Hermeneutika bermula ketika masyarakat
protestan mencoba untuk mencari penjelasan tambahan terkait ayat-ayat yang ada
di dalamnya. Pada awalnya gagasan itu ditolak oleh sebagian besar Gereja.
Tetapi sebagian besar ilmuwan mencoba untuk meyakinkan Gereja. Dalam
perkembangan penafsiran, banyak dijumpai teori baru yang memungkinkan untuk
meningkatkan mutu penafsiran. Dari sekian banyak teori itu, salah satunya
adalah hermrneutika. Hermeneutika yang berasal dari budaya Yunani kuno, kini
telah merambah ke dalam dunia islam. Sehingga memunculkan bermacam ide-ide baru
dalam penafsiran.
II.
ISI
a.
Biografi Emilio betti
Emilio Betti adalah seorang filsuf,
teolog dan ahli hukum dari Italia yg lahir pada tahun (1890-1968). Sumbangan
pemikirannya untuk memajukan hermeneutika dalam tradisi pemikiran Barat amat
berarti, khususnya di wilayah akademis berbahasa Italia dan Jerman. Kisah hidup
Betti cenderung tertutup untuk diakses publik, khususnya khalayak yang
berbahasa Inggris. Akan tetapi, dari keterangan yang diperikan oleh Josef
Bleicher dan Richard Palmer, kita bisa melihat bahwa ada sejumlah pemikir yang
mempengaruhinya. Dalam hal hermeneutika, ada pengaruh Dilthey dan
Schleiermacher, juga pemikiran Hegel dan Husserl serta pemikir neo-Kantian
seperti Nicolai Hartmann.
Dalam filsafat bahasa, Betti banyak
dipengaruhi oleh W. von Humboldt.[10] Betti termasuk kategori pemikir
hermeneutika yang berhaluan idealis-romantis. Pendekatan ini mengarahkan Betti
untuk berargumentasi tentang kemungkinan verstehen sebagai sebuah bentuk
pemahaman yang bisa ditelusuri dan dibenarkan secara metodologis. Pendekatan
ini pula yang membuatnya berseberangan dengan Gadamer dalam hal menegaskan
status epistemologis hermeneutika. Mari kita lihat di bawah ini argumentasi
Betti untuk membela status objektif dari
penafsiran guna sampai pada verstehen yang valid. Hampir keseluruhan karyanya
ditulis dalam bahasa Italia. Terjemahan karyanya ke dalam bahasa Inggris,
sayangnya, masih sangat amat terbatas.[1]
b.
Hermeneutika dalam pandangan Emilio betti
Dalam pandangan Betti, hermeneutika
merupakan teori umum penafsiran yang berfungsi sebagai metodologi umum untuk
ilmu humaniora (Geisteswissenschaften). Ini sekaligus menunjukkan
hermeneutika Betti sangat terinspirasi oleh hermeneutika Dilthey. Betti juga
mengikuti pendapat Schleiermacher ketika menyatakan penafsiran memberlakukan
kembali fikiran pengarang yang menggiring kepada pengetahuan kembali apa yang
pada asalnya diteliti oleh pengarang. Sekalipun Betti terinspirasi oleh Schleiermacher,
namun ini tidaklah menunjukkan Betti tidak memiliki kontribusi ide dalam
hermeneutika. Di antara sumbangan penting gagasan Betti terhadap hermeneutika
adalah (1) Betti menawarkan tipologi penafsiran yang komprehensif. (2) Ia adalah
teoris yang pertama mendirikan institusi untuk mengkaji isu-isu penafsiran yang
ditemukan dalam berbagai ranah keilmuan. Ia mendirikan Institut Penafsiran
diUniversitas Roma.[2]
Betti memulai hermeneutikanya dari
pengamatan bahwa manusia memiliki kebutuhan alami untuk saling mengerti.
Kebutuhan ini berangkat dari kemanusiaan umum yang semua manusia ikut serta.
Seseorang ‘mohon’ kepada yang lain, mengeluarkan ‘panggilan’ kepada mereka
untuk berusaha memahaminya. Ketika seseorang mengeluarkan permohonan untuk
dimengerti, secara alami orang lain terpanggil dengan permohonan itu, dan
secara alami pula merasa berkewajiban untuk menjawabnya. Seperti yang dikatakan
oleh Betti: “Nothing is as close to the heart of a human being as mutual
understanding with other human beings.”[3]
Bagaimanapun, Emilio Betti berpendapat
permohonan seseorang untuk dimengerti, tidak pernah dibuat secara langsung,
tetapi hanya melalui perantara. Betti menyebutnya perantara tersebut sebagai
‘bentuk-bentuk yang penuh makna (meaning-full forms). Konsep tentang
bentuk-bentuk yang mewakili sangat penting dalam hermeneutika Betti.
Bagi Emilio Betti, makna itu sebagaimana
yang dimaksudkan oleh pengarang dan agen-agen historis. Makna dirujuk kepada
bentuk-bentuk yang penuh makna yang merupakan objektifikasi pemikiran manusia.
Bagi Emilio Betti, terutamanya melalui bentuk-bentuk bahasa yang objektif dan
struktur tingkah laku subjek yang menafsirkan menemukan akal yang lain. Bagi
Emilio Betti, hermeneutika adalah metode yang diaplikasikan kepada penafsiran
dalam menjamin objektifitas hasilnya. Dengan menggunakan metode yang benar
serta kaidah penafsiran yang benar, seorang penafsir mampu untuk meraih di luar
kondisi historisnya untuk memahami makna sebuah teks sebagaimana yang dimaksudkan
oleh pengarang. Aturan-aturan dan kaidah-kaidah yang mengarahkan penafsiran
dapat diaplikasikan secara universal kepada teks apapun.[4]
Jadi, Emilio Betti merumuskan metode
serta kaidah dalam penafsiran yang akan mengantarkan seseorang untuk meraih
objektifitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, Emilio Betti melakukan 2 hal,
(pertama) ia mengklarifikasi persoalan pemahaman dengan memeriksa, secara detil
proses penafsiran; kedua, memformulasi sebuah metodologi yang menghalang
gangguan-gangguan subjektifis masuk ke dalam penafsiran objektif dari objektifasi
akal.[5]
Pemahaman. Betti memaknai pemahaman sebagai ‘sensus
non est inferendus sed efferendus.’ Betti menganggap hanya Auslegung
(penafsiran objektif) sebagai bentuk sah dari penafsiran. Ini berbeda dengan Deutung
dan ‘spekulative Deutung.’ (penafsiran spekulatif).[6]
Bagaimanapun, objektifitas yang sempurna
bagi Emilio Betti tidak akan pernah diraih. Emilio Betti menegaskan yang ada
hanya objektifitas yang relatif (relative objectivity). Bagi Emilio
Betti, hal ini disebabkan adanya hubungan yang dialektis antara aktualitas
pemahaman (actuality of understanding) dan objektifasi-objektifasi akal (objectivations
of mind). Maksudnya, subjek dan objek-objektivasi-objektivasi akal-, dalam
proses penafsiran terkunci bersama dalam hubungan yang bertentangan. Akal telah
mengental ke dalam bentuk yang permanent dan berkonfrontasi dengan subjek
sebagai yang lain (other). Namun, antara keduanya (subjek dan
objektifasi akal) memiliki saling ketergantungan. Sebabnya, akal yang subjektif
memerlukan objektifasi sebagai sokongan untuk membebaskan dirinya dengan meraih
kesadaran. Sama halnya, objektifikasi-objektifasi yang terkandung dalam apa
yang diwariskan tergantung sepenuhnya kepada akal untuk dibawa kepada pemahaman,
yaitu diperkenalkan kembali kepada ranah pemahaman melalui proses penafsiran.[7]
c. Kaidah yang mempengaruhi objektivitas
Jadi, dalam pandangan Betti, sekalipun
penafsiran bisa sampai kepada objektifitas, namun objektifitas penafsiran tersebut
tetap relatif. Bagi Betti, makna
seharusnya diderivasi dari teks dan bukan dimasukkan ke dalam teks. (meaning
has to be derived from the text and not imputed to it).[8]
Untuk meraih penafsiran objektif, Betti menyusun empat kaidah. Dua kaidah
terkait dengan objek penafsiran dan dua kaidah lain terkait dengan subjek
penafsiran. Dua kaidah yang terkait dengan objek penafsiran menunjukkan objek
pemahaman merupakan makna yang dimaksudkan oleh pengarang serta koherensi
internalnya. Kedua kaidah tersebut sebagai berikut:
Pertama, kaidah otonomi objek
hermeneutis dan standar hermeneutis yang immanent (the canon of the
hermeneutical autonomy of the object and immanence of the hermeneutical
standart). Dengan kaidah ini, Emilio Betti ingin menyatakan bahwa makna
harus didasarkan kepada objek penafsiran, yaitu bentuk-bentuk yang penuh makna yang
harus dianggap sebagai otonomi. Makna yang diafsirkan adalah makna yang immanent,
bukan proyeksi penafsir. Maksudnya, bentuk-bentuk yang penuh makna harus dianggap
sebagai otonomi. Otonomi objek penafsiran harus dimengerti dengan kesesuaiannya
dengan perkembangan logikanya sendiri. Bentuk-bentuk yang penuh makna harus
dinilai dalam kaitannya dengan standart-standart yang immanent dalam niat orisinal
pengarangnya. Kaidah ‘mens dicentis’ ini dalam pemahaman hermeneutis, verstehen,
mengikuti pola penafsiran bahwa ‘sensus non est inferendus sed efferendus.’[9]
Kedua, kaidah koherensi makna (prinsip
totalitas) (the canon of the coherence of meaning (principle of totality).
Dengan kaidah ini, Emilio Betti memaksudkan bahwa keseluruhan dan sebagian
dalam bentuk-bentuk yang penuh makna saling berhubungan. Makna keseluruhan
harus berasal dari unsur-unsur individu. Sama halnya, sebuah unsure individu
harus dimengerti dengan merujuk kepada keseluruhan yang komprehensif dimana
unsur individu tadi merupakan bagiannya.[10]
d. Kaidah yang terkait dengan subjek
penafsiran.
Pertama, kaidah aktualitas pemahaman (The
canon of the actuality of understanding). Dengan kaidah ini Emilio Betti
memaksudkan bahwa tugas penafsir adalah untuk menelusuri kembali proses
kreatif, membangun kembali proses tersebut dalam dirinya, menerjemahkan kembali
pemikiran Yang Lain, bagian dari masa lalu, peristiwa yang telah diingat, ke
dalam akutalitas kehidupannya sendiri. Maksudnya, mengadapsi dan
mengintegrasikannya ke dalam wawasan intelektual seseorang dalam framework
pengalamannya sendiri dengan melalui sejenis transformasi dengan didasarkan
kepada sistesis yang sejenis yang memungkinkan rekognisi dan rekonstruksi dari
fikiran tersebut. Tugas penafsir adalah menemukan makna yang dimaksud pengarang.
Bagaimanapun, ini tidak menunjukkan penafsir adalah penerima yang passif tetapi
rekonstruktif secara aktif. Selain itu, kondisi subjek penafsir tidak tepat
untuk disamakan dengan gagasan Gadamer ‘Vorverständnis’ (pra-pemahaman).[11]
Kedua, kaidah korespondensi makna
hermeneutis (kemantapan-makna dalam pemahaman). Menurut kaidah ini, penafsir seharusnya
berusaha membawa aktualitas kehidupannya
sendiri ke dalam harmoni yang paling erat dengan stimulasi yang ia terima dari
objek sehingga satu dan yang lain meresonansikan dengan cara yang harmoni.
Kaidah ini mensyaratkan penerjemah harus membawa subjektifitasnya ke dalam
harmoni dengan stimulasi-stimulasi objeknya. Betti mengakui fakta bahwa penerjemah
bisa memahami pokok persoalan dalam pengalamannya sendiri, tetapi dia harus
membuat selalu berusaha untuk mengkontrol ‘prejudis-prejudis’nya dan mensubordinasikan
pengetahuannya ke dalam objek makna yang disampaikan di dalam teks.[12]
Emilio Betti juga menyebutkan ada empat
moment teoritis dalam proses penafsiran yaitu moment filologis, kritis,
psikologis dan morfologis-teknis. Selain ke empat moment tersebut, ia juga
menyebutkan tiga jenis penafsiran. Pertama, penafsiran rekognitif (recognitive
interpretation). Tujuannya diraih dengan sendirinya (autotelic).
Kedua, penafsiran reproduksi
(reproductive interpretation). Penafsiran ini bertujuan untuk mengkomunikasikan
sebagian pengalaman. Ketiga, penafsiran normatif (normative interpretation). Dimaksudkan untuk
menyediakan petunjuk untuk aksi.[13]
Selain itu, Emilio Betti juga menyebutkan 5 rintangan yang menghalangi
penafsiran yang objektif.[14]
III.
PENUTUP
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
jika Betti termasuk dalam ahli hermeneutika yang objektif. Untuk menciptakan
pemikiran tentang hermeneutika, dia menggunakan beberapa kaidah terkait hal-hal
yang mempengaruhi objektifitas dan juga subjek penafsiran. Walaupun begitu,
objektifitas masih bersifat relative. Karena akan muncul objektifitas yang baru
seiring perkembangan zaman. Sedangkan mengenai kaidah yang berhubungan dengan
subjek penafsiran, seorang penafsir di
anjurkan untuk bisa membawa dirinya ke dalam hal yang dikaji.
Referensi
Betti, Emilio. Die Hermenutik als Allgemeine Methodik der Geisteswissenchaften.
Tübingen: J. C. B. Mhr, 1972. diterjemahkan oleh Josef Bleicher dengan judul Hermeneutics as the general
methodology of the Geisteswissenschaften (London & New York: Routledge,
1980).
Bilen, Osman, The Historicity of Understanding and The Problem
of Relativism in Gadamer’s Philosophical
Hermeneutics. Washington D.C: The Council for Research in Values and
Philosophy, 2000.
Nayed, Aref Ali. Interpretation as the Engagement of
Operational Artifacts: Operational Hermeneutics: Disertasi Doktoral di
Universitas Guelph, 1994.
http://memancar.blogspot.com/2009/02/teori-hermeneutika-emilio-betti.html
[1]
Emilio Betti menulis Die Hermenutik als Allgemeine Methodik der
Geisteswissenchaften (Tübingen: J. C. B. Mhr, 1972). Tulisan ini telah
diterjemahkan oleh Josef Bleicher sebagai “Hermeneutics as the general methodology
of the Geisteswissenschaften” dalam Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
method, philosophy and critique (London & New York: Routledge, 1980),
51-94, selanjutnya diringkas Contemporary Hermeneutics. Terjemahan Josef
Bleicher dengan judul yang sama juga dimuat dalam The Hermeneutic Tradition:
From Ast to Ricoeur, editor Gayle L. Ormiston dan Alan D. Schrift (New York: State University of New York Press, 1990),
159-197. Magnum opusnya Emilio Betti, Teoria Generale Della Interpretazione
sayangnya masih belum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
[2]
Aref Ali Nayed, Interpretation as the Engagement of Operational Artifacts:
Operational Hermeneutics Disertasi Doktoral di Universitas Guelph, 1994), 37,
berikutnya disingkat Operational Hermeneutics.
[3]
Ibid hal. 37-38
[4] Osman Bilen, The Historicity of Understanding
and The Problem of Relativism in Gadamer’s Philosophical Hermeneutics (Washington D.C.,: The Council
for Research in Values and Philosophy, 2000), 91, selanjutnya diringkas The
Historicity of Understanding..
[5]
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics,
39-40.
[6]
ibid
[7]
ibid
[8]
ibid
[9]
Emilio Betti, Hermeneutics as the general methodology of the
Geisteswissenschaften” dalam Contemporary Hermeneutics, 58.
[10]
ibid
[11] Emilio Betti menyatakan: “The interpreter
should strive to bring his own lively actuality into the closest harmony eith
the stimulation that he receives from the object in such a way that the one and
the other resonate in a harmonious way.” Lihat Emilio Betti, “Hermeneutics as
the general methodology of the Geisteswissenschaften” dalam Contemporary
Hermeneutics, 62-63.
[12]
Osman Bilen, The Historicity of
Understanding, 92.
[13]
Josef Bleicher, Contemporary
Hermeneutics, 40-41.
Post a Comment
Post a Comment