Seseorang dianggap sebagai tokoh (figure) besar
karena banyak hal. Di antaranya adalah karena karya besar yang ia tulis yang
memberikan kontribusi dan manfaat bagi khalayak. Dia adalah “KH Bisri Mustofa” yang
merupakan salah satu tokoh besar dalam dunia pendidikan dan pemikiran islam.
1. Nasab
dan kelahiran
lahir pada tahun 1915 M[1]
atau bertepatan tahun 1334 H. di kampung
Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah. Beliau adalah anak dari pasangan suami
istri H. Zainal Mustofa dan Khatijah yang telah memberinya nama Mashadi[2]. Mashadi adalah anak pertama
dari empat bersaudara, yaitu Mashadi, Salamah (Aminah), Misbah}[3] dan Khatijah. Selain itu
pasangan ini juga mempunyai anak tiri dari suami istri sebelumnya. Sebelum H.
Zainal Mustofa menikah dengan Khatijah, beliau menikah dengan Dakilah, dan
mendapatkan dua orang anak, yaitu H. Zuhdi dan Hj. Maskanah. Begitu juga dengan
Khatijah sebelum menikah dengan H. Zainal Mustofa[4],
beliau menikah dengan Dalimin, dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ahmad dan
Tasmin.
H. Zainal Mustofa adalah anak dari Podjojo atau
H. Yahya. Sebelumnya H. Zainal Mustofa bernama Djaja Ratiban, yang kemudian
terkenal dengan sebutan Djojo Must}opo. Beliau merupakan seorang pedagang kaya
dan bukan seorang kyai. Akan tetapi beliau merupakan orang yang sangat
mencintai kyai dan alim ulama, di samping orang yang sangat dermawan. Dari
keluarga ibu Mashadi masih mempunyai darah keturunan Makasar, karena Khatijah
merupakan anak dari pasangan Aminah dan E. Zajjadi. E. Zajjadi adalah kelahiran
Makasar dari ayah bernama E. Sjamsuddi>n dan ibu Datuk Djijah.
Pada
tahun 1923 Mashadi diajak oleh bapaknya untuk ikut bersama– sama sekeluarga menunaikan rukun Islam yang
kelima, yaitu ibadah Haji. Rombongan sekeluarga itu adalah H. Zainal Mustofa,
Khadijah, Mashadi (umur 8 tahun), Salamah (umur 5 tahun setengah), Misbah (umur
3 tahun setengah) dan Ma’sum (umur 1 tahun). Kepergian ke tanah suci itu dengan
menggunakan kapal haji milik Hasan Imazi Bombay dan naik dari pelabuhan
Rembang. Dalam menunaikan ibadah haji tersebut H. Zainal Mustofa sering
sakit–sakitan. Sampai menginap wukuf di Arafah, menginap di Mina, T{awaf dan
Sa’i juga dalam keadaan sakit. Sehingga beliau harus ditandu. Selesai ibadah
haji dan hendak berangkat ke Jeddah untuk pulang ke Indonesia, H. Zainal
Mustofa dalam keadaan sakit keras. Disaat sirine kapal berbunyi sebagai tanda
kapal akan segera diberangkatkan, wafatlah sang ayah (H. Zainal Mustofa) dalam
usia 63 tahun. Jenazahnya kemudian diserahkan kepada seorang Syekh dengan
menyerahkan uang Rp. 60,- untuk ongkos dan sewa tanah pemakaman[5].
Sehingga keluarga tidak tahu di mana makam almarhum H. Zainal Mustofa. Sejak
pulang dari ibadah haji Mashadi mengganti namanya dengan nama Bisri[6],
kemudian akrab dengan sebutan Bisri
Mustofa.
Sejak
ayahandanya wafat pada tahun 1923 merupakan babak kehidupan baru bagi Bisri
Mustofa. Sebelumnya ketika bapaknya masih hidup seluruh tanggung jawab dan
urusan-urusan serta keperluan keluarga termasuk keperluan Bisri menjadi
tanggung jawabnya. Oleh karena itu sepeninggal H.
Zainal
Mustofa (bapaknya), keluarga Bisri merasakan ada perubahan yang besar dari
kehidupan sebelumnya. Sepeninggal itu, tanggung jawab keluarga termasuk Bisri
berada di tangan H. Zuhdi[7].
2. Pendidikan
H. Zuhdi kemudian mendaftarkan Bisri ke
sekolah HIS (Hollans
Inlands School) di Rembang. Pada waktu itu di Rembang
terdapat tiga macam sekolah, yaitu:
1.
Eropese School; di mana muridnya
terdiri dari anak-anak priyayi tinggi, seperti anak-anak Bupati, asisten
residen dan lain-lain.
2.
HIS (Hollans Inlands School); di mana
muridnya terdiri dari anka-anak pegawai negeri yang penghasilannya tetap. Uang
sekolahnya sekitar Rp. 3,- sampai Rp. 7,- .
3.
Sekolah Jawa (Sekolah Ongko loro); di
mana muridnya terdiri anak-anak kampung; anak pedagang, anak tukang. Biaya
sekolahnya sekitar Rp. 0,1,- samapi Rp. 1,25,-[8].
Bisri Mustofa di terima di sekolah HIS, sebab
beliau diakui sebagai keluarga Raden Sudjono, Mantri guru HIS yang bertempat
tinggal di Sawahan Rembang Jawa Tengah dan merupakan tetangga keluarga Bisri
Mustofa. Akan tetapi setelah Kyai Cholil Kasingan mengetahui bahwa Bisri Mustofa sekolah di HIS, maka beliau
langsung datang ke rumah H. Zuhdi di Sawahan dan memberi nasehat untuk
membatalkan dan mencabut dari pendaftaran masuk sekolah di HIS. Hal ini dilakukan karena Kyai Cholil
mempunyai alasan bahwa HIS adalah sekolah milik penjajah Belanda yang
dikhususkan bagi para anak pegawai negeri yang berpenghasilan tetap. Sedangkan
Bisri Mustofa sendiri hanya anak seorang pedagang dan tidak boleh mengaku atau
diakui sebagai keluarga orang lain hanya bisa untuk belajar di sana. Kebencian
kyai Cholil dengan penjajah Belanda mempengaruhi dalam keputusan ini. Beliau
sangat khawatir kelak Bisri Mustofa nantinya memiliki watak seperti penjajah
Belanda jika beliau masuk sekolah di HIS. Selain itu kyai Cholil juga
menganggap bahwa masuk sekolah di sekolahan penjajah Belanda adalah haram
hukumnya. Kemudian Bisri Mustofa masuk di sekolah Ongko 2, beliau menyelesaikan
sekolah selama tiga tahun dan lulus mendapatkan sertifikat.
Sebelum
berangkat sekolah ongko 2 Bisri Mustofa biasanya belajar mengaji al Qur’an
kepada kyai Cholil Sawahan. Dan setelah beliau masuk sekolah ongko 2 beliau
tidak bisa mengaji lagi karena waktunya bersamaan. Oleh karena itu beliau
memilih mengaji kepada kakaknya yaitu H. Zuhdi.
Pada
tahun 1925 Bisri Mustofa bersama-sama dengan H. Muslich (Maskub) oleh kakaknya
H. Zuhdi diantar ke Pondok Pesantren Kajen, pimpinan Kyai Chasbulla>h untuk
mondok bulan puasa. Akan tetapi baru tiga hari mereka mondok, Bisri Mustofa
sudah tidah kerasan. Akhirnya mereka pulang ke Rembang.
Setelah
lulus sekolah di Ongko 2 pada tahun 1926 Bisri Mustofa diperintah oleh H. Zuhdi
untuk turut mengaji dan mondok pada kyai Cholil Kasingan. Pada awalnya Bisri
Mustofa tidak minat belajar di Pesantren. Sehingga hasil yang dicapai dalam
awal-awal mondok di Pesantren Kasingan sangat tidak memuaskan[9].
Hal tersebut disebabkan oleh:
1.
Kemauan belajar di Pesantren tidak ada,
karena beliau merasa pelajaran yang di ajarkan di Pesantren sangat sulit,
seperti; nahwu, s}orof dan lain-lain.
2.
Bisri Mustofa menganggap kyai Cholil
adalah sosok yang galak dan keras. Sehingga beliau merasa takut apabila tidak
dapat menghafal atau memahami apa yang diajarkan pasti akan mendapat hukuman.
3.
Kurang mendapat tanggapan yang baik
dari teman-teman Pondok.
4.
Bekal uang Rp. 1,- setiap minggunya
dirasa kurang cukup[10].
Setelah
tidak kerasan maka Bisri Mustofa berhenti mondok dan selalu main-main dengan
teman-teman sekampungnya. Kemudian beliau tidak mondok beberapa bulan, maka
pada permulaan tahun 1930 Bisri Mustofa diperintahkan untuk kembali lagi ke
Kasingan untuk belajar mengaji dan mondok pada kyai Cholil. Bisri Mustofa
kemudian dipasrahkan oleh ipar kyai Cholil yang bernama Suja’i. Di Pesantren
itu, Bisri Mustofa tidak langsung mengaji kepada kyai Cholil. Akan tetapi
beliau terlebih dahulu belajar mengaji kepada Suja’i. hal ini dilakukan selain
Bisri Mustofa belum siap mengaji langsung kepada kyai Cholil juga untuk
membuktikan kepada teman-temannya bahwa beliau akan mampu dan untuk
mempersiapkan diri nantinya mengaji secara langsung kepada kyai Cholil. Bisri
Mustofa tidak diajarkan kitab-kitab yang macam-macam, tetapi beliau hanya
diajarkan kitab Alfiyah Ibnu Malik[11].
Sehingga setiap hari yang dipelajari hanya satu kitab itu saja. Pada akhirnya
Bisri Mustofa menjadi santri yang sangat menguasai kitab tersebut.
Setelah
selama dua tahun beliau mempelajari kitab Alfiyah maka ketika ada pengajian
kitab Alfiyah oleh kyai Cholil sendiri, maka Suja’i mengizinkan Bisri Mustofa
untuk ikut serta dalam pengajian tersebut dan diharuskan untuk duduk paling
depan agar lebih paham serta dapat dengan cepat menjawab seluruh pertanyaan
yang diajukan oleh kyai Cholil. Setiap ada pertanyaan dari kyai Cholil, maka
Bisri Mustofa lah santri pertama yang ditanya dan dengan mudah beliau menjawab
pertanyaan. Sehingga mulai saat itu teman-teman santri mulai memperhitungkan
seorang Bisri Mustofa dan selalu menjadi tempat rujukan teman-temannya apabila
mendapat kesulitan pelajaran[12].
Satu
tahun kemudian Bisri Mustofa mulai ikut mengaji kitab Fath}ul Mu’i>n[13].
beliau mempelajarinya secara sungguh-sungguh sebagai mana beliau mempelajari
Alfiyah. Setelah selesai belajar kedua kitab tersebut (Alfiyah dan Fath{ul
Mu’i>n), maka barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang lain, Seperti;
Fath{ul Wahhab, Iqna>’, Jami>’ul Jawami’, Uqudul Juman dan lain-lain.
Sejak
tahun 1933 Bisri Mustofa sudah dipandang sebagai santri yang memiliki
kelebihan. Sehingga teman-temannya yang lain selalu menjadikan sebagai rujukan.
Pada tahun itu pula adiknya (Misbah) dimasukkan juga di pondok Kasingan.
Sehingga biaya hidup pun menjadi bertambah. Oleh H. Zuhdi beliau dikasih uang
Rp. 1,75,- untuk biaya hidup dua orang. Karena merasa kurang cukup maka Bisri
Mustofa nyambi jualan kitab yang beliau ambil dari toko kakaknya H. Zuhdi,
keuntungan dari penjualan tersebut dijadikan tambahan untuk biaya di pondok14.
Pada
tahun 1932 Bisri Mustofa minta restu kepada kyai Cholil untuk pindah ke
Pesantren Termas yang diasuh oleh kyai Dimyati. Pada tahun itu kebanyakan
temen-temen Bisri Mustofa melanjutkan mengaji ke Termas, seperti Thoyib,
Fatchur Rachman dan Anwar. Permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh sang kyai.
Bahkan kyai Cholil dengan nada lantang dan keras melarang Bisri Mustofa untuk
ke Termas. Beliau mengatakan bahwa di Kasingan pun Bisri Mustofa tidak akan
bisa menghabiskan ilmu yang diajarkan. Bisri Mustofa tidak boleh ikut-ikutan
dan meniru teman-temannya yang mau mengaji ke Termas. Kyai Cholil tidak
meridhoi Bisri Mustofa untuk pergi ke Termas. Akhirnya Bisri Mustofa menuruti
titah sang kyai dengan tidak jadi pergi ke Termas. Beliau tidak berani
melanggar titah kyai Cholil. Kemudian Bisri Mustofa tetap tinggal di Kasingan[14].
Akhirnya
pada bulan Sya’ban tahun 1934 Bisri Mustofa diajak oleh kyai Cholil ke Tuban
Jawa Timur. Kepergian tersebut tidak jelas dan kenapa Bisri Mustofa diajak.
Setelah sampai di Jenu, di rumah kyai Husain, kyai Cholil berkata kepada Bisri
Mustofa:”Engkau mau tidak
saya akui sebagai anak saya dunia akhirat?”, tentu saja
Bisri Mustofa langsung menjawab;
“Ya mau Syaikhuna>”. Kyai Cholil terus berkata: “Kalau begitu engkau harus patuh kepadaku”.
Bisri Mustofa pun diam sebagai tanda tidak menolak. Kemudian kyai Cholil
berkata lagi: “Engkau
akan saya nikahkan dengan putri kyai Murtadho Makam Agung Tuban. Putrinya itu
ayu, manis dan bapaknya kyai Murtadho adalah seorang kyai yang alim, beruntung
engkau menjadi menantunya”. Akan tetapi Bisri Mustofa
memberanikan diri untuk menolak perintah untuk menikah itu. Beliau merasa belum
pantas untuk menikah, karena ilmu yang beliau dipelajari masih sangat kurang.
Kyai Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri Mustofa akan
dikawinkan dengan putri seorang kyai besar dan alim agar nantinya beliau
menjadi seorang alim juga[15].
Tanpa
diberikan kesempatan menjawab, Bisri Mustofa langsung diajak ke rumah kayai
Murtadho Tuban. Di tempat situ sepertinya sudah dipersiapkan segala hal untuk
menerima tamu kyai Cholil dan Bisri Mustofa yang akan melakukan khit}bah kepada
kyai Murtadho. sesampai di rumah tujuan, Bisri Mustofa merasa beruntung karena
sang putri yang akan dikhit}bah ternyata lari dan bersembunyi ketika
melihatnya. Hal ini yang dijadikan alasan Bisri Mustofa untuk menolak perintah
menikah. Tetapi kyai Cholil sudah melakukan perundingan dengan kyai Murtadho
bahwa keputusan menikahkan Bisri Mustofa dengan putri kyai Murtadho sudah
bulat. Telah diputuskan juga pada tanggal 7 bulan Syawwal tahun 1934, kyai
Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama putrinya untuk Khit}bah dan
dilangsungkan dengan pernikahan.
Pada
tanggal 3 Syawwal 1934 Bisri Mustofa dengan ditemani Mabrur meninggalkan
Rembang tanpa pamit kepada siapa pun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk
penolakan dari perintah nikah. Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang,
Kaliwungu, Kendal dengan berbekal uang pas-pasan. Setiap mereka mampir ke
tempat teman atau orang tua teman, mereka diberi tambahan bekal. Hal ini
dilakukan selama satu bulan lebih. Rantauan yang paling lama mereka tempati
adalah daerah kampung Donosari Pegandon
Kendal. Setelah satu bulan lebih lamanya mereka pulang ke Rembang. Bisri
Mustofa langsung menghadap kyai Cholil dan meminta maaf atas perlakuannya
tersebut. Dijabatnya tangan kyai Cholil, tetapi tanpa sepatah kata pun yang
terucap dari mulut kyai Cholil. Waktu Bisri Mustofa mau pamit kembali, beliau
pun menjabat tangan kyai Cholil. Tetapi sang kyai masih saja berdiam diri.
Seperti biasanya Bisri Mustofa mengikuti kembali pelajaranpelajaran di
Pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri Mustofa sama sekali tidak
ditanya oleh kyai Cholil sebagai mana biasanya[16].
Hal
ini membuat Bisri Mustofa merasa dikucilkan oleh kyai Cholil. Kejadian tersebut
berlangsung selama setahun lebih dan berakhir dengan berita yang menurut Bisri
Mustofa sungguh di luar dugaan. Berita itu adalah keinginan kyai Cholil untuk
mengambil Bisri Mustofa sebagai menantunya. Bisri Mustofa akan dijodohkan
dengan putrinya yang bernama Ma’rufah.
Berita
tersebut beliau dapat dari ibunya ketika beliau pulang ke rumah Sawahan. Ibunya
menceritakan bahwa kyai Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri Mustofa
untuk dijadikan sebagai menantunya. Bisri Mustofa kemudian mengalami sebuah
kebingungan serta kebimbangan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah
melihat Ibu dan keluarganya, termasuk kakaknya H. Zuhdi menyetujuinya maka hati
Bisri Mustofa menjadi mantap dan setuju untuk menikah. Sehingga setelah segala
sesuatunya dipersiapkan maka pada tanggal 7 Rajab 1354 H. atau bertepatan
dengan bulan Juni 1935 dilaksanakan sebuah akad nikah antara Bisri Mustofa
dengan Ma’rufah binti kyai Cholil. Pada waktu itu Bisri Mustofa berusia 20
tahun dan Ma’rufah berusia 10 tahun.
Setelah
menikah status Bisri Mustofa menjadi menantu dari kyai Cholil (pengasuh pondok
Kasingan). Sehingga beliau harus ikut membantu mengajar kitab-kitab kepada para
santri. Pada bulan Sya’ban pada tahun perkawinan Bisri Mustofa dengan Ma’rufah
yaitu tahun 1935, kyai Cholil memerintahkan Bisri Mustofa untuk turut khataman
kitab Bukha>ri> Muslim[17]
kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari> di Tebu Ireng Jombang Jawa Timur.
Pengajian mulai tanggal 21 Sya’ban 1354 H., tetapi yang dibaca kitab Muslim dan
Tajrid Bukha>ri>. Pada tanggal 10 Ramadhan 1354 H. KH Hasyim Asy’ari
jatuh sakit dan pengajiannya dilanjutkan oleh KH Ilyas untuk meneruskan
pengajian kitab Muslim dan KH Baidhowi untuk meneruskan pengajian kitab Tajrid
Bukha>ri>[18].
Sebagaimana
telah diketahui Bisri Mustofa telah menjadi menantu kyai Cholil. Menjadi
menantu kyai enak-enak susah. Bagi yang pintar memang enak karena bisa langsung
ikut mengajar. Tetapi bagi yang ilmunya pas-pasan adalah suatu masalah yang
susah dan membingungkan. Hal ini yang dipahami oleh Bisri Mustofa. Para santri menganggap sebagai
orang yang pintar dan menguasai banyak ilmu. Akan tetapi, Bisri Mustofa sendiri
merasa bahwa beliau belum mampu dan belum cukup ilmu. Akan tetapi para santri
tidak percaya dan menganggap hal itu dilakukan oleh Bisri Mustofa sebagai
bentuk sikap yang tawaddhu’.
Terlebih
dengan telah wafatnya kyai Dimyati Termas, maka banyak santri-santri dari sana
yang pindah ke Kasingan untuk melanjutkan mengaji. Kebanyakan mereka meminta
untuk mengaji kepada Bisri Mustofa dengan kitab-kitab yang belum pernah Bisri
Mustofa pelajari. Akhirnya Bisri Mustofa menggunakan prinsip belajar candak
kulak (belajar sambil mengajar). Beliau belajar atau bermusyawarah membaca
kitab di Karanggeneng bersama kyai Kamil dan kyai Fadholi. Hasil musyawarah
tersebutlah yang diajarkan kepada para santrinya. Sehingga jadwal mengaji di
Pesantren harus disesuaikan dengan jadwal musyawarah Bisri Mustofa di
Karanggeneng. Jika di Karanggeneng libur maka di Kasingan pun juga ikut libur
Bisri Mustofa kehabisan bahan.
Tidak
betah dengan model candak kulak, Bisri Mustofa ingin meninggalkan Rembang untuk
belajar lagi dan memperdalam ilmu. Sehingga ketika musim haji tiba, Bisri
Mustofa nekat pergi ke Mekkah dengan uang tabungan dan hasil jual kitab Bijurumi
Iqna>’, kitab milik kyai Cholil, kyai Cholil memberikan izin kepada Bisri
Mustofa dan membantu biaya keberangkatan dengan menjual kitab tersebut. Harga
tiket berangkat haji waktu itu Rp. 185,-[19].
Pada
tahun 1936 berangkatlah Bisri Mustofa ke Mekkah untuk ibadah haji tanpa bekal
yang cukup. Selama di Mekkah beliau menumpang di rumah Syaikh Chamid Said
sebagai khadam atau pembantu. Menjelang rombongan haji pulang ke tanah air,
Bisri Mustofa sedih teringat bahwa dirinya menjadi menantu seorang kyai dengan
ilmu yang sangat pas-pasan. Sehingga bersama dua orang temannya, yaitu; Suyuthi
Cholil dan Zuhdi dari Tuban, Bisri Mustofa memutuskan bermukim untuk
memperdalam ilmunya di Mekkah. Di sinilah Bisri Mustofa berguru pada kyai
Bakir, Syaikh Umar Chamdan al Mag}ribi, Syekh Maliki, Sayyid Amin, Syekh H{asan
Masysyat}, Sayyid Alawi>, dan kyai ‘Abdul Muhaimin.
Selama
setahun Bisri Mustofa belajar di Mekkah.
Pada musim haji berikutnya Bisri Mustofa mendapat surat dari kyai Cholil yang
isinya bahwa beliau hares segera pulang kembali ke Rembang. Jika Bisri Mustofa
tidak mau pulang maka tidak akan diakui sebagai anak dunia akhirat. Dengan
berat hati akhirnya Bisri Mustofa bersama kedua temannya pulang kembali ke
Rembang pada tahun 1937 M.
Status
Bisri Mustofa menjadi menantu dari kyai Cholil (pengasuh pondok Kasingan)
membuat beliau harus ikut membantu mengajar kitab-kitab kepada para santri.
Apalagi pada tahun 1937 setelah Bisri Mustofa kembali dari Mekkah, maka tugas
dan waktu mengajarnya semakin bertambah. Bisri Mustofa merasa puas atas
pengajaran yang beliau sampaikan dapat mudah dipahami oleh para santri. Hal
tersebut berjalan sampai satu setengah tahun. Kemudian datanglah musibah yang
besar, yaitu pada tanggal Rabius\s\a>ni>
1358
H. (1939 M.), mertua dan sekaligus gurunya yaitu Syaikhuna> kyai Cholil
wafat. Selanjutnya tanggung jawab sebagian besar mengurus Pesantren menjadi
tanggung jawab Bisri Mustofa di samping yang lain[20].
Setelah
wafatnya kyai Cholil, Bisri Mustofa tidak lagi tinggal di kamar pondok, tetapi
tinggal bersama-sama ibu mertua dan keluarga lainnya. Bisri Mustofa bersama
istrinya mendapat dua kamar yang dijadikan sebagai tempat tidur dan satunya
sebagai ruang tamu.
Ketika
bapaknya Bisri Mustofa masih hidup yaitu H. Zainal Mustofa masih hidup, beliau
telah membeli sepetak tanah di Kasingan sebagai wakaf. Sebelum tanah tersebut
digunakan H. Zainal Mustofa terlebih dahulu wafat.
Sehingga
oleh Bisri Mustofa tanah tersebut dimanfaatkan sebagai rumahnya dengan memindah
rumah dapur (omah
pawon: Jawa) yang berada di Sawahan ke Kasingan
tersebut. Atas izin keluarganya rumah dapur tersebut didirikan di atas tanah
wakaf. Bisri Mustofa dan istrinya bertempat tinggal di rumah dapur tersebut
sampai mempunyai dua anak (Cholil dan Mustofa). Setelah itu mereka pindah ke
Sawahan bertempat di rumah Sisir (jalan Kartini).
Kepindahan
tersebut dilakukan ketika itu Bisri Mustofa harus pergi setiap pagi ke Pati
Jawa Tengah untuk bekerja dan sorenya baru kembali, selain itu Bisri Mustofa
merasa ada kekurangcocokan dengan saudaranya, kyai ‘Abdullah Zaini. Di jalan
Sisir tersebut Bisri Mustofa tinggal selama satu setengah tahun. Setelah itu
mereka kemudian menyewa rumah kakanya, H. Zuhdi di Sawahan sebesar Rp.
7,5/bulan[21].
3. Karir
Pada
akhir tahun 1945 terjadi pembagian tanah dan rumah peninggalan H. Zainal
Mustofa. Dalam pembagian tersebut Bisri Mustofa mendapat bagian rumah di jalan
Sisir (jalan Kartini) bersama kakanya yaitu Maskanah. Selain itu beliau juga
mendapatkan tanah kosong di Jalan Mulyo 3. Sedangkan saudara-saudaranya juga
mendapatkan bagian yang adil, termasuk juga mendapatkan tanah kosong di sekitar
Jalan Mulyo 3. Oleh Bisri Mustofa
tanah-tanah tersebut dibeli dan menjadi hak milik Bisri Mustofa. Kemudian Bisri
Mustofa pindah pindah rumah dari Kasingan ke Leteh di jalan Mulyo tersebut. Di
Leteh inilah kemudia Bisri Mustofa membangun pondok Pesantren dengan nama
Raud}atut} T{alibi>n. pesantren tersebut merupakan kelanjutan dari Pesantren
kyai Cholil di Kasingan yang bubar pada masa pendudukan Jepan pada tahun 1943
M. sebelum dinamakan Pesantren Raud}atut} T{alibi>n, Pesantren yang dibangun
oleh Bisri Mustofa tersebut dikenal dengan sebutan Pesantren Rembang saja.
Sebagai mana Pesantren-pesantren lain yang ada di Jawa, misalnya Pesantren
Lirboyo, Pesantren Krapyak, Pesantren Sarang, Pesantren Tebu Ireng dan
lain-lain.
Kemudian
pada tahun 1955-an para santri dan pemuda meminta kepada Bisri Mustofa untuk
memberikan nama Pesantren Rembang tersebut. Kemudian Bisri Mustofa memberikan nama Pesantren Rembang tersebut
dengan nama Raud}atut} T{alibi>n. akhirnya Pesantren Rembang tersebut
populer dengan nama Pesantren Raud}atut} T{alibi>n atau dalam terjemahan
bahasa Indonesia disebut Pesantren Taman Pelajar Islam (TPI).
Dalam
pernikahannya dengan Nyai Ma’rufah binti kyai Cholil, kyai
Bisri
dikaruniai delapan orang anak[22],
yaitu;
1.
Cholil (lahir pada tanggal 12 Agustus
1942)
2.
Mustofa (lahir pada tanggal 10 Agustus
1943)
3.
Adib (lahir pada tanggal 30 Maret
1950)
4.
Faridah (lahir pada tanggal 17 Juni
1952)
5.
Najihah (lahir pada tanggal 24 Maret
1955)
6.
Labib (lahir pada tahun 1956)
7.
Nihayah (lahir pada tahun 1958),
dan
8.
Atikah (lahir pada tanggal 24 Januari
1964).
Perjalanan kyai Bisri kemudian mengalami berbagai dinamika dan cobaan
seiring dengan perjalanan waktu dengan kondisi zaman waktu itu. Seiring dengan
perjalanan waktu itu pula tanpa sepengetahuan keluarganya termasuk istrinya
sendiri, kyai Bisri menikah lagi dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa
Tengah yang bernama Umi Atiyah. Peristiwa tersebut terjadi kira-kira pada tahun
1967-an. Ketika itu kyai Bisri mendirikan Yayasan Muawanah Lil Muslimi>n
(YAMU’ALLIM). Pernikahan kyai Bisri yang kedua kalinya itu tanpa persetujuan
oleh istri kyai Bisri yang pertama yaitu Nyai Ma’rufah. Sehingga sampai
sekarang Nyai Ma’rufah tidak menganggap bahwa Umi Atiyah adalah istri kedua
dari suaminya. Keduanya pun tidak perenah saling ketemu kecuali pada saat kyai
Bisri wafat dan istrinya yang kedua itu datang ke Rembang untuk melayat.
Kedatangannya tersebut tidak dianggap oleh Nyai Ma’rufah sebagai istri kyai
Bisri, Nyai Ma’rufah menganggapnya sebagai tamu seperti para pelayat lainnya.
Berbeda dengan Nyai Ma’rufah, Putra tertuanya sendiri adalah KH Cholil Bisri
mengakui bahwa Umi Atiyah adalah istri yang kedua dari kyai Bisri dan merupakan
ibu tirinya. Dalam pernikahannya dengan Umi Atiyah, kyai Bisri dikarunia satu
orang anak laki-laki yang bernama Maimun[23].
4. Wafat
KH
Bisri Mustofa wafat pada hari Rabu tanggal 17 Pebruari 1977 (27 S{afar 1397
H.), menjelang Asar di Rumah Sakit Umum Dr. Karyadi Semarang karena serangan
jantung, tekanan darah tinggi dan gangguan pada paru-paru. Seminggu sebelumnya,
pada tanggal 2 Pebruari 1977, KH Bisri Mustofa masih menghadiri pengajian di
Kragan Rembang. Tiga hari kemudian pada tanggal 5 Pebruari 1977, beliau berada
di Gedung Olahraga Semarang Jawa Tengah untuk berpidato dalam rangka Harlah PPP
(Partai Persatuan Pembangunan). Sehari kemudian KH Bisri Mustofa pergi ke Jakarta
mengurus keberangkatan putranya yaitu; M. Adib Bisri ke Arab Saudi yang akan
melanjutkan studi ke Riyad}. Selain itu beliau juga menyelesaikan beberapa
urusan dengan Majelis Syuro PPP. Sepulangnya dari Jakarta, pada tanggal 10
Pebruari beliau langsung pergi ke Purwodadi, Grobogan. Dalam kondisi sakit
beliau tetap memaksakan diri untuk mengajar di Pesantren. Sehabis mengajar
santri-santrinya, yaitu pada tanggal 11 Pebruari KH Bisri Mustofa pergi ke Jombang
untuk suatu urusan dengan Rais ‘Am PBNU KH M. Bisri Syamsuri[24].
Tidak
ada tanda-tanda bahwa KH Bisri Mustofa akan wafat. Tapi beberapa orang yang
dekat beliau mengatakan bahwa dibanyak kesempatan pidato dakwahnya pada
hari-hari terakhir beliau banyak mengulas soal ukhrowi lebih dari biasanya.
Sepulang dari Jombang, beliau benar-benar jatuh sakit. KH Bisri Mustofa
memerintahkan putranya untuk memanggil Dokter. Tekanan darah yang sangat tinggi
dan keletihan menimbulkan komplikasi.
Akhirnya
pada tanggal 14 Pebruari 1977 beliau harus diopname di Rumah Sakit Dr. Karyadi
Semarang. Tetapi keadaan sudah terlamabat, komplikasinya demikian berat
sehingga detak jantung dan paru-parunya sudah tidak normal lagi. Dalam keadaan
sakit itu KH Bisri Mustofa diketahui tidak pernah absen melaksanakan shalat
fardhu walau pun dalam keadaan lemah sekali pun.
Meski
sudah bekerja dengan keras, kesanggupan Dokter sudah maksimal. Tetapi Allah
berkehendak lain, seminggu sebelum kampanye pemilu 1977, pada hari Rabu Pahing
tanggal 17 Pebruari 1977 menjelang Asar KH Bisri Mustofa kembali ke Sang Maha
Pencipta. Beliau wafat dengan tenang, dengan senyum dan wajah kemerahan tanda
seseorang yang meninggal dengan H{usnul Khatimah. Selepas Isya’ jenazah dibawa
ke Rembang diantar oleh Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam serta tokoh-tokoh
Jawa Tengah lainnya. Sepanjang jalan Semarang – Rembang, rakyat berderet di
sepanjang jalan untuk memberikan penghormatan terakhir.
Pada
saat pemakaman KH Bisri Mustofa, sebagian warga masyarakat Rembang khususnya
dan Jawa Tengah pada umumnya berdatangan dan melakukan ta’ziyah (melayat) untuk
memberikan pernghormatan terakhir kepada Almag{furlah, ribuan warga rela untuk
berdesak-desakan untuk menghadiri upacara pemakaman. Tidak jarang yang
berebutan untuk mencium pipi Almag{furlah sebagai bentuk kenangan dan
penghormatan terakhir[25].
Pada
saat pemakaman KH Bisri Mustofa, sebagian warga masyarakat Rembang khususnya
dan Jawa Tengah pada umumnya berdatangan dan melakukan ta’ziyah (melayat) untuk
memberikan pernghormatan terakhir kepada Almag{furlah, ribuan warga rela untuk
berdesak-desakan untuk menghadiri upacara pemakaman. Tidak jarang yang
berebutan untuk mencium pipi Almag{furlah sebagai bentuk kenangan dan
penghormatan terakhir[26].
5. Pergerakan Dan Perjuangan KH Bisri Mustofa
Sebagaimana
kita ketahui bahwa Bangsa Indonesia telah bertahuntahun lamanya dijajah oleh
kolonialisme Belanda. Hal ini membuat rakyat Indonesia menjadi sangat
menderita. Akhirnya pada tahun 1825 muncul suatu pergerakan untuk melawan
kolonialisme bangsa Indonesia terutama oleh para ulama yang dipelopori
pangeran Diponegoro[27],
putra Sultan
Hamengkubuwono III[28].
Akan tetapi pada tanggal 28 Maret 1830 dengan tipu muslihat belanda maka
pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado sampai wafatnya[29].
Para ulama yang berjuang bersama-sama pangeran Diponegoro kemudian lari dan
menyembunyikan diri ke gunung-gunung, desa-desa terpencil, di tempat-tempat
tersebut para ulama mendirikan tempat-tempat pengajian untuk dijadikan basis
perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Setelah
pergerakan terhenti untuk beberapa tahun, kecuali insideninsiden kecil yang ada
di daerah-daerah, mulailah bermunculan pergerakanpergerakan seperti; pergerakan
Budi Utomo oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo pada tahun 20 maret
1908[30].
Kemudian pada tahun 1912 muncul pergerakan yang dinamai Syarikat Islam yang
didirikan oleh H. Samanhudi dan H.O.S. Tjokroaminoto, selanjutnya dengan tahun
yang sama berdiri Muh}ammadiyah dengan pimpinan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta.
Tidak ketinggalan juga para ulama yang berfaham Ahlussunnah Wal Jama’ah
mendirikan organisasi keagamaan yang bernama Nahdhotul ‘Ulama>’ (NU) pada
tahun 1926 dengan pimpinan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah di Jombang.
Setelah itu pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan
pimpinan Ir. Soekarno[31].
Kesemuanya merupakan wadah dan alat perjuangan melawan kolonialisme Belanda
untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pada
bulan Oktober 1941, KH Bisri Mustofa dikaruniai anak pertama yang dinamai
Cholil. Akhirnya pada tahun itulah tepatnya tanggal 8 Desember 1941 Jepang
memutuskan perang melawan sekutu. Pada bulan Maret 1942 Jepang mendarat di
Jawa. Kemudian pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda sebagai antek sekutu
menyatakan takluk dan menyerah kepada tentara Jepang, Dai Nippon (Jepang
Raya)[32].
Jauh sebelum Dai
Nippon mengumumkan perang melawan sekutu, Belanda telah
sibuk melawan perangkap maut di mana-mana dan membuat bunker perlindungan,
Pengawasan diperketat. Jembatan yang akan dilalui Dai
Nippon dihancurkan. Namun kebahagian rakyat Indonesia
menyambut kedatangan Jepang akhirnya pudar karena Jepang juga berubah menjadi
kolonialisme baru, karena biaya perang yang begitu tinggi, Jepang juga menguras
darah rakyat Indonesia sekaligus menjadikannya tentara di tanah jajahannya
sendiri[33].
Dunia pesantren gempar karena para santri
takut dimintai milisi suka rela memperkuat barisan Belanda untuk menghadapi
Jepang. Pesantrenpesantren menjadi lengang karena para santri jadi pulang ke
kampung halamannya masing-masing. Tak terkecuali Pesantren Kasingan. Padahal NU
telah mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Batavia agar para santri
tidak dikenakan wajib militer. Permintaan tersebut dikabulkan, tetapi berita
tersebut tidak sampai ke Pesantren di Rembang. Pondok Pesanten sudah terlanjur
sepi ditinggalkan para santri. Sehingga pondok Kasingan menjadi bubar, para
santri semuanya pulang. Kyai Abdullah Zaini mempersilahkan para santri untuk
pulang ke rumah masing-masing jika tidak tabah dan kuat menghadapi semua
musibah tersebut. Waktu itu tersiar jika terjadi perang dan Jepang mendarat,
maka kereta api, bus dan kendaraan umum lainnya tidak akan jalan, pos surat
maupun pos wesel akan menjadi putus.
Situasi
yang mencekap itu menyebabkan KH Bisri Mustofa dan keluarganya meninggalkan
kota Rembang dan mengungsi ke Sedan sebelum Jepang mendarat, setelah itu
saudara-saudara KH Bisri Mustofa seperti H.
Zuhdi
sekeluarga, Nasukha sekeluarga, H. Mukhtar sekeluarga menyusul ke Sedan untuk
mengungsi juga. Hal ini dilakukan karena menurut beliau akan terjadi
pertempuran di pantai kota Rembang sehingga hal tersebut harus dihindari. Akan
tetapi kenyataan membuktikan lain, sebab selain di tempattempat sekitar pantai,
Jepang juga mendarat di Kragan[34].
Dari Kragan kemudian di desa karangasem, Jepang terus mendarat di Sedan yaitu
tempat pengungsian keluarga KH Bisri Mustofa. Betapa khawatir dan takutnya KH
Bisri Mustofa dan keluarga mendengar bahwa tentara Jepang berada di Sedan[35].
Rakyat
sanagt ketakutan dan berada dalam keadaan yang sangat menderita. Jepang
bertindak seenaknya sendiri memperlakukan orang. Bila ada wanita cantik dikejar
dan entah dibawa ke mana. Sehingga banyak wanita yang mencoreng muka dengan
arang agar tidak kelihatan wajah aslinya. Jepang menyuruh warga untuk memanjat
pohon kelapa, jika mereka haus. Karena mereka sangat suka dengan air kelapa
muda. Hal itu jika ada yang menolak maka akan dihajar dan dipukuli.
Tidak lama kemudian Belanda menyatakan takluk
kepada Jepang, maka kehidupan mulai kembali normal. Sikap dan tanggapan rakyat
terutama ulama’ terhadap Jepang sangat beragam. Ada yang memuji-muji Jepang,
bersikap masa bodoh dan sedikit yang berpandangan bahwa Jepang dan Belanda
adalah sama keduanya. Rakyat terkena propaganda Jepang yang berjanji akan
memerdekakan bangsa Indonesia. Propaganda itu disiarkan terus lewat radio-radio
Jepang yang selalu mendengungkan lagu Indonesia Raya. Sehingga pendaratan
Jepang ke Indonesia menjadi lancar.
Setelah
Jepang memulai memerintah di Jawa, sikap yang diterapkan adalah sikap keras,
kasar dan tidak manusiawi. Kekejaman yang dilakukan Jepang sama seperti
kolonialisme Belanda, bahkan rakyat semakin menderita. Setelah berlangsung
tidak begitu lama ketakutan semakin sedikit mereda. Sekolah-sekolah mulai
dibuka, kantor dan jawatan mulai bekerja seperti sedia kala. Namun kehidupan
politik ditekan. Kehidupan politik pada zaman Jepang dimatikan sama sekali.
Partai politik dilarang hidup. NU dan Muhammadiyah pun dilarang hidup. Pada
saat itulah garis perjuangan dan pergerakan terhadap Jepang terbelah menjadi
dua, yaitu bersikap
kooperatif dan
non kooperatif. Sikap kooperatif adalah sikap moderat
yang mau bekerja sama dengan Jepang, Sedangkan sikap non kooperatif adalah
sikap radikal yang tidak mau bekerja sama dengan Jepang[36].
Sebelum
Jepang datang di Indonesia, umat Islam telah mendirikan Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) pada bulan September 1937 yang terdiri dari unsur NU,
Muhammadiyah, PSII, al Irsyad dan semua organisasi Islam waktu itu. Waktu itu
MIAI dipimpin oleh W. Wondo Amiseno yang duduk sebagai sekjen MIAI dibantu oleh
Ir. Sofwan. Akan tetapi setelah Jepang datang MIAI dibubarkan pada bulan
Oktober 1943. Sebagai gantinya Jepang membentuk organisasi baru yang diberi
nama MASYUMI ( Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang mempunyai cabang-cabang
disetiap karisidenan di Jawa. Masyumi diketuai oleh KH Hasyim Asy’ari dari
Jombang dan sebagai wakilnya adalah Ki Bagus Hadikusumo. Waktu itu semua umat
Islam dianggap sebagai warga Masyumi.
Pada
tahun 1943, Jepang mengadakan latihan alim ulama’ di Jakarta selama satu bulan.
Angkatan pertama dari daerah Pati Jawa Tengah diwakili oleh K.H. ‘Abdul Jalil
Kudus. Sedangkan angkatan kedua diwakili oleh KH Bisri Mustofa Rembang. Dalam
pelatihan inilah untuk pertama kalinya KH Bisri Mustofa berkenalan dengan salah
seorang peserta pelatihan yang bernama KH Abdul Wahid Hasyim. Keduanya
sama-sama mengikuti pelatihan tersebut dan kemudian pada periode-periode
selanjutnya menjadi sahabat seperjuangan di partai NU. Guru-guru yang mengajar
di pelatihan itu selain orang-orang Jepang adalah KH Wahab Hasbullah, H. Agus
Salim dan KH Mas Mansur. Tidak diketahui secara persis apa dan maksud tujuan
dari pelatihan ini. Para peserta diberi pelajaran praktis tentang pertanian,
perdagangan dan lain-lain, juga ada kunjungan ke sekolah, perpustakaan, pabrik
dan pasar.
Sebagai
alumnus pelatihan alim ulama’, KH Bisri Mustofa ditugaskan menjadi ketua
Masyumi daerah kabupaten Rembang dan wakilnya adalah KH Mundhir. Pembentukan
Masyumi di daerah ini dijadikan sebagai alat penyambung lidah antara pemerintah
Jepang dengan umat Islam[37].
Tidak
lama Masyumi berdiri, Jepang membentuk sebuah jawatan yang pada masa Belanda
tidak ada yaitu Jawatan Agama atau Kantor Urusan Agama (dalam bahasa Jepang
disebut Shumubu).
Jawatan ini kantornya hanya di pusat dan di daerah karisidenan. Di tingkat
pusat dinamakan Shumubu,
sedangkan di tingkat karisidenan dinamakan Shumuka. Di tingkat pusat telah
diangkat Shumubutjo (ketua Shumubu)
yaitu KH Hasyim Asy’ari yang dibantu oleh KH
Abdul Wahid Hasyim, KH Dahlan, yang
masing-masing dengan pangkat Tiho
Itto Sjoki Shumubu.
Di daerah karisidenan Pati, diangkat sebagai Shumkatjo
(ketua
Shumuka)
yaitu KH Abdul Manan dan dibantu oleh KH Bisri Mustofa Rembang dan K. Machmudi
Pati, Masing-masing Tiho Itto Sjoki Shumuka.
Akan tetapi jawatan agama seperti jawatan-jawatan lainnya juga diawasi oleh
orang-orang Jepang yang disebut Sidoin. Di Pati Shumuka
didampingi oleh Otokawa.
Sebagai
Shumuka KH Bisri Mustofa melakukan pidato keliling ke
pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan untuk membangkitkan semangat kerja para
pegawai dan pekerja. Hal tersebut dilakukan agar semangat tersebut tetap
terjaga sampai waktunya nanti bangsa Indonesia akan merdeka sesuai janji
Jepang. KH Bisri Mustofa berpidato di Cepu, Ngelobo (daerah Cepu), Randublatung
dan seluruh karisidenan Pati yang terdiri dari lima kabupaten dan 22
kawedanan.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang
menyerah tanpa syarat kepada Sekutu setelah kota Nagasaki dan Hirosima di bom.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan Moh. Hatta tidak dapat
dipertemukan di Jakarta.
Kemudian
malam harinya mereka diculik oleh para pemuda Indonesia ke Garnisum PETA di
Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah Utara dari jalan
raya menuju Cirebon. Keduanya dipaksa untuk menyatakan proklamasi kemerdekaan
RI secepatnya. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan Moh.
Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan RI atas nama bangsa Indonesia[38].
Setelah
Indonesia merdeka, tentara Sekutu ingin merebut kembali Indonesia dari tangan
Jepang, dengan dalil karena Jepang telah dikalahkannya. Di mana-mana terjadi
pergolakan. Belanda menduduki Semarang, Inggris mendarat di Surabaya. Pada saat
pergolakan semakin menghebat, pemerintah Indonesia menghimpun kekuatan pemuda untuk
bergabung dalam BKR
(Barisan
Kemerdekaan Republik), yang merupakan cikal-bakal lahirnya TNI (Tentara
Nasional Indonesia). Organisasi-organisasi pergerakan juga bergerak kembali,
seperti Masyumi, PNI, PKI, dan lain-lain. Masyumi sendiri kemudian membentuk
Hizbulla>h, Sabi>lilla>h, GPII, GPII Putri, STII dan SDII.
Di
tengah situasi pergolakan semacam itu, KH Bisri Mustofa meminta keluar dari
jabatan sebagai pegawai kantor urusan agama (Shumuka)
pati.
Beliau
kemudian memilih ikut berjuang bersama-sama tentara Hizbulla>h dengan
menjadi ketua Masyumi cabang rembang, dibantu oleh S. Chaidar sebagai wakil
ketua, dan E. Abdul Karim sebagai sekretaris. Sejak itulah keluarga KH Bisri
Mustofa semakin melarat dan menderita. Kehidupan seharihari, seperti makan-minum
terpaksa menumpang bersama-sama tentara Hizbulla>h. Hal tersebut dilakukan
karena KH Bisri Mustofa tidak bekerja lagi, kecuali hanya berjuang bersama-sama
pemuda-pemuda lainnya, seperti yang tergabung dalam tentara Hizbulla>h[39].
Oleh
sesama teman tentara Hizbulla>h, terutama anjuran dari Abdul Wahhab. KH
Bisri Mustofa disarankan untuk istirahat dan berobat. KH Bisri Mustofa sakit
mata dan memerlukan kornea untuk dicangkokkan. Dengan bekal pemberian dari
Abdul Wahhab yang telah menyanggupi biayanya, maka KH Bisri Mustofa, kedua
anaknya yaitu Cholil dan Mustofa, sebagai kandar sebagai pembantu, pergi ke
Yogyakarta untuk berobat kepada dr. Yap, dokter spesialis mata. Setelah berobat
ke Yogyakarta tersebut. Mata KH Bisri Mustofa belum dapat disembuhkan. Sehingga
mereka sekeluarga kembali pulang ke Rembang.
Setelah
beberapa bulan berselang, KH Bisri Mustofa menengar bahwa di Jombang ada
seorang tabib kondang. Kemudian KH Bisri Mustofa dan sekeluarga serta mengajak
Chamidah binti KH Chamzawi berangkat ke Jombang untuk berobat. Selama berobat
di Jombang, keluarga KH Bisri Mustofa tinggal di Pare, mondok di rumah mak Puk
karena rumah sang tabib terlalu sempit untuk menampung mereka. Setiap minggu KH
Bisri Mustofa pergi sendirian ke Jombang untuk konsultasi dengan tabib dan
menanyakan apakah sudah berhasil memperoleh sumbangan kornea. Tabib berkata:
“Masih menunggu dari rumah sakit”. Akhirnya sampai enam bulan lebih, ikhtiar
itu tidak kunjung berhasil.
Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, KH Bisri Mustofa terpaksa menjual pakaian
sehingga tinggal satu lembar sarung, satu kaos oblong, satu celana pendek dan
sebuah baju dril. Dua buah kitab kesayangannya yaitu kitab Jami’ul Jawami’ dan
Mursid ‘Uqudul Juman ikut pula terjual. Dalam keadaan melayat yang amat sangat,
KH Bisri Mustofa terpaksa menjabut gigi mas yang dipakai dan dijual dengan
harga Rp. 400,- .
KH
Bisri Mustofa kemudian bekerja membuat kerajinan tas dengan modal dari mak Puk
sebanyak Rp. 1.000,- setiap pagi mulai pukul 07.00 KH Bisri Mustofa sudah
bekerja, setelah selesai 10-12 buah tas, KH Bisri Mustofa menjual ke Bendo
Lirboyo dan Tebu Ireng. Uang hasil penjualannya dibelikan kulit bahan buat tas
dan sisanya untuk makan. Di Pare inilah KH Bisri Mustofa menyekolahkan anaknya
Cholil sedangkan Mustofa belum cukup usia untuk masuk sekolah[40].
Pada saat keluarga KH Bisri Mustofa berada di
Pare, terjadilah pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun
dipimpin oleh Muso pada tahun 1948. Akan tetapi pemberontakan di Madiun
berhasil ditaklukkan oleh tentara Indonesia. Di Pare ini juga, KH Bisri Mustofa
sering mengunjungi KH Abdul Wahid Hasyim di Tebu Ireng yang waktu itu menjabat
sebagai wakil Residen Surabaya di Jombang. Sebenarnya hubungan KH Bisri Mustofa
dengan KH Abdul Wahid Hasyim sudah dimulai sejak adanya pelatihan alim ulama’
di Jakarta, di mana KH Bisri Mustofa sebagai peserta mewakili Pati.
Pada
suatu ketika tiba-tiba KH Bisri Mustofa kedatangan tamu dari Rembang, yaitu: KH
Abu Bakar Pamotan, Abdul Wahhab dan Mabrur. Kedatangan mereka untuk melaporkan
bahwa Rembang dalam keadaan bahaya, karena telah dikepung oleh tentara-tentara
PKI. Mereka meminta diusahakan bala tentara dari Jawa Timur. Setelah itu KH
Bisri Mustofa mengajak mereka bertiga ke Kediri menemui KH Makhrus dan ke
Tambak Beras menemui KH Abdul Wahhab Chasbullah dan gus Cholik Hasyim yang
waktu itu menjabat sebagai kepala Batalyon Hizbulla>h.
Kemudian
dikirim bantuan ke Rembang dengan pimpinan Batalyon Cholik Hasyim, Sudir,
Abdullah dan Brigade S. Setelah terjadi pertempuran hebat antara Hizbulla>h
dan PKI di Rembang akhirnya berkat bala bantuan tersebut PKI berhasil diusir
dari Rembang. Pertempuran ini terjadi di Karang Geneng Rembang. Tentara merah,
sebutan untuk tentara PKI berada di sebelah barat Kareng Geneng. Sedangkan
tentara merah putih, sebutan tentara Hizbulla>h berada di sebelah timur
Karang Geneng[41].
Berselang
sebulan kemudian KH Bisri Mustofa mendapt surat dari Kyai Abu Bakar Pamotan
yang isinya meminta KH Bisri Mustofa untuk segera pulang dan kembali ke
Rembang. Selanjutnya KH Bisri Mustofa dan keluarganya pulang ke Rembang. Sejak
saat itu beliau memulai bekerja dengan usaha jual beli garam, dengan uang modal
yang diperoleh dari pemberian Kyai Abu Bakar Pamotan sejumlah Rp. 60.000,-.
Pada waktu itu 1 ton garam seharga Rp. 5.000,- dan 1 gerbong harganya Rp. 50.000,-.
Sebentar kemudian kehidupan keluarga KH Bisri Mustofa mulai ada harapan baru,
karena hasil penjualan garam mulai menampakkan hasil yang lumayan. Akan tetapi
hal tersebut berlangsung tidak lama, akhirnya usaha KH Bisri Mustofa jatuh
bangkrut. Satu gerbong garang yang dikirim ke Babat gagal terkirim karena
disita oleh Belanda yang kembali menyerbu Rembang.
Kemudian
KH Bisri Mustofa sekeluarga kembali mengungsi dan lari ke Sulang, pindah ke
Cabeyan, ke Trembes Gunem, kemudian hijrah lagi ke Sedan, sampai akhirnya
menetap sementara di Sarang, Sekitar 1 tahun keluarga KH Bisri Mustofa
mengungsi. Di Sarang keluarga KH Bisri Mustofa kehidupannya lebih melarat.
Keluarga ini makan jagung pun dari pemberian orang. Kedudukan Belanda di
Rembang semakin kuat. Rakyat pada umumnya semakin menderita. Di Sarang inilah
KH Bisri Mustofa mengkhitankan kedua anaknya yaitu: Cholil dan Mustofa dengan
upacara potong dua ekor ayam.
Setelah
beberapa bulan di Sarang, KH Bisri Mustofa merasakan ketidaktenangan dan
kesedihan yang mendalam melihat penderitaan rakyat yang semakin berat. Belanda
yang semakin kuat bercokol di Rembang semakin menambah penderitaan rakyat
tersebut. Untuk mengobati perasaan tersebut, KH Bisri Mustofa sering melakukan
ziarah ke makam-makam, terutama makam Syarah yang terletak di sebelah timur
Masjid Besar Sarang, kebetulan berada di belakang rumah tempat menetap KH Bisri
Mustofa sementara. Setiap malam KH Bisri Mustofa dan istri menginap di makam
Syarah tersebut, setelah melakukan doa dan ritual[42].
6. Karya-Karya KH Bisri Mustofa
Hasil
karya KH Bisri Mustofa umumnya mengenai masalah keagamaan yang meliputi
berbagai bidang di antaranya; Ilmu Tafsir dan Tafsir, Ilmu Hadis dan Hadis, Ilmu
Nahwu, Ilmu S{araf, Syari’ah atau Fiqih, Tasawuf/Akhlak, Aqidah, Ilmu
Mantiq/Logika dan lain sebagainya. Kesemuanya itu berjumlah kurang lebih 176
judul[43].
Bahasa yang dipakai bervariasi, ada yang berbahasa Jawa bertuliskan Arab Pegon,
ada berbahasa Indonesia bertuliskan Arab Pegon, ada berbahasa Indonesia
bertuliskan huruf Latin dan ada juga yang menggunakan bahasa Arab. Berikut
sebagian karya-karya beliau;
1.
Tafsir al-Ibri>z li Ma’rifati
al-Qur’a>n al-‘Azi>zi bi al-Lug}ati al-
Ja>wiyyah[44]
2.
Al-Iksir Fi> Tarjamah ‘Ilmi Tafsi>r (1380 H/1970 M)
3.
Tarjamah Manzumah al-Baiquni (1379
H/1960 M)
4.
Al-Azwadu al-Mustafayah Fi> Tarjamah
al-Arba’in an-Nawawiyyah
5.
Sullamul Afham Tarjamah Bulu>g}ul
Maram
6.
Nazam as-Sullam al-Munawaraq Fi>
al-Mantiq
7.
Sullamul Afham Tarjamah Aqidatul Awam
(1385 H/1966 M)
8.
Durarul al-Bayan Fi> Tarjamah
Sya’bi al-I<ma>n
9.
Tarjamah Nazam al-Faraidul Bahiyah
Fi> al-Qawaidi al-Fiqhiyyah (1370
H/1958 M)
10.
Aqidah Ahlu as-Sunnah Wal Jama’ah
11.
Al-Baiquniyah (ilmu hadis)
12.
Tarjamah Syarah Alfiyah Ibnu Malik
13.
Tarjamah Syarah Imrit}i>
14.
Tarjamah Syarah al-Jurumiyah
15.
Tarjamah Sullamu al-Mu’awanah
16.
Safinatu as}-S{ala>h
17.
Tarjamah kitab Faraid}u al-Bahiyah
18.
Muniyatu az-Zaman
19.
At}aifu al-Irsyad
20.
An-Nabras
21.
Manasik Haji
22.
Kasykul
23.
Ar-Risalatu al-H{asanah
24.
Al-Was}aya Lil Aba>’ Wal Abna>’
25.
Islam dan Keluarga Berencana (KB)
26.
Kutbah Jum’at
27.
Cara-caranipun Ziarah lan Sintenke
Mawon Walisongo Punika
28.
At-Ta’liqat al-Mufidah Li al-Qas}idah
al-Munfarijah
29.
Syair-syair Rajabiyah
30.
Al-Mujahadah wa ar-Riyad{ah
31.
Risalah al-Ijtihad Wa at-Taqlid
32.
Al-H{abibah
33.
Al-Qawaidu al-Fiqhiyyah
34.
Buku Islam dan Shalat
35.
Buku Islam dan Tauhid, dan lain-lain.[45]
Karya-karya
KH Bisri Mustofa sebagai mana di atas, pada umumnya ditujukan pada dua kelompok
sasaran. Pertama; kelompok santri yang sedang belajar di Pesantren. Biasanya
karya-karyanya berupa ilmu Nahwu, ilmu S{araf, ilmu Mantiq dan ilmu Balag}ah.
Kedua; kelompok masyarakat umum di pedesaan yang giat dalam pengajian di Surau
atau Langgar, dalam hal ini karya-karyanya lebih banyak berupa ilmu-ilmu praktis
yang berkaitan dengan ibadah.
[1] Saifullah
Ma’sum, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas
26 Tokoh NU (Bandung: Mizan, 1998), h. 319. Dan lihat Badiatul Rojiqin,
dkk. Menelusuri Jejak, Menguak Sejarah,
101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), h. 115.
[2] Mashadi adalah
nama asli dari Bisri Mustofa yang kemudian setelah Beliau menunaikan ibadah
haji diganti menjadi Bisri Mustofa. Lihat Bisri Mustofa, Sejarah Singkat KH. Bisri Mustofa Rembang, (Kudus: Menara Kudus,
1977), h. Muqaddimah
[3] K.H. Misbah
Mustofa termasuk seorang ulama besar yang cukup produktif diantara tafsirnya
yang populer adalah Tafsir al Iqlil
lima’ni Tanzil yang terdiri dari 30 jilid. Lihat K.H. Misbah bin Zainul
Mustofa, Al-Ikli>l Fi>
Ma’a>ni> at-Tanzi>l (Surabaya: Toko Kitab al Ih}sa>n, t.th) dan
Islah Gusmian, Khasanah Tafsir Indonesia (Jakarta
Selatan: Teraju, 2003), cet. I, h. 244
[4] H Zainal
Mustofa dan Chodijah sebelum mereka berdua menikah merupakan mantu dari Mbah
Suro Doble, karena Dalimin dan Dakilah merupakan saudara, keduanya adalah anak
dari Mbah Suro
Doble yang mempunyai tujuh anak,
yaitu; Dalipah, Dakilah, Dardjo, Dalimin, Darmi, Dahlan dan Tasmi
[5] Achmad Zainal
Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan
Khidmah KH Bisri Mustofa (Yogyakarta:
PT. LkiS Pelangi Aksara, 2005), cet. I,
h. 9-10
[6] Mata Air
Syndicate, Para Pejuang Dari Rembang (Rembang: Mata Air Press, 2006), h. 4
[7] H Zuhdi
merupakan kakak tiri Bisri, anak dari pasangan H Zainal Mustofa dengan H
Dakilah.
Dengan kata lain H Zuhdi dengan Bisri
seayah tapi beda ibu. Lihat Achmad Zainal Huda, op. cit., h. 9
[8] Achmad Zainal
Huda, op. cit., h. 10-11
[9] Ibid, h. 11
[10] Ibid, h. 11-13
[11]
kitab Alfiyah Ibnu Malik merupakan kitab yang membahas tentang kaidah bahasa
Arab (Nahwu) yang sangat populer di kalangan Pesantren. Kitab ini dikarang oleh
Syekh al-‘Allamah
Muh}ammad Jamaluddi>n Ibnu
‘Abdilla>h Ibnu Malik at-T{ay
[12] Achmad Zainal
Huda, op. cit., h. 14
[13]
Kitab Fath}ul Mu’i>n adalah kitab yang membahas tentang hukum-hukum fiqih,
kitab ini sangat populer di kalangan Pesantren. Pengarang kitab ini adalah Syekh al-‘A<lim al-‘allamah
Zainuddi>n bin ‘Abdul Azi>z al-Malibari> 14Achmad
Zainal Huda, loc. cit.
[14] Ibid.
[15] Ibid, h. 18
[16] Ibid, h. 20
[17]
Kitab S}ah}i>h} Bukha>ri> merupakan kitab hadits yang di dalamnya
terdapat hadits-hadits dari riwayat Ima>m Bukha>ri>, dan kitab Muslim
merupakan kitab hadits yang di dalamnya terdapat hadits-hadits dari riwayat
Ima>m Muslim
[18] Achmad Zainal
Huda, op. cit., h. 16
[19] Ibid, h. 17
[20] Ibid, h. 20
[21] Ibid, h. 21
[22] Ibid, h. 21-22
[23] Ibid, h. 22
[24] Ibid, h. 56
[25] Ibid, h. 56-58
[26] Ibid, h. 56-58
[27]
Beliau merupakan Panglima tertinggi dalam Perang Diponegoro (1825-1830), nama
kecil beliau Ontowiryo (11 November 1785 - 8 Januari 1855)
[28]
Nama asli beliau adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwono II (Raden Mas
Sujana) yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. meninggal di Yogyakarta, 3
November 1814 pada umur 45 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang
memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – dan 1812 – 1814
[29] M.C, Ricklefs,
Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta:
UGM Press, 1995), h. 177
[30] Akira Nagazumi,
Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi
Utomo 1908 – 1918 (Jakarta:
Pustaka Umum Grafiti, 1989), h. 41
[31]
Drs. RZ. Leirissa, MA, Terwujudnya suatu
gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900 – 1950 (CV. Akademika Pressindo,
1985), h. 48
[32] M.C, Ricklefs,
op. cit, h. 294
[33] Ahmad Mansur
Suryanegara, Api Sejarah Jilid I
(Bandung: Salamadani, 2010), h. 30
[34]
Kragan adalah kota kecamatan bagian dari kabupaten Rembang yang berada di
sebelah Timur Rembang. Kragan juga merupakan daerah pesisir pantura. Kira-kira
jarak antara Kragan dengan Sedan
[35] Achmad Zainal
Huda, op. cit., h. 25-26
[36] Ibid, h. 27-28
[37] Ibid, h. 29
[38] Ibid, h. 31-32
[39] Ibid.
[40] Ibid, h. 34
[41] Ibid, h. 35
[42] Ibid, h. 36
[43] Ibid, h. 73
[44]
Sebuah karya tafsir yang sangat sederhana yang ditulis dengan menggunakan
bahasa Jawa (bahasa setempat), namun tetap memakai huruf Arab, yang terdiri
dari 3 jilid besar sebanyak 2270 halaman yang ditulis selama kurang lebih empat
tahun yakni dari tahun 1957-1960 dan selesai pada hari Kamis tanggal 20 Rajab
1379 H. atau bertepatan pada tanggal 28 Januari 1960 pada usianya yang ke- 45
dan diterbitkan oleh Menara Kudus. Lihat Bisyri> Mus}t}afa>, Al-Ibri>z
op. cit., h. 25
[45] Achmad Zainal
Huda, op. cit., h. 73-74
Lahul fatihah untuk Kyai bisri musthofa,Allohu yarham
ReplyDeleteAl fatihah untuk beliau, luar biasa Jasa Toko Online Profesional
ReplyDeleteJasa Pembuatan Website Toko Online serta layanan Jasa Pembuatan Website Penjualan Online dan
Jasa Pembuatan Online Shop
Grosir Jilbab Murah - Jilbab Segi Empat Terbaru dan Jilbab Instan Terbaru serta Jasa Pembuatan Website Murah serta Buat Toko Online Murah juga Jilbab Pasmina Terbaru