Tafsir adalah masdar dari kata kerja (fi‟il) fassara yufassiru tafsiran yang bermakna menafsirkan. Di dalam Al-Qur’an kata tafsir tersebut dalam Qs. al-Furqan (25): 33 dan Qs. al-Nisa‟ (4): 59. Dalam pengertian bahasa (etimologi, lughaghi) ini tafsir memiliki beberapa makna, yaitu keterangan (al-idhah) dan penjelasan (albayan),[1] menerangkan dan menyatakan,[2] al-Bayan wa al-Kasyfu (menjelaskan dan mengungkap),[3] al-ibanah wa kasyf al-mughty (menjelaskan dan menyingkap sesuatu yang tertutup).[4] Ada juga yang mengatakan bahwa tafsir adalah al-fasru kasyf almughty (usaha untuk menyingkap sesuatu yang tertutup), dan tafsir juga bermakna alfahmu (memahami).
Dalam kitab Lisan al-Arab, tafsir adalah al-fasr al-bayan yang memiliki arti keterangan yang memberi penjelasan. Fassara al-syaia berarti abanahu yaitu menjelaskan. Lebih lanjut dalam kitab ini juga dijelaskan bahwa tafsir adalah kasyfu al-murad „an al-lafdzi al-musykili (mengungkap arti yang dimaksud dari lafadz yang sulit (pelik).[5] Ada juga sebagian ulama yang menyatakan bahwa tafsir diambil dari kata masdar tafsirah yang memiliki arti sebuah nama bagi sesuatu yang dipergunakan dokter untuk mengetahui suatu penyakit.[6]
Maka tidak berlebihan jika dalam sudut pandang bahasa ini, Roem Rowi menyatakan bahwa tafsir berarti penjelas, menyingkap tabir atau analisa laborat untuk mendapatkan kejelasan, atau dalam pengertian lain tafsir secara bahasa digunakan untuk menyingkap sesuatu baik yang indrawi maupun yang abstrak dan rasional.[7] Sedang di dalam kamus bahasa Indonesia, tafsir diartikan dengan keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an.[8] Dan Poerwadarminta menambahkan dalam kamusnya bahwa tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an atau kitab suci yang belum terang maksudnya.[9] Terjemahan Al-Qur’an masuk dalam definisi ini.[10] Jadi tafsir Al-Qur’an adalah penjelasan atau keterangan untuk memahami makna-makna yang sulit dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Sedangkan tafsir dalam pengertian istilah para ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan definisinya. Diantara definisi-definisi tersebut antara lain sebagai berikut. Menurut al-Zarkasyi, tafsir adalah suatu ilmu yang berguna untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan maknamaknanya, serta mengungkap hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya.12 Sedangkan menurut ulama yang lain, tafsir adalah ilmu yang menerangkan tentang turunnya ayat, hal ikhwalnya, kisah-kisah, sebab-sebab yang terjadi dalam nuzulnya, tertib Makkiyah dan Madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihnya, nasikh dan mansukhnya, khas dan „amnya, mutlak dan muqayyadnya, mujmal dan mufassal, halal dan haramnya, wa‟ad (janji) dan wa‟id (ancaman)nya, perintah dan larangannya, ungkapan dan tamtsilnya, dan lain sebagainya.[11]
Abu Hayyan dalam al-Bahru al-Muhith mengungkapkan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara-cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an, madlulah dan ahkamnya secara ifrady (sendiri-sendiri) dan tarkib (tersusun) dan ma‟aninya yang mengandung keterangan tentang hal-ikhwal susunannya.[12]
Sedangkan Mahmud Basuni Faudah mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas tentang hal-ikhwal Al-Qur’an al-Karim dari segi indikasinya akan apa yang dimaksud oleh Allah.[13] Hal-ikhwal Al-Qur’an mengisyaratkan akan kedudukan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang benar, kitab yang berbahasa Arab yang agung dan mu‟jizat abadi bagi Nabi Muhammad Saw.
Sedangkan M. Husain al-Dzahabi menyatakan dalam karyanya al-Tafsir wa al-Mufassirun bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manuasia (mufassir).[14] Quraish Shihab sependapat dengan pendapat al-Dzahabi ini.[15] Definisi ini memberi ruang tanpa batas bahwa siapapun bisa untuk menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya (petunjuk Ilahi).
Karena kepastian arti satu kosakata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri. Adalah suatu kebenaran yang tidak dapat dibantah bahwa seorang mufassir, walaupun ia telah mencapai kedudukan yang tinggi dalam keilmuannya, tidak mungkin ia mengatakan secara pasti dan final bahwa pendapatnya itulah yang dimaksud oleh Allah SWT.
Al-Qur’an hadir di tengah-tengah kehidupan manusia dengan membuka lebarlebar mata dan hati manusia, agar mereka menyadari jati diri dan hakikat keberadaannya di atas pentas dunia fana ini, serta tidak terlena dalam kehidupan duniawi. Al-Qur’an mengajak manusia berpikir tentang kekuasaan Allah dengan berbagai argumentasi, memikirkan Hari Kebangkitan dan memiliki keyakinan yang kuat bahwa kebahagian yang mereka dapatkan itu semata-mata karena anugerah dan kehendak dari sang Kholiq, Tuhan Maha Pencipta.
Bisikan hati yang melahirkan keyakinan semacam ini menjadikan manusia berusaha memahami apa yang dikehendakiNya melalui firmanNya, Al-Qur’an alKarim, demi meraih kebahagian dunia dan akherat. Hal inilah yang terungkap dari definisi tafsir sebagai upaya memahami maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Kebutuhan akan tafsir akan menjadi sangat penting jika manusia menyadari bahwa Petunjuk Ilahi menjamin kebahagian dunia akhirat. Dan kebutuhan menafsirkan Kalam Ilahi terasa sangat mendesak mengingat redaksi Al-Qur’an yang beragam, ada yang jelas dan rinci, ada yang samar dan juga ada yang global.
Oleh karena itu, untuk memahami apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an tidak cukup membacanya hanya tujuh kali atau sepuluh kali, bahkan berbulan-bulanpun seseorang akan merenung dan memikirkannya hanya untuk mengetahui hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain, seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim Ibn. Umar al-Biqa‟iy.[16]
Juga, tidak berlebihan jika Abdullah Darraz[17] menyatakan dalam karyanya alNaba‟ al-Azhim bahwa seseorang yang membaca Al-Qur’an, maknanya akan jelas dihadapannya, tetapi bila ia membacanya sekali lagi, maka ia akan menemukan makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai ia dapat menemukan kalimat atau kata yang memiliki arti yang bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. Ayat-ayat Al-Qur’an itu bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika seseorang mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang seseorang tadi lihat.
Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan Mohammed Arkoun, pemikir Aljazair kontemporer yang mengatakan bahwa Al-Qur’an memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas, kesan yang diberikannya mengenai pemikiran dan penjelasan berada pada tingkat wujud yang mutlak. Dengan demikian, ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.[18]
Redaksi-redaksi yang tertuang dalam Al-Qur’an sangat memukau, indah mempesona, dan sarat dengan berbagai makna. Selain itu, Al-Qur’an juga selaras dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan para pembacanya. Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tidak pernah kering sepanjang masa. Dari masa ke masa terdengar dan terbaca sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan zaman dan pengetahuan. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah SAW bahwa kitab suci Al-Qur’an adalah kitab yang memuat berita masa lampau, situasi saat ini, dan keadaan di masa yang akan datang, yang tidak lekang oleh panas mentari dan tidak pula lapuk diterjang hujan.
Luas dan beragamnya tema Al-Qur’an merupakan hal yang unik. Tidak ada hal yang terlupakan di dalamnya. Al-Qur’an memberitahukan segala hal dari makhluk yang paling kecil yang tersembunyi di tengah batu yang terletak di dasar lautan hingga bintang yang bergerak dalam orbitnya ke arah tujuan yang telah ditentukan.
Al-Qur’an menembus sudut paling kabur dalam pikiran manusia, menembus dengan kekuatan nyata jiwa orang yang beriman dan bahkan orang yang tidak beriman mampu merasakan sesuatu dalam gerak-gerik jiwanya. Al-Qur’an mengalihkan perhatian kepada masa lalu yang jauh dalam sejarah perjalanan umat manusia dan juga ke arah masa depan dengan tujuan mengajarkan tugas-tugas masa kini.
Berpijak dari berbagai argumen diatas maka penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an tidak akan pernah berakhir. Kitab suci ini selalu segar. Melalui berbagai upaya penafsiran dan penafsiran ulang yang dilakukan oleh peminat tafsir dari masa ke masa, makna yang terkandung dalam Al-Qur’an selalu menghidangkan hal-hal baru. Layaknya sebagaimana alam raya, dengan penelitian dan pengamatan yang terus menerus, maka akan terbuka tabir-tabir rahasia yang terkandung di dalamnya yang belum tersentuh oleh generasi-generasi terdahulu.
[1] Al-Dzahabi, Muhammad Husain. 1961. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadithah.
13
[2] Ash Shiddieqy, M. Hasbi. 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang. 178
[3] Al-Suyuthi, Jalaluddin. Tt. al-Itqan fi „Ulum al-Qur‟an,.Juz II. Beirut: Dar al-Fikr. 173
[4] Al-Qaththan, Manna‟. 1973. Mabahith fi „Ulum al-Qur‟an. Beirut: Dar al-Fikr. 323
[5] Al-Misry, Abi Fadhil Jamaluddin Muhammad Ibn Manzur al-Ifriqy. 1990. Lisan al-„Arab. Beirut: Dar al-Fikr. 55
[6] Faudah, Mahmud Basuni. 1977. al-Tafsir wa Manahijuh. Mesir: Mathba‟ah al-Amanah. 1-2
[7] Rowi, M. Roem. 1993. Pendekatan Teks dan Konteks dalam Tafsir al-Qur‟an. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Surabaya. 1
[8] Tim Penyusun. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 882
[9] Poerwadarminta, WJS. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 990
[10] Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran al-Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 40 12 Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad b. Abdillah. Tt. al-Burhan fi „Ululm al-Qur‟an. Mesir: Isa alBab al-Halabi. 12
[11] Al-Suyuthi. al-Itqan. Juz II. 174
[12] Al-Andalusi, Abu Hayyan. 1978. al-Bahr al-Muhit. Beirut: Dar al-Fikr. 2
[13] Faudah. al-Tafsir wa Manahijuh., 2
[14] Al-Dzahabi, Muhammad Huzain. 1961. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. Mesir: Dar al-Kutub alHadithah. 59
[15] Shihab, Quraish. 1992. Membumikan al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 15
[16] Seorang ahli tafsir terkemuka dalam karyanya Nazhm al-Durar yang dijadikan bahan diskusi dan disertasi M. Quraish Shihab dengan judul Nazhm al-Durar li Al-Biqa‟iy, Tahqiq wa Dirasah untuk meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur‟an di Universitas al-Azhar Mesir dengan Yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat 1 (mumtaz ma‟a martabat al-syaraf al-„ula).
[17] Darraz, Abdullah. 1960. al-Naba‟ al-„Azhim. Mesir: Dar al-„Uqbah. 111
[18] Hunter, Shireen T. (ed.). Tt. The Politics of Islamic Revivalism. Bloomington: Indiana Unversity Press. 182-183
Mencari angka mistik togel hari ini? angka togel mistik
ReplyDelete