Ilusterasi |
Penulis: Ahmad Sarwat, Lc
1. Nash Ayat
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا( الأحزاب 59)
Wahai
para Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanitamu dan istri-istri
orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seleuruh tubuh mereka.
Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak
diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 59)
2. Makna per kata
§
Azwajika (أزوجك):
yang dimaksud dengan kata ini adalah para istri nabi yang statusnya menjadi ibu
dari orang-orang mukmin.
§
Yudnina (يدنينا) : maknanya adalah menjulurkan atau memanjangkan. Dan yang
dimaksud dalam ayat ini adalah menutup wajah dan badan agar berbeda dengan
budak
§
Jalabib (جلابيبهن): maknanya adalah pakaian yang menutupi seluruh badan. Dalam
kamus lisanul arab disebutkan bahwa jilbab adalah pakaian yang lebih luas /
besar dari kerudung yang menutup kepala dan dada. Ibnu Abbas berkata bahwa
wanita muslimah diperintahkan untuk menutup kepala dan wajah mereka kecuali
sebelah mata saja agar mereka dikenali sebagai wanita merdeka.
§
Adnaa (أدنى):
merupakan fi`il tafdhil yang bermakna lebih dekat. Asalnya dunuw yang bermakna dekat. Adnani
minhhu artinya dekatkan aku kepadanya.
§
Ghafura (غفورا):
maknanya Maha Pengampun, yaitu menghapus dosa-dosa. Ampunan ini belaku buat
mereka yang meminta ampun.
§
Rahima (رحيما):
maknanya mengasihi hambanya dan menyayangi. Dan diantara bentuk kasih syangnya
adalah tidak mewajibkan mereka dengan hal yang tidak mereka mampu.
3. Ta`bir Qurani
a. Allah memulai dengan menyebutkan istri-istri
nabi dan anak-anaknya dalam perintah untuk memakai hijab secara syar`i. Hal itu
memberi isyarat bahwa para istri dan anak-anak nabi adalah merupakan suri
tauladan bagi umatnya. Dan dakwah itu tidak akan membuahkan hasil keculai bila
seorang da`i memulai dari dirinya dan keluarganya terlebih dahulu.
b. Perintah untuk berhijab datang setelah perintah untuk menutup aurat itu kuat dan mendalam. Sehingga berhijab merupakan tambahan dari kewajiban menutup aurat.
4. Sebab turunnya ayat
Para mufassir meriwayatkan bahwa
pada zaman dahulu para wanita baik yang merdeka maupun yang budak, keluar pada
malam bila ingin buang air di antara semak dan pohon. Sehingga tidak bisa
dibedakan antara wanita merdeka dan budak. Orang-orang fasiq di Madinah
sebagaimana kebiasaan jahiliyah sering menggoda para budak wanita. Namun
seringkali malah menggoda para wanita merdeka dengan alasan bahwa mereka salah
kira. Sehingga turunlah ayat ini untuk membedakan antara wanita merdeka dengan
budak, yaitu dengan memakai jilbab yang panjang dan lebar.
5. Batas Aurat Wanita
Khilaf dan perbedaan pendapat di kalangan para ulama
tentang batasan aurat wanita itu akan selalu ada, selama nash-nash itu sendiri
memang mengandung khilaf dan perbedaan penafsiran serta variasi istimbath
hukum. Selama masih ada dari umat ini yang berpegang kepada kekerasan gaya Ibnu
Umar ra dan keluwesan Ibnu Abbas ra. Dan selama para shahabat ada yang shalat
Ashar di jalan dan ada yang shalat Ashar di Bani Quraidhah.
Namun semua itu bukanlah aib dan dosa, melainkan justru
rahmat dari Allaw Azza Wa Jalla. Yang pendapatnya salah mendapat uzur dan
justru mendapat satu pahala. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tidak ada
kesalahan dalam ijtihad masalah cabang-cabang (furu`).
Namun di balik khilaf dalam masalah ini, tidak ada
salahnya kami kemukakan dalil-dalil dari masing-masing pihak, baik yang
mewajibkan niqab (tutup muka) bagi wanita maupun yang tidak mewajibkan.
1.
YANG MEWAJIBKAN TUTUP MUKA (NIQAB)
Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka
(memakai niqab) berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat
wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis non mahram.
Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain :
a.
Ayat Hijab (Surat Al-Ahzab : 59)
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzah : 59)
Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering
dikemukakan oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para
mufassirin terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk
menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan
semuanya, kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat
Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada
kesepakatan diantara mereka tentang makna ‘jilbab’ dan makna ‘menjulurkan’.
Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan
nukilan pendapat dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di
surat An-Nuur yang berbunyi (kecuali yang zahir darinya), Ibnu Abbas justru
berpendapat sebaliknya.
Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa
ayat ini sama sekali tidak bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita,
baik secara bahasa maupun secara `urf (kebiasaan). Karena yang diperintahkan
jsutru menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak ditemukan ayat
lainnya yang memerintahkan untuk menutup wajah.
b.
Surat An-Nuur : 31
“Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya.” (QS. An-Nur : 31)
Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu
Mas`ud bahwa yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah,
karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud dengan `yang
biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.
Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahi dari
para shahabat termasuk riwayt Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan
lainnya dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan ‘yang biasa nampak
darinya’ bukanlah wajah, tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin. Riwayat ini
menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.
c.
Surat Al-Ahzab : 53
“Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka , maka mintalah dari belakang
tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak
boleh kamu menyakiti Rasulullah dan
tidak mengawini isteri-isterinya
selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat
besar di sisi Allah.”(QS. Al-Ahzab :
53).
Para pendukung kewajiban niqab juga menggunakan ayat ini
untuk menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa
wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski khitab
ayat ini kepada istri Nabi, namun kewajibannya juga terkena kepada semua wanita
mukminah, karena para istri Nabi itu adalah teladan dan contoh yang harus
diikuti.
Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah
untuk menjaga kesucian hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para
istri nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka (istri nabi).
Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak
berbicara masalah kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para
shahabat Rasulullah SAW dengan para istri beliau. Kesucian hati ini kaitannya
dengan perasaan dan pikiran mereka yang ingin menikahi para istri nabi nanti
setelah beliau wafat. Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka jangan
menyakiti hati nabi dengan mengawini para janda istri Rasulullah SAW
sepeninggalnya. Ini sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan
bahwa ada shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra bila kelak Nabi wafat. Ini
tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.
Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina
mata antara shahabat nabi dengan istri beliau adalah penafsiran yang terlalu
jauh dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang
agung.
Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir,
jelas-jelas merupakan kekhusususan dalam bermuamalah dengan para istri Nabi.
Tidak ada kaitannya dengan ‘al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah’.
Karena ayat ini memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan dengan istri nabi.
Dan mengqiyaskan antara para istri nabi dengan seluruh wanita muslimah adalah
qiyas yang tidak tepat, qiyas ma`al fariq. Karena para istri nabi memang
memiliki standart akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan dalam ayat Al-Quran.
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu
sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,” (QS.
Al-ahzab : 32)
d.
Hadits Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim
Para pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah
menggunakan sebuah hadits yang diambil mafhum mukhalafanya, yaitu larangan
Rasulullah SAW bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.
“Janganlah wanita yang sedang
berihram menutup wajahnya (berniqab) dan memakai sarung tangan”.
Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para
wanita itu memakai niqab dan menutup wajahnya, kecuali saat berihram. Sehingga
perlu bagi Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka. Seandainya
setiap harinya mereka tidak memakai niqab, maka tidak mungkin beliau
melarangnya saat berihram.
Pendapat ini dijawab oleh mereka yang tidak mewajibkan
niqab dengan logika sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang
dilarang untuk melakukan sesautu yang tadinya halal. Seperti memakai pakaian
yang berjahit, memakai parfum dan berburu. Lalu saat berihram, semua yang halal
tadi menjadi haram. Kalau logika ini diterapkan dalam niqab, seharusnya memakai
niqab itu hukumnya hanya sampai boleh dan bukan wajib. Karena semua larangan
dalam ihram itu hukum asalnya pun boleh dan bukan wajib. Bagaimana bisa sampai
pada kesimpulan bahwa sebelumnya hukumnya wajib ?
Bahwa ada sebagian wanita yang di masa itu menggunakan
penutup wajah, memang diakui. Tapi masalahnya menutup wajah itu bukanlah
kewajiban. Dan ini adalah logika yang lebih tepat.
e.
Hadits bahwa Wanita itu Aurat
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy
marfu`an bahwa,”Wanita itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan
menaikinya”. Menurut At-turmuzi hadis ini kedudukannya hasan shahih.
Oleh para pendukung pendapat ini maka seluruh tubuh
wanita itu adalah aurat, termasuk wajah, tangan, kaki dan semua bagian tubuhnya.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan
Al-Hanabilah.
f.
Mendhaifkan Hadits Asma`
Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar yang
berisi bahwa, “Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian
tubuhnya kecuali ini dan ini” Sambil beliau memegang wajar dan tapak tangannya.
2.
PENDAPAT BAHWA WAJAH WANITA BUKAN
AURAT
Sedangkan mereka yang mendukung pendapat bahwa wajah
bukan termasuk aurat wanita menggunakan banyak dalil serta mengutip pendapat
dari para imam mazhab yang empat dan juga pendapat salaf dari para shahabat
Rasulullah SAW.
a.
Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak tangan
wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang masalah
batas aurat wanita.
b.
Para Fuqoha sepakat bahwa wajah bukan aurat bagi wanita.
Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita
ajnabi yang merdeka kecuali wajah dan tapak tangan. (lihat Kitab Al-Ikhtiyar).
Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah
wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak
bisa dihindarkan.
Al-Malikiyah dalam kitab ‘Asy-Syarhu As-Shaghir’ atau
sering disebut kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri
dituliskan bahwa batas aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi (yang bukan
mahram) adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu bukan
termasuk aurat.
Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya
‘al-Muhazzab’, kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu
seluruh badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.
Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah
berkata kitab Al-Mughni 1 : 1-6,”Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang
wanita boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam shalat
Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa
batas aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm
mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab
Al-Muhalla.
c.
Pendapat para mufassirin
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan
bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak
tangan. Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan
lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.
d.
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak berdiri
sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais
yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin
Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau
‘hijab wanita muslimah’, ‘Al-Irwa`, shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal
dan Haram`.
e.
Perintah kepada laki-laki untuk menundukkan pandanga.
Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk
menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah
memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.
“Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".(QS. An-Nuur : 30).
Dalam hadits Rasulullah SAW kepada
Ali ra. disebutkan bahwa,’Jangan lah kamu mengikuti pandangan pertama (kepada
wanita) dengan pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang
kedua adalah ancaman / dosa”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim).
Bila para wanita sudah menutup wajah, buat apalagi
perintah menundukkan pandangan kepada laki-laki. Perintah itu menjadi tidak
relevan lagi.
6. Tabir Penutup Ruangan
Memang para ulama berbeda pandangan tentang kewajiban
memasang tabir antara tempat lak-laki dengan tempat wanita. Yang disepakati
adalah bahwa para wanita wajib menutup aurat dan berpakaian sesuai dengan
ketentuan syariat. Juga sepakat bahwa tidak boleh terjadi ikhtilat (campur
baur) antara laki dan wanita. Serta haramnya khalwah atasu berduaan menyepi
antara laki-laki dan wanita.
Sedangkan kewajiban untuk memasang kain tabir penutup
antara ruangan laki-laki dan wanita, sebagian ulama mewajibkan dan sebagian
lainnya tidak mewajibkan.
1.
Pendapat Pertama : Yang Mewajibkan Tabir
Mereka yang mewajibkan harus dipasangnya kain tabir
penutup ruangan berangkat dari dalil baik Al-Quran maupun As-Sunah
a.
Dalil Al-Quran :
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk
makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak, tetapi jika kamu diundang maka
masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang
percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu
kepadamu , dan Allah tidak malu yang
benar. Apabila kamu meminta sesuatu
kepada mereka, maka MINTALAH DARI BELAKANG TABIR. Cara yang demikian itu
lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya
sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.(QS. Al-Ahzab : 53)
Ayat tersebut menyatakan bahwa memasang kain tabir
penutup meski perintahnya hanya untuk para isteri nabi, tapi berlaku juga
hukumnya untuk semua wanita. Karena pada dasarnya para wanita harus menjadikan
para istri nabi itu menjadi teladan dalam amaliyah sehari-hari. Sehingga kihtab
ini tidak hanya berlaku bagi istri-istri nabi saja tetapi juga semua wanita
mukminat.
b.
Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba
Ummu Salamah, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepada Ummu Salamah dan
Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya. Nabi bersabda:
"pakailah tabir". Kemudian kedua isteri Nabi itu berkata: "Dia
(Ibnu Ummi Maktum) itu buta!" Maka jawab Nabi: "Apakah kalau dia
buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua melihatnya?"
2.
Pendapat Kedua : Yang Tidak Mewajibkan
Oleh mereka yang mengatakan bahwa tabir penutup ruangan
yang memisahkan ruangan laki-laki yang wanita itu tidak merupakan kewajiban,
kedua dalil di atas dijawab dengan argumen berikut :
a.
Dalil AL-Quran
Sebagian ulama mengatakan bahwa kewajiban memasang kain
tabir itu berlaku hanya untuk pada istri Nabi,
sebagaimana zahir firman Allah dalam surat Al-Ahzab : 53.
Hal itu diperintahkan hanya kepada istri nabi saja karena
kemuliaan dan ketinggian derajat mereka serta rasa hormat terhadap para ibu
mukimin itu. Sedangkan terhadap wanita mukminah umumnya, tidak menjadi
kewajiban harus memasang kain tabir penutup ruangan yang memisahkan ruang untuk
laki-laki dan wanita.
Dan bila mengacu pada asbabun nuzul ayat tersebut, memang
kelihatannya memang diperuntukkan kepada para istri nabi saja.
b.Dalil
Sunnah
Kalangan ahli tahqiq (orang-orang yang ahli dalam
penyelidikannya terhadap suatu hadis/pendapat) mengatakan bahwa hadits Ibnu
Ummi Maktum itu merupakan hadis yang tidak sah menurut ahli-ahli hadis, karena
Nabhan yang meriwayatkan Hadis ini salah seorang yang omongannya tidak dapat
diterima.
Kalau ditakdirkan hadis ini sahih, adalah sikap kerasnya
Nabi kepada isteri-isterinya karena kemuliaan mereka, sebagaimana beliau
bersikap keras dalam persoalan hijab.
c.
Dalil Lainnya : Isteri yang Melayani Tamu-Tamu Suaminya
Banyak ulama yang mengatakan bahwa seorang isteri boleh
melayani tamu-tamu suaminya di hadapan suami, asal dia melakukan tata kesopanan
Islam, baik dalam segi berpakaiannya, berhiasnya, berbicaranya dan berjalannya.
Sebab secara wajar mereka ingin melihat dia dan dia pun ingin melihat mereka.
Oleh karena itu tidak berdosa untuk berbuat seperti itu apabila diyakinkan
tidak terjadi fitnah suatu apapun baik dari pihak isteri maupun dari pihak
tamu.
Sahal bin Saad al-Anshari berkata
sebagai berikut : "Ketika Abu Asid as-Saidi menjadi pengantin, dia
mengundang Nabi dan sahabat-sahabatnya, sedang tidak ada yang membuat makanan
dan yang menghidangkannya kepada mereka itu kecuali isterinya sendiri, dia
menghancurkan (menumbuk) korma dalam suatu tempat yang dibuat dari batu sejak
malam hari. Maka setelah Rasulullah s.a. w. selesai makan, dia sendiri yang
berkemas dan memberinya minum dan menyerahkan minuman itu kepada Nabi."
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini, Syaikhul Islam Ibnu Hajar berpendapat:
"Seorang perempuan boleh melayani suaminya sendiri bersama orang laki-laki
yang diundangnya ..."
Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa hal ini apabila aman
dari segala fitnah serta dijaganya hal-hal yang wajib, seperti hijab. Begitu
juga sebaliknya, seorang suami boleh melayani isterinya dan perempuan-perempuan
yang diundang oleh isterinya itu.
Dan apabila seorang perempuan itu tidak menjaga
kewajiban-kewajibannya, misalnya soal hijab, seperti kebanyakan perempuan
dewasa ini, maka tampaknya seorang perempuan kepada laki-laki lain menjadi
haram.
d.
Dalil bahwa Masjid Nabawi di Zaman Rasulullah SAW Tidak Memakai Tabir
Pandangan tidak wajibnya tabir didukung pada kenyataan
bahwa masjid nabawi di masa Rasulullah SAW masih hidup pun tidak memasang kain
tabir penitup yang memisahkan antara ruangan laki-laki dan wanita. Bahkan
sebelumnya, mereka keluar masuk dari pintu yang sama, namun setelah junmlah
mereka semakin hari semakin banyak, akhirnya Rasulullah SAW menetapkan satu
pintu khusus untuk para wanita.
Hanya saja Rasulullah SAW memisahkan posisi shalat
laki-laki dan wanita, yaitu laki-laki di depan dan wanita di belakang.
Refrensi:
Sarwat, Ahmad, Lc.2009, Kajian Tafsir Ayat Ahkam Ayat-Ayat Al-Quran Yang Mengandung Hukum syariat, :Du Center
Maksih ya Jasa Toko Online Profesional
ReplyDeleteJasa Pembuatan Website Toko Online serta layanan Jasa Pembuatan Website Penjualan Online dan
Jasa Pembuatan Online Shop
Grosir Jilbab Murah - Jilbab Segi Empat Terbaru dan Jilbab Instan Terbaru serta Jasa Pembuatan Website Murah serta Buat Toko Online Murah juga Jilbab Pasmina Terbaru