Dalam kajian ketimuran, terlebih Islam, dunia barat telah menembus
batas-batas intelektual yang pada akhirnya merobohkan sekat antara dunia
‘Modern-Rasionalis’ dengan dunia ‘Tradisional-Spiritual’. Kedua dunia tersebut
mau tidak mau akan selalu menciptakan pemikiran-pemikiran baik yang selaras
atau bahkan bertolak belakang.
Agama barat (baca: Kristen) tidak mampu lagi diyakini sebagai agama
yang sah atau valid di mata mereka dan menimbulkan kecemburuan besar terhadap
agama Islam. Para sarjana dan ilmuan mereka telah lama meragukan otentisitas
Bible[1].
Bahkan mereka juga mengatakan “sudah saatnya sekarang untuk melakukan studi
kritis terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab
suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa
Yunani (Alphonse Mingana:1927)”[2].
Dari pernyatan itu, mereka ingin sekali mengetahui alasan mengapa seluruh umat
muslim tidak ada yang berselisih tentang otentisitas Al-Qur’an dan mungkin kah
terdapat celah untuk mereka kritik.
Pembahasan
Biografi
Richard C. Martin adalah profesor agama di Emory University, di mana ia menjabat sebagai
Ketua Departemen Agama pada tahun 1996-1999. Bidang-bidang keahliannya meliputi
studi Islam (Islamic Studies), studi perbandingan agama, serta agama dan
konflik. Dia menjabat di beberapa dewan akademis nasional dan komite, seperti
Komite Eksekutif Pusat Penelitian Amerika di Mesir. Ia telah memberi kuliah
secara luas di Amerika Serikat, Eropa, Afrika Selatan, dan Asia Tenggara pada
topik-topik yang terkait dengan Islam dan sejarah agama.
Profesor Martin telah tinggal dan melakukan penelitian di Mesir dan di tempat-tempat lain
di dunia Muslim, dan dia terlibat dalam proyek kerjasama dengan ulama Muslim[3]
seperti Dwi S. Atmaja dan Harun Nasution. Dia telah banyak melakukan
suntingan-suntingan terhadap buku-buku tentang Islam baik dari kalangan Muslim
maupun non-Muslim seperti Marx Woodward dan Fazlur Rahman.
Pemikiran
Pemikiran Richard C. Martin secara umum adalah melihat suatu agama
bukan hanya dari Insider, yaitu pemeluk dan pengikut agamanya layaknya agama
Islam dengan komunitas Muslimnya, tapi juga melihat semua itu dengan pandangan
dari Outsider, yaitu orang-orang yang belajar tentang Islam dari kalangan
Non-Muslim yang ia sebut dengan Islamis. Dengan begitu, ia tidak memiliki
pandangan yang Independen dari kajian yang dilakukannya dan pendapatnya banyak
mengikuti kedua belah pihak baik dari Muslim maupun Non-Muslim[4].
a.
Tentang Al-Qur’an
Pandangan
beliau tentang Al-Qur’an kurang lebih seperti apa yang dikatakan oleh William
A. Graham. Yaitu bahwa Al-Qur’an adalah “Qur’an as Spoken Word” dalam
bukunya ‘Qur’an as Spoken Word: An Islamic Contribution to the Understanding
of Scripture’ yang mempunyai basic tekstual-Historis. Dalam hal ini tidak
dapat dinafikan bahwa Al-Qur’an itu bukan hanya sekedar tulisan yang
menyampaikan kata-kata Tuhan, tapi juga tradisi penulisannya, tilawah, qira’ah,
bahkan Tahfidz dalam bacaan keseharian orang Islam. Dan hal ini dapat ditemui
di seluruh penjuru dunia di kalangan mayoritas Islam[5].
Ia
juga mengutarakan pendapatnya tentang pemeluk agama Islam yang berusaha
menafsirkan Al-Qur’an dengan membaginya menjadi dua golongan; Ortodoks-Tekstualis yang mengatakan
bahwa (penjelasan) Al-Qur’an adalah Al-Qur’an itu sendiri dan berasal darinya
sendiri. Yang kedua adalah Ulama’ Modern yang mengkajinya berdasar dari
History dan ide apa yang terkandung dalam Al-Qur’an[6].
Richard
menggambarkan Al-Qur’an mempunyai peran penting dalam kehidupan social Muslim.
Akan tetapi terdapat polemik antara berkepanjangan antara pendukung Tektual
dengan pendukung Konteks yang menghalangi integritas dalam kajian Islam yang
dilakukannya[7]. Ia mengutip perkataan Erich Auerbach bahwa semua yang ada dalam
Al-Qur’an merupakan suatu symbol yang harus diartikan dalam konteks tertentu
untuk menghasilkan suatu makna dan dapat ditafsirkan. Sedangkan Welch
mengatakan bahwa kajian Hermeneutik lah cara terbaik untuk menghasilkan
penafsiran sehingga ia tidak mungkin dapat menghindari keilmuan yang lain
seperti Grammar, Lexicografi, dan fitur-fitur Sejarah.
Richard
sebenarnya ingin menjembatani antara kedua pendapat tentang bagaimana cara
memahami Al-Qur’an yang selalu diperselisihkan, antara tekstual dan
kontekstual. Secara, dia adalah seorang yang kaya akan metodologi dan telah
banyak mengkaji Al-Qur’an dengan berbagai pendekatan. Dan pada Akhirnya ia
mencoba memahaminya dengan Fenomenologi. Pendapat-pendapat modern yang merajai
kaum intelektual baik muslim maupun non-muslim yang sarat dengan social dan
humaniora ia singkirkan terlebih dahulu kemudian mendalaminya dari kajian
tekstual-historis.
Berangkat
dari kegelisahan tersebut, Richard Martin menilai bahwa ada kebutuhan yang
dirasa begitu kuat untuk menemukan pendekatan yang membolehkan ekspresi otentik
Islam dan agama-agama “lain” untuk berbicara tanpa terpengaruh dari nilai-nilai
personal dari para sarjana. Sehingga para pengkaji studi agama dapat menemukan
penilaian objektif terhadap peran agama dalam kehidupan manusia. Maka
dari itu muncullah pendekatan yang disebut “fenomenologi agama,” yaitu suatu
pendekatan yang memfokuskan diri pada pencarian “esensi”, “makna”, dan
“struktur fundamental” dari pengalaman keberagamaan manusia, sehingga aspek
internalitas terdalam dari keberagamaan manusia dapat tersingkap. Karena
sesungguhnya didalam pengalaman keberagamaan manusia ada esensi yang irreducible
dan itulah struktur fundamental manusia beragama[8].
Dan sedikit tentang Nabi Muhammad, Beliau dikatakan
sebagai sosok Model dan Paradigmatik. Earle H. Waught mengatakan
Nabi menduduki tempat yang penting,
karena Nabi adalah figur paradigmatik yang dengannya kita dapat memahami
Islam dalam lintasan sejarah[9]. Apa pun yang dihubungkan kepada Nabi, maka
itu lah keteraturan yang harus dijalankan oleh pengikutnya dan merupakan
penjelasan dari Al-Qur’an dan bagian dari cara pandang Nabi terhadap kitab
tersebut.
b. Analisa
Dari penuturan dan penjelasan di atas, nampaknya Richard
C. Martin membutuhkan kerja keras dalam upayanya menerjemahkan Al-Qur’an.
Beliau tidak terpaku pada persoalan pewahyuannya yang ia sebutkan dalam bukunya
Geneologi Konflik Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam. Dalam buku tersebut,
ia menjelaskan secara Objektif pendapat kedua belah pihak antara kaum
Rasionalis-Muktazilah dan lawannya Asy’ariyah (Iraq dan Iran), serta
Maturidiyah (Khurasan dan Asia Tengah). Ketika itu, secara umum terdapat
perdebatan sengit tentang masalah kemakhlukan Al-Qur’an (Khalqu al-Qur’an) dan Kuasa
dan kebebasan manusia untuk berbuat (Qadar).
Beliau hanya ingin menjembatani antara pemikiran Islam
dari kalangan Outsider dan Insider. Seperti biasanya, sarjana keislaman maupun
Islamis (baca:orientalis) mengatakan tentang al-Qur’an yang a history dan
Insider mengatakan dua perbedaan besar dari golongan Rasional yang menyatakan
kemakhlukannya dan Tradisional yang menolak pendapat tersebut dengan
mengatakannya sebagai kalam Tuhan.
Sebagai seseorang yang mencoba objektif dalam pencarian
Richard mengenai masalah ini, menurut penulis, ia agaknya lebih sependapat
dengan golongan Rasionalis dibuktikan dengan penelitiannya yang mendalam
tentang aliran muktazilah yang termaktub dalam buku di atas yang diteliti
langsung oleh Mark Woodward dan sarjana muslim Indonesia Dwi S. Atmaja ditambah
dengan tokoh terkenal Indonesia Harun Nasution yang dapat dikatakan sebagai
pelopor paham Muktazilah di Nusantara.[10] Akan tetapi, sebenarnya dia tidak ingin
memperdebatkan tentang pewahyuan tersebut, karena objek dari kajiannya lebih
bertumpu pada metodologi pemahaman terhadap masyarakat agama, karena agama
harus lebih dipahami sebagai bentuk ritual dan Al-Qur’an sebagai teks yang
mempertahankan tradisi penulisannya dalam bentuk kitab dan merupakan bacaan yang
dipertahankan dengan Tilawah, qiraah, bahkan dihafal oleh sebagian Muslim di
seluruh dunia, dan tentunya ia ingin mengkajinya dengan metode
tekstualis-historis.
c. Karya-karyanya
Diantara karya-karya Martin adalah Approaches to Islam in
Religious Studies (Tucson, 1985),
Islamic Studies: A History of Religions Approach (Prentice-Hall, 1996)
and Defenders of Reason in Islam: Mu`tazilism from Medieval School to Modern
Symbol (Oneworld, 1997). Dia adalah ko-editor bersama John Witte dari buku
Sharing the Book: Religious Perspectives on the Rights and Wrongs of
Proselytism. Dia ko-edit (bersama Abbas Barzegar) buku yang baru diterbitkan
Islamism: Contested Perspectives on Political Islam (Stanford University Press, 2009).
Penutup
Pewahyuan Al-Qur’an bukan lah saatnya untuk dikaji
kembali seperti golongan kalam seperti “Rasional dan Tradisional yang berdebat
tentang Makhluk dan bukan makhluk”, namun lebih pada pemahaman pemeluk agama
terhadap agama. Aspek-aspek di luar apa yang dikemukakan oleh sarjana kajian Islam pada umumnya mulai ia tangguhkan dan mendekatinya dengan Fenomenologi
Agama[11].
Kajian-kajian
studi Islam pada era abad ke-19 dianggap telah gagal dalam memberikan pemahaman
komprehensif tentang fenomena keberagamaan muslim. Hal ini lebih didasarkan
pada kecenderungan para pengkaji Islam pada waktu itu yang terlalu
mengistimewakan bahasa (bukan bahasa yang hidup, tetapi teks-teks klasik) dalam
mengkaji masyarakat dan pengutamaan pada pendekatan gramatika dan etimologi
dalam mengkaji bahasa teks sebagai dokumen inti dari masyarakat asalnya.
Kajian-kajian mereka lebih ditujukan kepada tulisan-tulisan Muslim, dan justru
bukan pada Muslim sendiri.
Bentuk kontribusi pemikiran Martin adalah : (1)
pengungkapan terhadap isu-isu studi keagamaan (issues in religious studies) dan
(2) presentasi respons para penulis
muslim terkenal tentang Islam. Sedang sifat kontribusinya adalah material,
isuistik, metodis, dan kritikal. Dari bentuk dan sifat kontribusi tersebut
Martin menegaskan solusi metodologis berupa pendekatan fenomenologi sebagai pemecahan
terhadap problem-problem insider dan outsider dalam studi Islam.
Meskipun seseorang dapat memahami masyarakat melalui
kajian teks yang mereka lahirkan, tetapi menyamakan antara teks dan kehidupan
masyarakat secara utuh merupakan sesuatu yang kurang tepat. Hal inilah yang mungkin menyebabkan muncul banyaknya distorsi-distorsi
dalam memahami Islam. Dan hal ini pula yang menjadi kegelisahan Richard. C.
Martin beserta para pengkaji studi-studi Islam kontemporer.
Referensi:
-
Arif,
DR. Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta. Gema Insani,
Cetakan pertama:2008
-
Martin,
Richard C. Marx Woodward. Dwi S Atmaja, Genealogi Konflik Rasionalisme Dan
Tradisionalisme Islam, Yogyakarta. IRCiSoD, Cetakan Pertama: 2002
-
Huda,
Sokhi, Pembacaan Kritis atas Pemikiran Richard C. Martin, makalah program
Doktoral IAIN Sunan Ampel Surabaya.
-
Martin,
Richard C, Understanding the Qur’an in Text and Context, University o Chicago
Press.
-
Mariasusai
Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995). Erle H. Wought, “The Popular Muhammad: Models in the Interpretation
of an Islamic Paradigm” dalam Martin, Approaches to Islam…, 45.
-
Khaeroni, Pembacaan
terhadap tulisan Richard C. Martin dalam teori
dasar pendekatan dalam pengkajian Islam
[1] Arif, DR. Syamsuddin, Orientalis &
Diabolisme Pemikiran, Jakarta. Cetakan pertama:2008
[2] Ibid
[3] Huda, Sokhi, Pembacaan Kritis atas Pemikiran
Richard C. Martin, makalah program Doktoral IAIN Sunan Ampel Surabaya
[6] Martin, Richard C, Understanding the Qur’an
in Text and Context, University o Chicago Press
[7] Ibid
[8] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995).
[9]Erle H. Wought, “The Popular Muhammad: Models
in the Interpretation of an Islamic Paradigm” dalam Martin, Approaches to Islam…, 45.
[10] Martin, Richard C. Marx Woodward. Dwi S
Atmaja, Genealogi Konflik Rasionalisme Dan Tradisionalisme Islam, Yogyakarta.
IRCiSoD, Cetakan Pertama: 2002
[11] Khaeroni, Pembacaan
terhadap tulisan Richard C. Martin dalam teori dasar pendekatan
dalam pengkajian Islam
Post a Comment
Post a Comment