Syarat-Syarat Mufasir

Post a Comment
seseorang akan mendapat predikat mufassir, jika memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:   Pertama, Pengetahuan Bahasa
Tafsir adalah menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusia yang memiliki syarat-syarat tertentu. Berdasarkan definisi ini maka seseorang akan mendapat predikat mufassir, jika memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: 

 Pertama, Pengetahuan Bahasa Arab. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Dengan ilmu ini dapat diketahui penjelasan atas kata (mufradat) dalam lafadz-lafadz Al-Qur’an menurut konteksnya. Sebab di dalam Al-Qur’an itu adakalanya terdapat suatu lafadz yang mempunyai makna lebih dari satu (mustarak).
 Kedua, Ilmu Nahwu (tata bahasa). Makna suatu kata dalam bahasa Arab itu dapat berubah-ubah menurut perbedaan fungsi katanya (i’rab). Sebab pengetahuan akan kaidah-kaidah kalimat bahasa Arab baik yang menyangkut kata-kata maupun susunan kalimat, mutlak harus dimiliki oleh seseorang yang akan menafsirkan alQur’an. Dan pengetahuan mengenai hal tersebut dapat diperoleh dari ilmu nahwu.
 Ketiga, ilmu Tashrif (konyugasi). Dengan menggunakan ilmu ini akandiketahui bentuk asal dari sebuah kata dan pola kata kerja. Dan dengan ilmu ini pula dapat diperoleh makna-makna yang tersembunyi dalam sebuah kata yang samar. Jika ditashrifkan maka akan jelas sumber katanya dan akan terungkap arti kalimat yang tidak jelas.
 Keempat, al-Ishtiqaq (ilmu derivasi kata, etimologi). Sebuah kalimat isim, bila berasal dari dua kata yang berbeda, maka akan berbeda pula maknanya sesuai dengan asal perbedaan katanya. Seperti kata al-Masih, gelar nabi Isa As. apakah berasal dari kata siyahah atau mash. Jika berasal dari kata siyahah maka memiliki arti orang yang banyak melakukan ibadah. Akan tetapi jika berasal dari kata mash, maka mempunyai makna menyembahkan penyakit dengan izin Allah Swt dengan cara mengusapkan tangan pada yang sakit.
 Kelima, Ilmu Balaghah. Ilmu ini memiliki tiga cabang, yaitu Ilmu Ma’ani (retorika). Dengan ilmu ini dapat diketahui keistimewaan-keistimewaan suatu susunan kalimat ditinjau dari segi maknanya. Ilmu Bayan (ilmu kejelasan berbicara). Dengan ilmu ini dapat diketahui keistimewaan-keistimewaan suatu susunan kalimat ditinjau dari segi perbedaan-perbedaan maksudnya. Dan Ilmu Badi’ (ilmu efektivitas berbicara), yaitu suatu ilmu yang mempelajari cara memperindah susunan kalimat. Tiga cabang ilmu balaghah ini dapat mengantarkan seorang mufassir untuk mengungkap rahasia-rahasia keindahan bahasa Al-Qur’an dan menemukan keagungan mukjizatNya.
 Keenam, Ilmu Ushuluddin (pokok-pokok Agama). Suatu ilmu yang membahas tentang sesuatu yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah SWT, serta kesucian sifatsifat sehingga diketahui perbedaan aqidah dan syari’ah. Dengan ilmu ini juga dapat diketahui agama-agama Samawi terdahulu sehingga terdapat gambaran bagaimana mereka memutar-balikkan ajaran-ajaran Allah SWT setelah Nabi Musa AS. dan Nabi Isa AS. 
 Ketujuh, Ilmu Figh dan Ilmu Ush al-Figh. Ilmu Figh adalah suatu ilmu yang digunakan untuk mengetahui pandangan-pandangan ahli hukum (fuqaha’) tentang suatu masalah, serta metode mereka dalam merumuskan hukum. Sedangkan Ilmu Ush al-Figh adalah ilmu yang mempelajari cara pengambilan dalil hukum dan istinbat (perumusan hukum).
 Kedelapan, Ilmu Qira’ah  (Pembacaan Al-Qur’an). Ilmu yang mempelajari tentang cara membaca lafadz Al-Qur’an .
 Kesembilan, Ilmu Asbab al-Nuzul. Dengan mengetahui sebab-sebab turunnya sebuah ayat maka akan dimengerti dan dipahami maksud yang dikehendaki oleh ayat tersebut.
 Kesepuluh, Ilmu Nasikh Mansukh. Ilmu ini berguna untuk mngetahui ayatayat muhkam dan lain-lainnya.
Kesebelas, Ilmu Hadits. Ilmu ini sangat penting bagi seorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an. Dengan ilmu ini mufassir dapat menafsirkan ayat yang mujmal (ringkas) dan mubham (ambigu). Ilmu ini digunakan untuk menghindari masuknya cerita-cerita israilliyat dan untuk mengetahui apakah hadits itu sahih, dloif, atau maudhu’.  
Keduabelas, Ilmu Mauhibah. Ilmu yang dianugrahkan Allah SWT kepada siapa saja yang beramal dengan ikhlas dengan ilmu yang dimilikiNya. Limpahan Ilmu dan rahmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada siapa yang dikehendakiNya adalah merupakan rahasia Allah SWT yang penuh dengan hikmah dan keistimewaan. Jika Allah SWT berkehendak untuk memberikan IlmuNya kepada hamba yang terpilih, hal itu sangat mudah bagiNya. Sesuatu yang tidak mungkin bagi manusia, namun bagi Allah SWT tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Jika Allah SWT berkehendak, segalanya akan terjadi dan mudah bagiNya.
Ketigabelas, I’tikad yang sehat. Hal ini akan mendorong seorang mufassir untuk selalu meyakini nash-nash Al-Qur’an dan tidak akan terpengaruh oleh beritaberita bohong sehingga tidak memungkinkan untuk berbuat dusta. Mufassir juga hendaknya menjauhkan diri dari hawa nafsu, sehingga mufassir terhindar dari hal-hal yang akan mempengaruhi dia untuk melakukan sesuatu sesuai keinginannya.[1]



[1] Data ini dirangkum dari buku-buku sebagai berikut al-Itqan karya al-Suyuti, al-Tafsir wa al
Mufassirun karya M. Husain al-Dzahabi, al-Burhan karya al-Zarkasyi, Manahil al-„Irfan karya alZarqani, Mabahith fi „Ulum al-Qur‟an karya Manna‟ al-Qattan dan Subhi Salih, dan al-Tafsir wa Manahijuh karya Mahmud Basuni Faudah. 

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter