Ilusterasi |
I.
Pendahuluan
Dalam
sejarahnya, Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena
disinilah dasar-dasarpengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh
manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang
pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak
akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya.
Makalah
ini berusaha mengungkapkan sejarah pemikiran manusia yang berawal dari Khayal/
takhayul yang irasional sampai pada pemikiran logis yang dibuktikan dengan
bukti empiris yang menjadi titik tolak lahirnya ilmu pengetahuan.
II.
Pembahasan
Filsafat
ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut
epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episteme
yang berarti knowledge, pengetahuan
dan logos yang berarti teori, suatu cabang
filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Istilah ini
pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang
filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos =
teori ), ontology ( teori tentang apa).
Filsafat
mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisa menjumpai
pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji
kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).
Dari
epistemologi, juga filsafat – dalam hal ini filsafat modern – terpecah berbagai
aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme, positivisme,
maupun eksistensialisme. Pengertian Secara etimologi, epistemologi merupakan
kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme
dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk
menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat
diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Webster
Third New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai “ The Study
of method and ground of knowledge, especially with reference to its limits and
validity ” . Paul Edwards, dalam The Encyclopedia of Philosophy, menjelaskan
bahwa epistemologi adalah “ the theory of knowledge. ” Pada tempat yang sama ia
menerangkan bahwa epistemologi merupakan “ the branch of philosophy which
concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and
basis, and the general reliability of claims to knowledge. ” Epistemologi juga
disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan
menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari
struktur berpikir dan dalil- dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor
mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup
epistemologi.
Gerakan
epistemologi di Yunani dahulu dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut
Sophis, yaitu orang yang secara sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Dan
kelompok Shopis adalah kelompok yang paling bertanggung jawab atas keraguan
itu. Oleh karena itu, epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu
disiplin yang disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria
dan patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar.
Critica
berasal dari kata Yunani, krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan
menetapkan. Mengadili pengetahuan yang benar dan yang tidak benar memang agak
dekat dengan episteme sebagai suatu tindakan kognitif intelektual untuk
mendudukkan sesuatu pada tempatnya. Jika diperhatikan, batasan-batasan di atas
nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak diselesaikan epistemologi ialah tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas
pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Sejarah
Pranarka menyatakan bahwa sejarah epistemologi dimulai pada zaman Yunani kuno,
ketika orang mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan dan
merasakan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang amat penting yang dapat
menentukan hidup dan kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi
masyarakat dan kebudayaan Athena. Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih melihat
kemauan dan kekuatan sebagai satu-satunya faktor. Athena mungkin dapat
dipandang sebagai basisnya intelektualisme dan Spharta merupakan basisnya
voluntarisme.
Zaman
Romawi tidak begitu banyak menunjukkan perkembangan pemikiran mendasar
sistematik mengenai pengetahuan. Hal itu terjadi karena alam pikiran Romawi
adalah alam pikiran yang sifatnya lebih pragmatis dan ideologis. Masuknya agama
Nasrani ke Eropa memacu perkembangan epistemologi lebih lanjut, khususnya
karena terdapat masalah hubungan antara pengetahuan samawi dan pengetahuan
manusiawi, pengetahuan supranatural dan pengetahuan
rasional-natural-intelektual, antara iman dan akal. Kaum agama di satu pihak
mengatakan bahwa pengetahuan manusiawi harus disempurnakan dengan pengetahuan
fides, sedang kaum intelektual mengemukakan bahwa iman adalah omong kosong
kalau tidak terbuktikan oleh akal. Situasi ini menimbulkan tumbuhnya aliran
Skolastik yang cukup banyak perhatiannya pada masalah epistemologi, karena
berusaha untuk menjalin paduan sistematik antara pengetahuan dan ajaran samawi
di satu pihak, dengan pengetahuan dan ajaran manusiawi intelektual-rasional di
lain pihak. Pada fase inilah terjadi pertemuan dan sekaligus juga pergumulan
antara Hellenisme dan Semitisme. Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang
selama abad pertengahan Eropa tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi
Semitik di atas alam pikiran Hellenistik.
Di
lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi
intelektual dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural. Dari sinilah
tumbuh Rasionalisme, Empirisme, Idelisme, dan Positivisme yang kesemuanya
memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem pengetahuan.
Selanjutnya,
Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan gerakan
Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia
secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme yang
kelewat dari Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai
macam aliran sebagai akibat dari pergumulan epistemologi modern yang menjadi
multiplikatif telah menghasilkan suasana krisis budaya. Semua itu menunjukkan
bahwa perkembangan epistemologi tampaknya berjalan di dalam dialektika antara
pola absolutisasi dan pola relativisasi, di mana lahir aliran-aliran dasar
seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping
itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan
manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui.
Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup
dan kehidupan manusia.
Terjadinya
Pengetahuan
Vauger
menyatakan bahwa titik tolak penyelidikan epistemologi adalah situasi kita,
yaitu kejadian. Kita sadar bahwa kita mempunyai pengetahuan lalu kita berusaha
untuk memahami, menghayati dan pada saatnya kita harus memberikan pengetahuan
dengan menerangkan dan mempertanggungjawabkan apakah pengetahuan kita benar
dalam arti mempunyai isi dan arti.
Bertumpu
pada situasi kita sendiri itulah sedikitnya kita dapat memperhatikan perbuatan-
perbuatan mengetahui yang menyebabkan pengetahuan itu. Berdasar pada
penghayatan dan pemahaman kita dan situasi kita itulah, kita berusaha untuk
mengungkapkan perbuatan-perbuatan mengenal sehingga terjadi pengetahuan. Akal
sehat dan cara mencoba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk
menemukan penjelasan mengenai berbagi gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai
dengan akal sehat sebab tidak mempunyai landasan lain untuk berpijak.
Tiap
peradaban betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal
sehat. Randall dan Buchlar mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang
diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan
kebetulan.
Sedangkan
karakteristik akal sehat, menurut Titus, adalah (1). Karena landasannya yang
berakar pada adat dan tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat
kebiasaan dan pengulangan, (2). Karena landasannya yang berakar kurang kuat
maka akal sehat cenderung untuk bersifat kabur dan samar, dan (3). Karena
kesimpulan yang ditariknya sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih
lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai
dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti
bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong
ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu
akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi
sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metodologis,
teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya
sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan.
Sedang
pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong pra-ilmiah. Dalam hal ini
berupa pengetahuan hasil serapan indrawi yang secara sadar diperoleh, baik yang
telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara
pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh
nabi).
Menurut
kamus Webster New World Dictionary,
kata science berasal dari kata
latin, scire yang artinya
mengetahui. Secara bahasa science
berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti
pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan.
Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti
pengetahuan yang sistematis yang berasal dari 11 observasi, kajian, dan
percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip
apa yang dikaji.
Sedangkan
dalam bahasa Arab, ilmu (‘ilm) berasal dari kata ‘alima yang
artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan
science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang
lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada
bidang-bidang empirisme-positivisme sedangkan ilmu melampauinya dengan non-empirisme
seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003).
Berbicara
mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat
pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu
sebagaimana adanya”. Will Duran dalam bukunya
The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan
marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri
inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu.
Filsafat
yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik ilmu
alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama
asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi
adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis
hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686)
dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya
sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Auguste
Comte dalam Scientific Metaphysic,
Philosophy, Religion and Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu
pengetahuan yaitu: religius, metafisik dan positif. Dalam tahap awal asas religilah
yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi.
Berikut
merupakan sumber pengetahuan manusia
Pengetahuan
|
Objek
|
Paradigma
|
Metode
|
Kriteria
|
SAIN
|
empiris
|
sain
|
Metode ilmiah
|
Rasional-empiris
|
FILSAFAT
|
Abstrak-rasional
|
rasional
|
Metode rasional
|
rasional
|
MISTIK
|
Abstrak-supra-rasional
|
mistik
|
Latihan, percaya
|
Rasa, iman, logis, kadang empiris
|
Sumber: Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu 13
Dengan
kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas
prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian
diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya.
Sedangkan pengetahuan yang pra-ilmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara
sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa
intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan
pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang
cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
III.
Kesimpulan
Epistemologi
merupakan ilmu yang penting untuk dikaji karena menanyakan suatu kebenaran pada
pengetahuan. Dari sinilah dasar-dasar pengetahuan dan teori pengetahuan
diperoleh. Dalam suatu buku dijelaskan bahwa epistemologi adalah cara
mendapatkan pengetahuan yang benar. Jika anda bertanya pada seseorang mengenai
bagaimana membedakan cacing jantan dan cacing betina pada seorang ahli burung,
maka anda tidak akan mendapatkan kebenaran tersebut karena otomatis anda tidak
mencari pengetahuan dengan cara yang benar.
Kebenaran
dengan bukti empiris dan tidak lepas dari kebenaran yang bersifat teoritis
menjadi acuan terbentuknya ilmu pengetahuan, dan oleh karena itulah
epistemologi dibutuhkan dalam penemuan-penemuan besar sejarah ilmu pengetahuan.
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai
dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti
bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong
ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu
akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi
sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural,
metodologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran
ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah
dapat dipertanggungjawabkan.
Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah
yang masih tergolong pra-ilmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan
indrawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat.
Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran
seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
-
Nasution, Andi
Hakim. Filsafat Ilmu, sebuah pengantar populer. Jakarta : Sinar Harapan,
1998.
-
Tafsir, Ahmad. Filsafat
Ilmu, mengurai ontologi, Epitemologi, dan Aksiologo Pengetahuan. Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2006
-
Muhadjoir,
Noeng. Filsafat Ilmu, Kualitatif & Kuantitatif untuk pengembangan Ilmu
dan Penelitian. Yogyakarta : Rake Sarasin, 2006
By Kang Sakha
Post a Comment
Post a Comment