pergi ke Jakarta mengurus keberangkatan putranya yaitu; M. Adib Bisri ke Arab Saudi yang akan melanjutkan studi ke Riyad}. Selain itu beliau juga menyelesaikan beberapa urusan dengan Majelis Syuro PPP. Sepulangnya dari Jakarta, pada tanggal 10 Pebruari beliau langsung pergi ke Purwodadi, Grobogan. Dalam kondisi sakit beliau tetap memaksakan diri untuk mengajar di Pesantren. Sehabis mengajar santri-santrinya, yaitu pada tanggal 11 Pebruari KH Bisri Mustofa pergi ke Jombang untuk suatu urusan dengan Rais ‘Am PBNU KH M. Bisri Syamsuri[24].
Tidak ada tanda-tanda bahwa KH Bisri Mustofa akan wafat. Tapi beberapa orang yang dekat beliau mengatakan bahwa dibanyak kesempatan pidato dakwahnya pada hari-hari terakhir beliau banyak mengulas soal ukhrowi lebih dari biasanya. Sepulang dari Jombang, beliau benar-benar jatuh sakit. KH Bisri Mustofa memerintahkan putranya untuk memanggil Dokter. Tekanan darah yang sangat tinggi dan keletihan menimbulkan komplikasi.
Akhirnya pada tanggal 14 Pebruari 1977 beliau harus diopname di Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang. Tetapi keadaan sudah terlamabat, komplikasinya demikian berat sehingga detak jantung dan paru-parunya sudah tidak normal lagi. Dalam keadaan sakit itu KH Bisri Mustofa diketahui tidak pernah absen melaksanakan shalat fardhu walau pun dalam keadaan lemah sekali pun.
Meski sudah bekerja dengan keras, kesanggupan Dokter sudah maksimal. Tetapi Allah berkehendak lain, seminggu sebelum kampanye pemilu 1977, pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Pebruari 1977 menjelang Asar KH Bisri Mustofa kembali ke Sang Maha Pencipta. Beliau wafat dengan tenang, dengan senyum dan wajah kemerahan tanda seseorang yang meninggal dengan H{usnul Khatimah. Selepas Isya’ jenazah dibawa ke Rembang diantar oleh Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam serta tokoh-tokoh Jawa Tengah lainnya. Sepanjang jalan Semarang – Rembang, rakyat berderet di sepanjang jalan untuk memberikan penghormatan terakhir.
Pada saat pemakaman KH Bisri Mustofa, sebagian warga masyarakat Rembang khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya berdatangan dan melakukan ta’ziyah (melayat) untuk memberikan pernghormatan terakhir kepada Almag{furlah, ribuan warga rela untuk berdesak-desakan untuk menghadiri upacara pemakaman. Tidak jarang yang berebutan untuk mencium pipi Almag{furlah sebagai bentuk kenangan dan penghormatan terakhir[25].
Pada saat pemakaman KH Bisri Mustofa, sebagian warga masyarakat Rembang khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya berdatangan dan melakukan ta’ziyah (melayat) untuk memberikan pernghormatan terakhir kepada Almag{furlah, ribuan warga rela untuk berdesak-desakan untuk menghadiri upacara pemakaman. Tidak jarang yang berebutan untuk mencium pipi Almag{furlah sebagai bentuk kenangan dan penghormatan terakhir[26].      

5. Pergerakan Dan Perjuangan KH Bisri Mustofa

Sebagaimana kita ketahui bahwa Bangsa Indonesia telah bertahuntahun lamanya dijajah oleh kolonialisme Belanda. Hal ini membuat rakyat Indonesia menjadi sangat menderita. Akhirnya pada tahun 1825 muncul suatu pergerakan untuk melawan kolonialisme bangsa Indonesia terutama oleh para ulama            yang             dipelopori        pangeran          Diponegoro[27], putra    Sultan Hamengkubuwono III[28]. Akan tetapi pada tanggal 28 Maret 1830 dengan tipu muslihat belanda maka pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado sampai wafatnya[29]. Para ulama yang berjuang bersama-sama pangeran Diponegoro kemudian lari dan menyembunyikan diri ke gunung-gunung, desa-desa terpencil, di tempat-tempat tersebut para ulama mendirikan tempat-tempat pengajian untuk dijadikan basis perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Setelah pergerakan terhenti untuk beberapa tahun, kecuali insideninsiden kecil yang ada di daerah-daerah, mulailah bermunculan pergerakanpergerakan seperti; pergerakan Budi Utomo oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo pada tahun 20 maret 1908[30]. Kemudian pada tahun 1912 muncul pergerakan yang dinamai Syarikat Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi dan H.O.S. Tjokroaminoto, selanjutnya dengan tahun yang sama berdiri Muh}ammadiyah dengan pimpinan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Tidak ketinggalan juga para ulama yang berfaham Ahlussunnah Wal Jama’ah mendirikan organisasi keagamaan yang bernama Nahdhotul ‘Ulama>’ (NU) pada tahun 1926 dengan pimpinan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah di Jombang. Setelah itu pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan pimpinan Ir. Soekarno[31]. Kesemuanya merupakan wadah dan alat perjuangan melawan kolonialisme Belanda untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pada bulan Oktober 1941, KH Bisri Mustofa dikaruniai anak pertama yang dinamai Cholil. Akhirnya pada tahun itulah tepatnya tanggal 8 Desember 1941 Jepang memutuskan perang melawan sekutu. Pada bulan Maret 1942 Jepang mendarat di Jawa. Kemudian pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda sebagai antek sekutu menyatakan takluk dan menyerah kepada tentara Jepang, Dai Nippon (Jepang Raya)[32]. Jauh sebelum Dai Nippon mengumumkan perang melawan sekutu, Belanda telah sibuk melawan perangkap maut di mana-mana dan membuat bunker perlindungan, Pengawasan diperketat. Jembatan yang akan dilalui Dai Nippon dihancurkan. Namun kebahagian rakyat Indonesia menyambut kedatangan Jepang akhirnya pudar karena Jepang juga berubah menjadi kolonialisme baru, karena biaya perang yang begitu tinggi, Jepang juga menguras darah rakyat Indonesia sekaligus menjadikannya tentara di tanah jajahannya sendiri[33].
 Dunia pesantren gempar karena para santri takut dimintai milisi suka rela memperkuat barisan Belanda untuk menghadapi Jepang. Pesantrenpesantren menjadi lengang karena para santri jadi pulang ke kampung halamannya masing-masing. Tak terkecuali Pesantren Kasingan. Padahal NU telah mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Batavia agar para santri tidak dikenakan wajib militer. Permintaan tersebut dikabulkan, tetapi berita tersebut tidak sampai ke Pesantren di Rembang. Pondok Pesanten sudah terlanjur sepi ditinggalkan para santri. Sehingga pondok Kasingan menjadi bubar, para santri semuanya pulang. Kyai Abdullah Zaini mempersilahkan para santri untuk pulang ke rumah masing-masing jika tidak tabah dan kuat menghadapi semua musibah tersebut. Waktu itu tersiar jika terjadi perang dan Jepang mendarat, maka kereta api, bus dan kendaraan umum lainnya tidak akan jalan, pos surat maupun pos wesel akan menjadi putus.
Situasi yang mencekap itu menyebabkan KH Bisri Mustofa dan keluarganya meninggalkan kota Rembang dan mengungsi ke Sedan sebelum Jepang mendarat, setelah itu saudara-saudara KH Bisri Mustofa seperti H.
Zuhdi sekeluarga, Nasukha sekeluarga, H. Mukhtar sekeluarga menyusul ke Sedan untuk mengungsi juga. Hal ini dilakukan karena menurut beliau akan terjadi pertempuran di pantai kota Rembang sehingga hal tersebut harus dihindari. Akan tetapi kenyataan membuktikan lain, sebab selain di tempattempat sekitar pantai, Jepang juga mendarat di Kragan[34]. Dari Kragan kemudian di desa karangasem, Jepang terus mendarat di Sedan yaitu tempat pengungsian keluarga KH Bisri Mustofa. Betapa khawatir dan takutnya KH Bisri Mustofa dan keluarga mendengar bahwa tentara Jepang berada di Sedan[35].
Rakyat sanagt ketakutan dan berada dalam keadaan yang sangat menderita. Jepang bertindak seenaknya sendiri memperlakukan orang. Bila ada wanita cantik dikejar dan entah dibawa ke mana. Sehingga banyak wanita yang mencoreng muka dengan arang agar tidak kelihatan wajah aslinya. Jepang menyuruh warga untuk memanjat pohon kelapa, jika mereka haus. Karena mereka sangat suka dengan air kelapa muda. Hal itu jika ada yang menolak maka akan dihajar dan dipukuli.
 Tidak lama kemudian Belanda menyatakan takluk kepada Jepang, maka kehidupan mulai kembali normal. Sikap dan tanggapan rakyat terutama ulama’ terhadap Jepang sangat beragam. Ada yang memuji-muji Jepang, bersikap masa bodoh dan sedikit yang berpandangan bahwa Jepang dan Belanda adalah sama keduanya. Rakyat terkena propaganda Jepang yang berjanji akan memerdekakan bangsa Indonesia. Propaganda itu disiarkan terus lewat radio-radio Jepang yang selalu mendengungkan lagu Indonesia Raya. Sehingga pendaratan Jepang ke Indonesia menjadi lancar.
Setelah Jepang memulai memerintah di Jawa, sikap yang diterapkan adalah sikap keras, kasar dan tidak manusiawi. Kekejaman yang dilakukan Jepang sama seperti kolonialisme Belanda, bahkan rakyat semakin menderita. Setelah berlangsung tidak begitu lama ketakutan semakin sedikit mereda. Sekolah-sekolah mulai dibuka, kantor dan jawatan mulai bekerja seperti sedia kala. Namun kehidupan politik ditekan. Kehidupan politik pada zaman Jepang dimatikan sama sekali. Partai politik dilarang hidup. NU dan Muhammadiyah pun dilarang hidup. Pada saat itulah garis perjuangan dan pergerakan terhadap Jepang terbelah menjadi dua, yaitu bersikap kooperatif dan non kooperatif. Sikap kooperatif adalah sikap moderat yang mau bekerja sama dengan Jepang, Sedangkan sikap non kooperatif adalah sikap radikal yang tidak mau bekerja sama dengan Jepang[36].
Sebelum Jepang datang di Indonesia, umat Islam telah mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada bulan September 1937 yang terdiri dari unsur NU, Muhammadiyah, PSII, al Irsyad dan semua organisasi Islam waktu itu. Waktu itu MIAI dipimpin oleh W. Wondo Amiseno yang duduk sebagai sekjen MIAI dibantu oleh Ir. Sofwan. Akan tetapi setelah Jepang datang MIAI dibubarkan pada bulan Oktober 1943. Sebagai gantinya Jepang membentuk organisasi baru yang diberi nama MASYUMI ( Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang mempunyai cabang-cabang disetiap karisidenan di Jawa. Masyumi diketuai oleh KH Hasyim Asy’ari dari Jombang dan sebagai wakilnya adalah Ki Bagus Hadikusumo. Waktu itu semua umat Islam dianggap sebagai warga Masyumi. 
Pada tahun 1943, Jepang mengadakan latihan alim ulama’ di Jakarta selama satu bulan. Angkatan pertama dari daerah Pati Jawa Tengah diwakili oleh K.H. ‘Abdul Jalil Kudus. Sedangkan angkatan kedua diwakili oleh KH Bisri Mustofa Rembang. Dalam pelatihan inilah untuk pertama kalinya KH Bisri Mustofa berkenalan dengan salah seorang peserta pelatihan yang bernama KH Abdul Wahid Hasyim. Keduanya sama-sama mengikuti pelatihan tersebut dan kemudian pada periode-periode selanjutnya menjadi sahabat seperjuangan di partai NU. Guru-guru yang mengajar di pelatihan itu selain orang-orang Jepang adalah KH Wahab Hasbullah, H. Agus Salim dan KH Mas Mansur. Tidak diketahui secara persis apa dan maksud tujuan dari pelatihan ini. Para peserta diberi pelajaran praktis tentang pertanian, perdagangan dan lain-lain, juga ada kunjungan ke sekolah, perpustakaan, pabrik dan pasar.
Sebagai alumnus pelatihan alim ulama’, KH Bisri Mustofa ditugaskan menjadi ketua Masyumi daerah kabupaten Rembang dan wakilnya adalah KH Mundhir. Pembentukan Masyumi di daerah ini dijadikan sebagai alat penyambung lidah antara pemerintah Jepang dengan umat Islam[37].
Tidak lama Masyumi berdiri, Jepang membentuk sebuah jawatan yang pada masa Belanda tidak ada yaitu Jawatan Agama atau Kantor Urusan Agama (dalam bahasa Jepang disebut Shumubu). Jawatan ini kantornya hanya di pusat dan di daerah karisidenan. Di tingkat pusat dinamakan Shumubu, sedangkan di tingkat karisidenan dinamakan Shumuka. Di tingkat pusat telah diangkat Shumubutjo (ketua Shumubu) yaitu KH Hasyim Asy’ari yang dibantu oleh KH
Abdul Wahid Hasyim, KH Dahlan, yang masing-masing dengan pangkat Tiho
Itto Sjoki Shumubu. Di daerah karisidenan Pati, diangkat sebagai Shumkatjo
(ketua Shumuka) yaitu KH Abdul Manan dan dibantu oleh KH Bisri Mustofa Rembang dan K. Machmudi Pati, Masing-masing Tiho Itto Sjoki Shumuka. Akan tetapi jawatan agama seperti jawatan-jawatan lainnya juga diawasi oleh orang-orang Jepang yang disebut Sidoin. Di Pati Shumuka didampingi oleh Otokawa.
Sebagai Shumuka KH Bisri Mustofa melakukan pidato keliling ke pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan untuk membangkitkan semangat kerja para pegawai dan pekerja. Hal tersebut dilakukan agar semangat tersebut tetap terjaga sampai waktunya nanti bangsa Indonesia akan merdeka sesuai janji Jepang. KH Bisri Mustofa berpidato di Cepu, Ngelobo (daerah Cepu), Randublatung dan seluruh karisidenan Pati yang terdiri dari lima kabupaten dan 22 kawedanan.  
Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu setelah kota Nagasaki dan Hirosima di bom. Pada tanggal 15 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan Moh. Hatta tidak dapat dipertemukan di Jakarta.
Kemudian malam harinya mereka diculik oleh para pemuda Indonesia ke Garnisum PETA di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah Utara dari jalan raya menuju Cirebon. Keduanya dipaksa untuk menyatakan proklamasi kemerdekaan RI secepatnya. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan Moh. Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan RI atas nama bangsa Indonesia[38]
Setelah Indonesia merdeka, tentara Sekutu ingin merebut kembali Indonesia dari tangan Jepang, dengan dalil karena Jepang telah dikalahkannya. Di mana-mana terjadi pergolakan. Belanda menduduki Semarang, Inggris mendarat di Surabaya. Pada saat pergolakan semakin menghebat, pemerintah Indonesia menghimpun kekuatan pemuda untuk bergabung dalam BKR
(Barisan Kemerdekaan Republik), yang merupakan cikal-bakal lahirnya TNI (Tentara Nasional Indonesia). Organisasi-organisasi pergerakan juga bergerak kembali, seperti Masyumi, PNI, PKI, dan lain-lain. Masyumi sendiri kemudian membentuk Hizbulla>h, Sabi>lilla>h, GPII, GPII Putri, STII dan SDII.  
Di tengah situasi pergolakan semacam itu, KH Bisri Mustofa meminta keluar dari jabatan sebagai pegawai kantor urusan agama (Shumuka) pati.
Beliau kemudian memilih ikut berjuang bersama-sama tentara Hizbulla>h dengan menjadi ketua Masyumi cabang rembang, dibantu oleh S. Chaidar sebagai wakil ketua, dan E. Abdul Karim sebagai sekretaris. Sejak itulah keluarga KH Bisri Mustofa semakin melarat dan menderita. Kehidupan seharihari, seperti makan-minum terpaksa menumpang bersama-sama tentara Hizbulla>h. Hal tersebut dilakukan karena KH Bisri Mustofa tidak bekerja lagi, kecuali hanya berjuang bersama-sama pemuda-pemuda lainnya, seperti yang tergabung dalam tentara Hizbulla>h[39]
Oleh sesama teman tentara Hizbulla>h, terutama anjuran dari Abdul Wahhab. KH Bisri Mustofa disarankan untuk istirahat dan berobat. KH Bisri Mustofa sakit mata dan memerlukan kornea untuk dicangkokkan. Dengan bekal pemberian dari Abdul Wahhab yang telah menyanggupi biayanya, maka KH Bisri Mustofa, kedua anaknya yaitu Cholil dan Mustofa, sebagai kandar sebagai pembantu, pergi ke Yogyakarta untuk berobat kepada dr. Yap, dokter spesialis mata. Setelah berobat ke Yogyakarta tersebut. Mata KH Bisri Mustofa belum dapat disembuhkan. Sehingga mereka sekeluarga kembali pulang ke Rembang. 
Setelah beberapa bulan berselang, KH Bisri Mustofa menengar bahwa di Jombang ada seorang tabib kondang. Kemudian KH Bisri Mustofa dan sekeluarga serta mengajak Chamidah binti KH Chamzawi berangkat ke Jombang untuk berobat. Selama berobat di Jombang, keluarga KH Bisri Mustofa tinggal di Pare, mondok di rumah mak Puk karena rumah sang tabib terlalu sempit untuk menampung mereka. Setiap minggu KH Bisri Mustofa pergi sendirian ke Jombang untuk konsultasi dengan tabib dan menanyakan apakah sudah berhasil memperoleh sumbangan kornea. Tabib berkata: “Masih menunggu dari rumah sakit”. Akhirnya sampai enam bulan lebih, ikhtiar itu tidak kunjung berhasil.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, KH Bisri Mustofa terpaksa menjual pakaian sehingga tinggal satu lembar sarung, satu kaos oblong, satu celana pendek dan sebuah baju dril. Dua buah kitab kesayangannya yaitu kitab Jami’ul Jawami’ dan Mursid ‘Uqudul Juman ikut pula terjual. Dalam keadaan melayat yang amat sangat, KH Bisri Mustofa terpaksa menjabut gigi mas yang dipakai dan dijual dengan harga Rp. 400,- .
KH Bisri Mustofa kemudian bekerja membuat kerajinan tas dengan modal dari mak Puk sebanyak Rp. 1.000,- setiap pagi mulai pukul 07.00 KH Bisri Mustofa sudah bekerja, setelah selesai 10-12 buah tas, KH Bisri Mustofa menjual ke Bendo Lirboyo dan Tebu Ireng. Uang hasil penjualannya dibelikan kulit bahan buat tas dan sisanya untuk makan. Di Pare inilah KH Bisri Mustofa menyekolahkan anaknya Cholil sedangkan Mustofa belum cukup usia untuk masuk sekolah[40].
 Pada saat keluarga KH Bisri Mustofa berada di Pare, terjadilah pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun dipimpin oleh Muso pada tahun 1948. Akan tetapi pemberontakan di Madiun berhasil ditaklukkan oleh tentara Indonesia. Di Pare ini juga, KH Bisri Mustofa sering mengunjungi KH Abdul Wahid Hasyim di Tebu Ireng yang waktu itu menjabat sebagai wakil Residen Surabaya di Jombang. Sebenarnya hubungan KH Bisri Mustofa dengan KH Abdul Wahid Hasyim sudah dimulai sejak adanya pelatihan alim ulama’ di Jakarta, di mana KH Bisri Mustofa sebagai peserta mewakili Pati. 
Pada suatu ketika tiba-tiba KH Bisri Mustofa kedatangan tamu dari Rembang, yaitu: KH Abu Bakar Pamotan, Abdul Wahhab dan Mabrur. Kedatangan mereka untuk melaporkan bahwa Rembang dalam keadaan bahaya, karena telah dikepung oleh tentara-tentara PKI. Mereka meminta diusahakan bala tentara dari Jawa Timur. Setelah itu KH Bisri Mustofa mengajak mereka bertiga ke Kediri menemui KH Makhrus dan ke Tambak Beras menemui KH Abdul Wahhab Chasbullah dan gus Cholik Hasyim yang waktu itu menjabat sebagai kepala Batalyon Hizbulla>h.
Kemudian dikirim bantuan ke Rembang dengan pimpinan Batalyon Cholik Hasyim, Sudir, Abdullah dan Brigade S. Setelah terjadi pertempuran hebat antara Hizbulla>h dan PKI di Rembang akhirnya berkat bala bantuan tersebut PKI berhasil diusir dari Rembang. Pertempuran ini terjadi di Karang Geneng Rembang. Tentara merah, sebutan untuk tentara PKI berada di sebelah barat Kareng Geneng. Sedangkan tentara merah putih, sebutan tentara Hizbulla>h berada di sebelah timur Karang Geneng[41].
Berselang sebulan kemudian KH Bisri Mustofa mendapt surat dari Kyai Abu Bakar Pamotan yang isinya meminta KH Bisri Mustofa untuk segera pulang dan kembali ke Rembang. Selanjutnya KH Bisri Mustofa dan keluarganya pulang ke Rembang. Sejak saat itu beliau memulai bekerja dengan usaha jual beli garam, dengan uang modal yang diperoleh dari pemberian Kyai Abu Bakar Pamotan sejumlah Rp. 60.000,-. Pada waktu itu 1 ton garam seharga Rp. 5.000,- dan 1 gerbong harganya Rp. 50.000,-. Sebentar kemudian kehidupan keluarga KH Bisri Mustofa mulai ada harapan baru, karena hasil penjualan garam mulai menampakkan hasil yang lumayan. Akan tetapi hal tersebut berlangsung tidak lama, akhirnya usaha KH Bisri Mustofa jatuh bangkrut. Satu gerbong garang yang dikirim ke Babat gagal terkirim karena disita oleh Belanda yang kembali menyerbu Rembang.
Kemudian KH Bisri Mustofa sekeluarga kembali mengungsi dan lari ke Sulang, pindah ke Cabeyan, ke Trembes Gunem, kemudian hijrah lagi ke Sedan, sampai akhirnya menetap sementara di Sarang, Sekitar 1 tahun keluarga KH Bisri Mustofa mengungsi. Di Sarang keluarga KH Bisri Mustofa kehidupannya lebih melarat. Keluarga ini makan jagung pun dari pemberian orang. Kedudukan Belanda di Rembang semakin kuat. Rakyat pada umumnya semakin menderita. Di Sarang inilah KH Bisri Mustofa mengkhitankan kedua anaknya yaitu: Cholil dan Mustofa dengan upacara potong dua ekor ayam.
Setelah beberapa bulan di Sarang, KH Bisri Mustofa merasakan ketidaktenangan dan kesedihan yang mendalam melihat penderitaan rakyat yang semakin berat. Belanda yang semakin kuat bercokol di Rembang semakin menambah penderitaan rakyat tersebut. Untuk mengobati perasaan tersebut, KH Bisri Mustofa sering melakukan ziarah ke makam-makam, terutama makam Syarah yang terletak di sebelah timur Masjid Besar Sarang, kebetulan berada di belakang rumah tempat menetap KH Bisri Mustofa sementara. Setiap malam KH Bisri Mustofa dan istri menginap di makam Syarah tersebut, setelah melakukan doa dan ritual[42].

6. Karya-Karya KH Bisri Mustofa

Hasil karya KH Bisri Mustofa umumnya mengenai masalah keagamaan yang meliputi berbagai bidang di antaranya; Ilmu Tafsir dan Tafsir, Ilmu Hadis dan Hadis, Ilmu Nahwu, Ilmu S{araf, Syari’ah atau Fiqih, Tasawuf/Akhlak, Aqidah, Ilmu Mantiq/Logika dan lain sebagainya. Kesemuanya itu berjumlah kurang lebih 176 judul[43]. Bahasa yang dipakai bervariasi, ada yang berbahasa Jawa bertuliskan Arab Pegon, ada berbahasa Indonesia bertuliskan Arab Pegon, ada berbahasa Indonesia bertuliskan huruf Latin dan ada juga yang menggunakan bahasa Arab. Berikut sebagian karya-karya beliau;
1.           Tafsir al-Ibri>z li Ma’rifati al-Qur’a>n al-‘Azi>zi bi al-Lug}ati al-
Ja>wiyyah[44]
2.           Al-Iksir Fi> Tarjamah  ‘Ilmi Tafsi>r (1380 H/1970 M) 
3.           Tarjamah Manzumah al-Baiquni (1379 H/1960 M)
4.           Al-Azwadu al-Mustafayah Fi> Tarjamah al-Arba’in an-Nawawiyyah 
5.           Sullamul Afham Tarjamah Bulu>g}ul Maram
6.           Nazam as-Sullam al-Munawaraq Fi> al-Mantiq
7.           Sullamul Afham Tarjamah Aqidatul Awam (1385 H/1966 M)
8.           Durarul al-Bayan Fi> Tarjamah Sya’bi  al-I<ma>n
9.           Tarjamah Nazam al-Faraidul Bahiyah Fi> al-Qawaidi al-Fiqhiyyah (1370
H/1958 M)
10.       Aqidah Ahlu as-Sunnah Wal Jama’ah
11.       Al-Baiquniyah (ilmu hadis)
12.       Tarjamah Syarah Alfiyah Ibnu Malik
13.       Tarjamah Syarah Imrit}i>
14.       Tarjamah Syarah al-Jurumiyah
15.       Tarjamah Sullamu al-Mu’awanah
16.       Safinatu as}-S{ala>h
17.       Tarjamah kitab Faraid}u al-Bahiyah
18.       Muniyatu az-Zaman
19.       At}aifu al-Irsyad
20.       An-Nabras
21.       Manasik Haji
22.       Kasykul
23.       Ar-Risalatu al-H{asanah
24.       Al-Was}aya Lil Aba>’ Wal Abna>’
25.       Islam dan Keluarga Berencana (KB)
26.       Kutbah Jum’at
27.       Cara-caranipun Ziarah lan Sintenke Mawon Walisongo Punika
28.       At-Ta’liqat al-Mufidah Li al-Qas}idah al-Munfarijah
29.       Syair-syair Rajabiyah
30.       Al-Mujahadah wa ar-Riyad{ah
31.       Risalah al-Ijtihad Wa at-Taqlid
32.       Al-H{abibah
33.       Al-Qawaidu al-Fiqhiyyah
34.       Buku Islam dan Shalat
35.       Buku Islam dan Tauhid, dan lain-lain.[45]
Karya-karya KH Bisri Mustofa sebagai mana di atas, pada umumnya ditujukan pada dua kelompok sasaran. Pertama; kelompok santri yang sedang belajar di Pesantren. Biasanya karya-karyanya berupa ilmu Nahwu, ilmu S{araf, ilmu Mantiq dan ilmu Balag}ah. Kedua; kelompok masyarakat umum di pedesaan yang giat dalam pengajian di Surau atau Langgar, dalam hal ini karya-karyanya lebih banyak berupa ilmu-ilmu praktis yang berkaitan dengan ibadah.







[1] Saifullah Ma’sum, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung: Mizan, 1998), h. 319. Dan lihat Badiatul Rojiqin, dkk. Menelusuri Jejak, Menguak Sejarah, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), h. 115.
[2] Mashadi adalah nama asli dari Bisri Mustofa yang kemudian setelah Beliau menunaikan ibadah haji diganti menjadi Bisri Mustofa. Lihat Bisri Mustofa, Sejarah Singkat KH. Bisri Mustofa Rembang, (Kudus: Menara Kudus, 1977), h. Muqaddimah
[3] K.H. Misbah Mustofa termasuk seorang ulama besar yang cukup produktif diantara tafsirnya yang populer adalah Tafsir al Iqlil lima’ni Tanzil yang terdiri dari 30 jilid. Lihat K.H. Misbah bin Zainul Mustofa, Al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> at-Tanzi>l (Surabaya: Toko Kitab al Ih}sa>n, t.th) dan Islah Gusmian, Khasanah Tafsir Indonesia (Jakarta Selatan: Teraju, 2003), cet. I, h. 244
[4] H Zainal Mustofa dan Chodijah sebelum mereka berdua menikah merupakan mantu dari Mbah Suro Doble, karena Dalimin dan Dakilah merupakan saudara, keduanya adalah anak dari Mbah Suro
Doble yang mempunyai tujuh anak, yaitu; Dalipah, Dakilah, Dardjo, Dalimin, Darmi, Dahlan dan Tasmi
[5] Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa (Yogyakarta:
PT. LkiS Pelangi Aksara, 2005), cet. I, h. 9-10 
[6] Mata Air Syndicate, Para Pejuang Dari Rembang  (Rembang: Mata Air Press, 2006), h. 4
[7] H Zuhdi merupakan kakak tiri Bisri, anak dari pasangan H Zainal Mustofa dengan H Dakilah.
Dengan kata lain H Zuhdi dengan Bisri seayah tapi beda ibu. Lihat Achmad Zainal Huda, op. cit., h. 9
[8] Achmad Zainal Huda, op. cit., h. 10-11
[9] Ibid, h. 11
[10] Ibid, h. 11-13
[11] kitab Alfiyah Ibnu Malik merupakan kitab yang membahas tentang kaidah bahasa Arab (Nahwu) yang sangat populer di kalangan Pesantren. Kitab ini dikarang oleh Syekh al-‘Allamah
Muh}ammad Jamaluddi>n Ibnu ‘Abdilla>h Ibnu Malik at-T{ay
[12] Achmad Zainal Huda, op. cit., h. 14
[13] Kitab Fath}ul Mu’i>n adalah kitab yang membahas tentang hukum-hukum fiqih, kitab ini sangat populer di kalangan Pesantren. Pengarang kitab ini adalah  Syekh al-‘A<lim al-‘allamah
Zainuddi>n bin ‘Abdul Azi>z al-Malibari> 14Achmad Zainal Huda, loc. cit.
[14] Ibid.
[15] Ibid, h. 18
[16] Ibid, h. 20
[17] Kitab S}ah}i>h} Bukha>ri> merupakan kitab hadits yang di dalamnya terdapat hadits-hadits dari riwayat Ima>m Bukha>ri>, dan kitab Muslim merupakan kitab hadits yang di dalamnya terdapat hadits-hadits dari riwayat Ima>m Muslim 
[18] Achmad Zainal Huda, op. cit., h. 16
[19] Ibid, h. 17
[20] Ibid, h. 20 
[21] Ibid, h. 21 
[22] Ibid, h. 21-22
[23] Ibid, h. 22 
[24] Ibid, h. 56
[25] Ibid, h. 56-58 
[26] Ibid, h. 56-58 
[27] Beliau merupakan Panglima tertinggi dalam Perang Diponegoro (1825-1830), nama kecil beliau Ontowiryo (11 November 1785 - 8 Januari 1855)
[28] Nama asli beliau adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwono II (Raden Mas Sujana) yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. meninggal di Yogyakarta, 3 November 1814 pada umur 45 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – dan 1812 – 1814
[29] M.C, Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: UGM Press, 1995), h. 177
[30] Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908 – 1918 (Jakarta:
Pustaka Umum Grafiti, 1989), h. 41
[31] Drs. RZ. Leirissa, MA, Terwujudnya suatu gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900 – 1950 (CV. Akademika Pressindo, 1985), h. 48
[32] M.C, Ricklefs, op. cit, h. 294
[33] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid I (Bandung: Salamadani, 2010), h. 30
[34] Kragan adalah kota kecamatan bagian dari kabupaten Rembang yang berada di sebelah Timur Rembang. Kragan juga merupakan daerah pesisir pantura. Kira-kira jarak antara Kragan dengan Sedan
[35] Achmad Zainal Huda, op. cit., h. 25-26
[36] Ibid, h. 27-28
[37] Ibid, h. 29
[38] Ibid, h. 31-32 
[39] Ibid.
[40] Ibid, h. 34
[41] Ibid, h. 35
[42] Ibid, h. 36
[43] Ibid, h. 73
[44] Sebuah karya tafsir yang sangat sederhana yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa (bahasa setempat), namun tetap memakai huruf Arab, yang terdiri dari 3 jilid besar sebanyak 2270 halaman yang ditulis selama kurang lebih empat tahun yakni dari tahun 1957-1960 dan selesai pada hari Kamis tanggal 20 Rajab 1379 H. atau bertepatan pada tanggal 28 Januari 1960 pada usianya yang ke- 45 dan diterbitkan oleh Menara Kudus. Lihat Bisyri> Mus}t}afa>, Al-Ibri>z op. cit., h. 25
[45] Achmad Zainal Huda, op. cit., h. 73-74 

Related Posts

2 comments

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter