Abstraksi
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita melakukan suatu hal yang
tidak kita sadari bahwa kebiasaan yang kita lakukan adalah sebuah tanda yang
menunjukkan keberbedaan antara satu
dengan yang lain, baik secara individu, kelompok, bahkan dalam lingkup yang
lebih luas. Tanda tersebut adalah gambaran atau mungkin juga bisa dikatakan
sebagai ekspresi dari seseorang yang timbul karena adanya keterkaitan antara
satu dengan yang lainnya.
Dalam percakapan konvensional, ungkapan seseorang bisa dipahami
melalui bahasa verbal maupun non-verbal. Pemahaman itulah yang membedakan suatu
kebiasaan dengan kebiasaan yang lain akibat dari bentukan budaya yang berbeda
atau budaya yang sama pada kondisi yang berbeda. Sebagai contohnya adalah
ketika seorang pemuda memberikan setangkai bunga mawar merah kepada seorang
gadis[1].
Dapat kita pahami bahwasanya bunga adalah sebuah simbol dan bukan berarti makna
sebenarnya seperti seorang penjual bunga yang memberikan bunga tersebut pada
pembeli. Hal ini mempunyai makna lain yang ditunjukkan oleh bunga mawar
tersebut, yaitu rasa cinta. Karena kebiasaan dan kondisi, ada makna terselubung
yang tidak bisa dilihat dari lahirnya.
PENDAHULUAN
Makhluk hidup di dunia ini tidak terlepas satupun dari hal yang
disebut tanda. Mereka berusaha menampilkan sesuatu untuk dapat dipahami oleh
yang lainnya. Baik makhluk tersebut adalah binatang, manusia, tanaman, dan
makhluk yang belum tertuturkan oleh manusia. Kita sebagai manusia melakukan
hubungan dan interaksi dengan cara kita sendiri yang penuh dengan keragaman
namun terkadang apa yang kita paparkan dalam segala bentuknya tidak atau belum
mampu dipahami secara pasti oleh orang lain. Tanda, sebagai alat komunikasi memerlukan
konsep yang sama agar bisa dipahami. Tapi, pada kenyataannya tidak demikian
karena manusia memiliki daya interpretasi yang berbeda.
Sering kita mendengar kajian tentang semiotik atau semiologi, dan
secara pragmatik bahwa kajian tersebut membicarakan masalah tanda. Tapi, apakah
tanda itu dan bagaimana semiotik berupaya menjelaskan tanda-tanda itu? Banyak
orang mengartikan tanda seperti tanda lalu-lintas, tanda no smoking, dan
tanda lainnya. Mereka berasumsi bahwa semiotik hanyalah tanda-visual seperti
yang disebut di atas, padahal semiotik mencakup semua itu bahkan memiliki
cakupan yang lebih luas seperti komunikasi, simbol-simbol, teks, kebudayaan dan
sebagainya yang dapat dijadikan alat untuk menterjemahkan semua itu pada bahasa
yang lebih mudah (baca: alat penafsiran). Dalam makalah ini juga akan
dipaparkan bagaimana semiotika dapat digunakan untuk mengkaji atau alat
pendekatan penafsiran Al-Qur’an sebagai teks yang menurut Nashr Hamid Abu
Zayd adalah sebagai bentukan budaya.
PEMBAHASAN
Semiotik dan Tokoh-tokohnya
a.
Semiotik
Semiotik adalah ‘ilmu yang’ mengkaji
tanda dalam kehidupan manusia. Karena manusia memiliki kemampuan untuk
memberikan makna kepada berbagai gejala sosial budaya dan alamiah, maka
semiotik dapat disimpulkan bahwa tanda adalah bagian dari kebudayaan manusia[2]. Ini berarti mempelajari
semiotika sama dengan mempelajari tentang berbagai tanda. Cara kita berpakaian,
apa yang kita makan, dan cara kita bersosialisasi sebetulnya juga mengomunikasikan
hal-hal mengenai diri kita, dan dengan begitu, dapat kita pelajari sebagai
tanda.[3]
Semiotik atau ada yang menyebut
dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion
tampaknya diturunkan dari kedokteran
hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik
inferensial[4]. Tanda pada
masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara
terminologi, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan
proses yang berlaku bagi tanda[5]. Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek,
peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew
(1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan
kemudian disempurnakannya menjadi model sastra
yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk
pemahaman gejala susastra sebagai alat
komunikasi yang khas di dalam masyarakat
manapun.
Namun, banyak pula masalah jika ada
seseorang bertanya apa yang dimaksud dengan tanda. van Zoest memberikan lima
ciri dari tanda. Pertama, tanda
harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van
Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan pasir,
di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk) dari pasir dan
pada dinding itu diletakkan kerang-kerang yang sedemikian rupa sehingga
membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang
Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu
bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita menganggap
dan menginterpretasikannya sebagai tanda.
Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata
Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir,
kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.
Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir.
Dalam hal ini Duisburg merujuk kesatu
kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’,‘menggantikan’,
‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’.
Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai
hubungan langsung dengan sifat interpretatif, karena pada kata Duisburg di
kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di
Jerman, tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk-duduk orang Jerman’.
Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain.
Peirce menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap
Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf -huruf itu,
mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata,
bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan
perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan,
perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang
dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda
yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan
interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi[6].
b.
Tokoh-tokoh Semiotik
[7]Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada hampir
sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu
semiotik bermula dari ilmu linguistik
dengan tokohnya Ferdinand de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya
dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh
semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).
Selain itu ada tokoh yang penting
dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf
Amerika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist
semiotics. Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland
Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 -
1993), Christian Metz (193 - 1993),
Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure
yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899-1966) dan
Roman Jakobson (1896-1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan
(1901 - 1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalis adalah sebuah metode
yang telah diacu oleh banyak ahli
semiotik, hal itu didasarkan pada model
linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem
tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan
dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka
bekerja mencari struktur dalam (deep structure ) dari bentuk struktur luar
(surface structure) sebuah fenomena. Semiotik sosial kontemporer telah bergerak
di luar perhatian struktural yaitu
menganalisis hubungan-hubungan internal bagian-bagian dengan a self contained
system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang
spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat
dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme dalam konteks perkembangan kajian
budaya harus dilakukan dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang
seolah-olah lahir sesudahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam
kuliah-kuliah Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan
semiotik (oleh de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat)[8]. Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya
di Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya
dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya. Perkembangan dari strukturalis ke
semiotik dapat dibagi dua yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri-ciri
strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan yang sifatnya mulai
meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai
sistem tanda (evolusi).
Teknik
penelitian semiotik
Lebih tepat kiranya jika dalam
memahami tanda (kajian dari Semiotik) dengan mengetengahkan ide Karl Buhler dengan “Tanda bahasa – Konsep
– Acuan”; Peirce dengan Trikotomi-nya “Representamen –
Obyek – Interpretant”; Gumperz dengan Interpretive Frame (Shared-context
– Supra-structure – the Universe of discourse).[9]
Semiotika menghubungkan makna
terhadap tanda; makna sebagai ide utama dalam mendefinisikan dan menganalisis
tanda. Semua hal terkait makna dapat dianalisis secara Semiotik, kalau pun
beberapa pakar berbicara tentang makna non-Semiotik (Nöth, 1990).
Dalam pandangan Ogden dan Richards,
simbol memiliki hubungan asosiatif dengan gagasan atau referensi serta referen
atau dunia acuan. Mungkin pendapat ini bisa digambarkan dengan Semiotik
Triangle Ogden dan Richards.
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terubahkan referensi: hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Referensi dengan demikian merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata/kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satuan pengertian tertentu[11].
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terubahkan referensi: hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Referensi dengan demikian merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata/kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satuan pengertian tertentu[11].
Semiotika
Bahasa dan Budaya
Kali ini kita akan berusaha mengkaji kebudayaan dan bahasa yang
sering kita jumpai dalam kehidupan Jawa (Budaya dan Bahasa Jawa). Begitu banyak
istilah, simbol dan kegiatan yang terjadi dan menjadi mitos bahkan menjadi
ideologi dan filosofi yang kadang-kadang tidak kita ketahui makna dari
simbol-simbol tersebut.
Jawa merupakan kepulauan yang syarat akan literatur, budaya dan
tradisi yang kental. Tak dipungkiri bahwa Clifford Geertz mendapat pelajaran
berharga ketika melakukan ekspedisi penelitian yang di lakukan olehnya di salah
satu kota di Jawa Timur. Namun, kita tidak membahas tentang karya beliau
tersebut. Kita akan mencoba melakukan kajian yang lebih dalam atas apa yang
menjadi karya dan karsa orang-orang Jawa Kuno.
Sebelum beranjak lebih jauh, pernah terjadi peristiwa Kuningisasi
di Solo. Apa maksudnya? Saat itu sedang terjadi peperangan politik dimana Partai
berwarna ‘Kuning’ harus menjadi partai seluruh elemen masyarakat.
Upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta; Kain Sindur
Kain Sindur adalah kain dengan perpaduan warna tertentu, yang
digunakan pada upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta. Keseluruhan jenis
kain tersebut melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Konsep dan pendapat yang
digunakan adalah trikotomi Charles Sanders Pierce seputar tanda,
yang ia bagi menjadi ikon, indeks dan simbol. Bagian-bagian tersebut akan
digolongkan sesuai dengan makna dan pengertian yang ada pada masing-masing
kain, untuk memperjelas kedudukannya dalam pendekatan semiotika.
1. Ikon
Yang termasuk ikon dalam kain Sindur pada upacara pernikahan adat
Jawa di Surakarta yakni jenis kain Sindur Gula Klapa dan corak kain.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kain Sindur Gula Klapa berwarna merah-putih. Warna tersebut
diambil dari benda yang berwarna serupa yakni gula (Jawa dari Aren) yang
berwarna merah (kecoklatan) dan klapa atau buah kelapa berdaging putih.
Kain Sindur jenis lain yakni kain Sindur Klabang Ngantup, Manten Anyar,
dan Mayang Mekar, tidak masuk kategori karena penamaan kain-kain
tersebut berdasarkan makna.
Corak kain sindur yakni untu walang (gigi belalang), regulon
(ukiran penghias pintu—rumah adat Jawa), tapak dara (telapak kaki burung
merpati), dan gadan (senjata gada), diberi nama sesuai dengan bentuknya.
Sesuai dengan konsep ikon pada trikotomi Pierce, kesesuaian bentuk dan nama
yang digunakan dapat dilihat langsung (secara visual).
2. Indeks
Yang termasuk indeks dalam kain Sindur pada upacara pernikahan adat
Jawa di Surakarta yakni fungsi kain. Pada upacara lain yang diselenggarakan
masyarakat Jawa tidak menggunakan kain jenis ini, sehingga bila terdapat acara
yang menggunakan kain Sindur, dapat dipastikan upacara pernikahan adat Jawa.
Masing-masing kain Sindur, yakni Gula Klapa, Klabang Ngantup,
Manten Anyar, dan Mayang Mekar, digunakan untuk acara yang berbeda. Gula
Klapa untuk acara kacar kucur. Untuk acara ngunduh mantu
menggunakan Klabang Ngantup dikenakan orang tua kedua mempelai dan Manten
Anyar dikenakan oleh pasangan pengantin. Mayang Mekar digunakan saat
purna acara atau rangkaian upacara pernikahan usai.
3. Simbol
Yang termasuk simbol dalam kain Sindur pada upacara pernikahan adat
Jawa di Surakarta adalah nama, jenis warna, corak kain, struktur corak, makna,
dan fungsi kain, karena bagian-bagian tersebut mewakili dari keseluruhan maksud
yang disampaikan dalam suatu sistem.
Sistem yang dimaksud adalah acara pernikahan yang meliputi kacar
kucur, panggih, ngunduh mantu, dan purna acara (setelah rangkaian acara
usai). Hal-hal yang disimbolkan pada masing-masing jenis kain Sindur mengandung
arti kemakmuran dan kesuburan.
Nama kain Sindur, yakni Gula Klapa, Klabang Ngantup, Manten
Anyar, dan Mayang Mekar berdasarkan jenis warna, corak kain, struktur
corak. Hal-hal tersebut melahirkan makna dan diikuti dengan fungsi sesuai makna
kain Sindur.
Bahasa Jawa; makna kata-kata dalam menyebut tahun peristiwa
Sering kita mendengar suatu ungkapan-ungkapan Jawa seperti Sirna
Ilang Kertaning Bumi (Candrasengkala), dan lukisan bertuliskan Dwi Naga Rasa
Tunggal (Sangkalan Memet). Tapi, benarkah kita mengetahui makna terselubung di
balik itu semua. Kita akan mencoba mengetahuinya dengan teori semiotik yang
diusung oleh de Sausurre.
1.
Candrasengkala
merupakan Kata-kata yang digunakan orang Jawa untuk menyebutkan peristiwa
disertai dengan bilangan tahun.
Sirna = 0.
Ilang = 0. Kerta = 4. Bumi = 1. Kata-kata tersebut menyebutkan bilangan 1400
(pembacaan dari belakang).
Jika didekati
dengan pendekatan semiotik, maka hasilnya akan seperti ini:
Signifier : Sirna Ilang Kertaning
Bumi
Signified : 1400
Referent : Tahun runtuhnya kerajaan
Majapahit.
Makna kata “Sirna
Ilang Kertaning” Bumi itu sendiri adalah Musnah Hilang (yang)
dijadikan/disebabkan oleh Bumi. Selain menyebutkan bilangan tahun, kata-kata
tersebut menuturkan penyebab kehancuran kerajaan tersebut yang diduga adalah
Bencana dari bumi (bencana Alam).
2.
Sangkalan
memet terdiri dari tiga unsur yaitu Gambar (bentuk/rupa), Kalimat, dan angka
tahun yang diwakili.
Dwi = 2. Naga =
8. Rasa = 6. Tunggal = 1. Membentuk angka tahun 1682.
|
Semiotika Al-Qur’an
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kajian semiotik
berupaya untuk memahami makna yang ada dalam suatu tanda. Kajian ini memilki
peran yang positif bagi penafsiran teks Al-Qur’an maupun Hadits yang sebelumnya
hanya ditafsirkan secara konvensional, formal-legal, tekstual dan stagnan.
Seperti halnya filsafat yang ‘masuk Islam’, semiotik juga merambah
dalam penafsiran pada hal-hal yang berbau Islam seperti Al-Qur’an yang menurut
Ulama’ kontemporer seperti Nash Hamid Abu Zayd merupakan bentukan budaya yang
berarti Kitab Allah ini tidak terlepas dari konteks Sosio-Historisnya, sebagai kritik
terhadap kondisi masyaratkat Arab-Jahiliyah Saat itu. Hal ini juga sering
disebut sebagai Muntaj Al-thaqofy. Namun betapa demikian, beliau juga
tidak memungkiri bahwa Al-Qur’an membentuk budaya baru yang disebut dengan Muntij
Al-Thaqofah.
Dalam kajian semiotik terhadap Al-Qur’an, kita tidak bisa lepas
dari tokoh yang bernama Muhammad Arkoun.
Ia mempunyai gagasan yang tergolong ekstrim bagi kalangan Ulama’ Klasik yang
menerima Nash apa adanya. Arkoun mencoba membangun nalar kritis umat islam pada
teks sakral yang akan nerlaku sepanjang zaman ini.
Arkoun mencoba melontarkan pemikirannya yang setidaknya ada empat
hal sebagai berikut;
Pertama, melakukan klarifikasi
historis terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca Alqur’an kembali secara
benar dan baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syari’ah sebagai sistem
semiologis yang merelevankan wacana al-Qur’an dengan sejarah manusia, di samping sebagai tatanan
sosial yang ideal. Ketiga, meniadakan dikotomi tradisional (antara iman
dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan
sebagainya) untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat,
memperjuangkan suasana berfikir bebas dalam mencari kebenaran agar tidak ada
gagasan yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di dalam taqlid[13].
Muhammad Arkoun sangat menyayangkan jika sarjana Muslim tidak mau
mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen karena sebenarnya penolakan menggunakan
metode ilmiah (biblical critism) adalah karena alasan politis dan psikologis.
Ia menyatakan:
“Sayang sekali kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci yang
telah diaplikasikan kepada Bibel Ibrani dan perjanjian baru, sekalipun tanpa
menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu terus ditolak oleh pendapat
kesarjanaan Muslim. Karya-karya Mazhab Jerman terus ditolak, dan kesarjanaan
Muslim tidak berani menempuh penelitian seperti itu sekalipun penelitian
tersebut akan menguatkan sejarah mushaf dan theology wahyu.”[14]
Di bawah ini merupakan pengamatan Arkoun terhadap teks Qur’an,
terdapat 3 unsur penting mengenai perkembangan penafsiran al-Qur’an. Pertama, menghubungkan proses pembekuan dan
penutupan dalam penafsiran (yaitu pengartian) Qur’an dengan pengalihannya dari
bentuk lisan ke bentuk tulisan. Pendirian ini merumuskan bahwa pencatatan teks
Qur’an lebih penting sebagai faktor pembekuan penafsiran dari pada lisan.
Kedua, dalam pemikiran manusia terjadi peralihan antara dua cara pemakaian
bahasa. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa pemikiran manusia mengalami peralihan
dari kalam kenabian ke wacana pengajaran. Gejala ini berlaku bagi pemikiran
manusia secara umum. Kalam kenabian membicarakan situasi batas kondisi manusia,
seperti keberadaan, cinta kasih, hidup, dan mati. Ketiga, bahasa lisan adalah
bentuk lebih awal daripada bahasa tulisan.[15]
Analisis Arkoun pada surat Al-Fatikhah
Lewat analisisnya terhadap surat al-Fatihah, Arkoun sebenarnya
sedang mengusahakan pemahaman yang intensif bukannya ekstensif tentang teks
surat al-Fatihah. Usahanya itu, secara garis besar dilakukan lewat dua tahap.
Langkah pertama ia melakukan semacam “intellectual exercise” melalui analisis
linguistik kritis. Langkah kedua adalah usaha untuk melakukan semacam “re-enacment”
pengalaman keagamaan, yakni dengan analisis mitis teks surat al-fatihah.
Dalam analisis linguistik kritis, Arkoun menganalisis unsur-unsur
linguistis seperti determinan ( ism ma’rifah), kata ganti orang (pronominal,
dlamir), sistem kata kerja (fi’i l), sistem kata benda ( ism dan musamma), struktur
sintaksis dan prosodie. Fokus analisis Arkoun dalam hal ini terarah pada
analisis sintaksis dan semantik. Arkoun melihat bahwa pentingnya linguistik kritis
ini terletak pada kemungkinan untuk “mengungkapkan struktur dalam yang terletak
di balik penampakan teks yang seolah-olah tidak teratur”[16].Analisis ini dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat menangkap
keseluruhan teks sebagai sistem hubungan-hubungan internal. Hubungan internal
ini dianalisis berdasarkan tanda-tanda bahasa yang ada. Demikianlah teks tidak
hanya tampak sebagai kumpulan kata-kata, melainkan tampak sebagai suatu sistem
hubungan internal.
Hendrik Mauleman mengutip pernyataan yang dilontarkan oleh Arkoun:
“Ungkapan dasar al-hamdu lillah dari sudut pandang sintaksis,
klausa tersebut adalah nominal, inkoaktif (mubtada’) dan predikat (khabar).
Segala tindakan ditujukan kepada Allah tanpa acuan apapun kepada seorang
penutur dan pada waktu. Jadi Allah adalah penerima tetap dari suatu tindakan
(al-hamdu) yang niscaya memiliki pelaku-pengirim. Namun, yang terakhir ini
tidak sama dengan pengujar: saya bisa mengujarkan alhamdu lillahsebagai contoh
tata bahasa saja. Tetapi, jika kita beralih dari tataran sintaksis ke semantik,
pengujar lebih sulit memisahkan diri dari pelaku-pengirim. Sesungguhnya,
hubungan (antara pengirim dan penerima) ditambah dengan fungsi baru: tindakan
pemujian mempranggapkan secara semantik suatu pelaku-pengirim kebaikan dan
suatu aktan penerima itu.”
Dengan demikian kita sampai pada model aktansial tempat Allah
adalah aktan pengirim kebaikan, penerima tindakan pemujian; pengujar adalah
aktan penerima kebaikan, pengirim tindakan pemujian. Kita melihat bahwa
pengertian aktan memenuhi keperluan untuk menunjukkan sekumpulan fungsi
sintaksis dan semantik yang dilaksanakan oleh ‘subjek’ yang sama[17].
Menurut Arkoun paling tidak terdapat empat macam simbolisme yang
dapat ditemui dalam surat Al-fatikhah: (1) simbolisme tentang kesadaran manusia
akan kejahatan dan kesalahan, (2) simbolisme akan cakrawala eskatologi atau
kehidupan yang akan datang, (3) simbolisme tentang kesadaran manusia sebagai
umat, dan (4) simbolisme tentang hidup dan mati.
PENUTUP
Dalam kajian semiotik yang rumit, secara global bisa kita simpulkan
bahwa kajian semiotik adalah kajian yang mengupas semua tanda yang ada dalam
sekitar kita baik berupa bunyi, tulisan, bahasa tubuh, gambar (visual) dan
sebagainya. Sedangkan teknik dalam aplikasinya terdapat berbagai perbedaan yang
dikemukakan oleh tokoh-tokoh semiotik di atas. Namun pada dasarnya, ‘ilmu’
semiotik tidak lepas dari kajian semantik sebagai sub-strukturnya.
Yang sering dipakai dalam upaya pendekatan makna ayat Al-Qur’an
adalah pendapat Ferdinand de Saussure yang dengan teorinya menjelaskan tentang
signifier, signified, dan referent atau hasil penafsiran. Tiga hal yang menurut
pierce disebut sebagai Trikotomi. Sedangkan Arkoun, memilki cara tersendiri
yang melampaui batas analisis semiosis karena ia tak hanya bicara wacana dan
teks, namun antarwacana, kenyataan (realitas), dan persepsi akan wacana dan
realitas oleh manusia yang dimediasi oleh bahasa.
Tidak selamanya semiotik bukan tanpa kekurangan, Analisis semiotik
cenderung mengabaikan aspek-aspek kesejarahan (konteks sosio historis) terhadap
teks. Dengan menekankan pada struktur internal teks, semiotik melakukan
interpretasi secara a-historis. Dalam bidang kajian keagamaan, terutama
menyangkut teks-teks agama, proses semiotik yang tiada berakhir menjadikannya
tidak memungkinkan untuk menemukan petanda terakhir (petanda transendental)
yang mutlak bagi agama. Ketiadaan petanda terakhir ini membuat terperangkap
dalam lingkaran semiosis, tanpa mampu menemukan makna terakhir.
DAFTAR PUSTAKA
-
Hoed,
Benny H., “Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Indonesia: Tanda
yang Retak (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2002)
-
Sobur, alex.,”Semiotika Komunikasi”. (Bandung:
Remaja Rosdakarya,2006)
-
Sobur, Alex, ” Analisis Teks Media” (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004)
-
Van
Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan
Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)
-
Ni
Wayan Sartini, literartur “Tinjauan Teori Tentang Semiotik”, Fakultas Sastra,
Universitas Airlangga
-
Juniato Sidauruk, literatur “Makna Dalam Semantik dan
Semiotik”, Ilmu Linguistik Universitas Indonesia.
-
Aminuddin.1997. Stilistika; Pengantar Memahami Bahasa
dalam Karya Sastra. Semarang:CV IKIP Semarang Press, hlm.208.
-
Ekomadyo,
Agus S, “Pendekatan Semiotika dalam Kajian Terhadap Arsitektur Tradisional di
Indonesia. Naskah Arsitektur Nusantara: Jelajah Penalaran Arsitektural Institut
Teknologi Sepuluh November Surabaya 9 September 1999).
-
Sulhani
Hermawan, M.Ag., Mohammed Arkoun dan
Kajian Ulang Pemikiran Islam.
-
Armas,
adnin, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani, 2007.
-
Muhammad Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, Terj.
Machasin (Jakarta: INIS, 1997).
-
Johan Hendrik Meuleman (Ed.), “Sumbangan dan Batas
Semiotika dalam Ilmu Agama”, dalam Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme:
Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun (Yogyakarta: LKiS, 1996).
[1] Benny
H. Hoed memberikan contoh lain dalam bukunya Semiotik dan Dinamika Sosial
Budaya, yang pada intinya adalah pemaknaan kata-kata berdasarkan kebiasaan yang
telah terbentuk. (hal 39).
[2] Hoed, Benny H., “Strukturalisme, Pragmatik dan
Semiotik dalam Kajian Indonesia: Tanda yang Retak (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002)
[3] Sobur, alex.,”Semiotika Komunikasi”. (Bandung: Remaja Rosdakarya,2006)
[4] Sobur, Alex, ” Analisis Teks Media” (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004)
[5] Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara
Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung,
1993)
[6] Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara
Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung,
1993)
[7]
Ni Wayan Sartini, dalam literarturnya yang berjudul Tinjauan Teori Tentang
Semiotik, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Airlangga
[8]
Hoed, Benny H., “Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Indonesia:
Tanda yang Retak (Jakarta: Wedatama
Widya Sastra, 2002)
[9]
Juniato Sidauruk dalam literaturnya yang berjudul Makna Dalam Semantik dan
Semiotik, Ilmu Linguistik Universitas Indonesia.
[10]
Aminuddin.1997. Stilistika; Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang:CV IKIP Semarang Press, hlm.208.
[11]
Sobur, alex.,”Semiotika Komunikasi”. (Bandung: Remaja Rosdakarya,2006).
[12]
Ekomadyo, Agus S, Pendekatan Semiotika dalam Kajian Terhadap Arsitektur
Tradisional di Indonesia, dalam seminar Nasional Seminar Nasional Naskah
Arsitektur Nusantara: Jelajah Penalaran Arsitektural Institut Teknologi Sepuluh
November Surabaya 9 September 1999
[13]
Sulhani Hermawan, M.Ag., Mohammed Arkoun
dan Kajian Ulang Pemikiran Islam.
Sulhani Hermawan adalah staf pengajar jurusan
Syari’ah dan staf P3M STAIN Surakarta.
[14]
Armas, adnin, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani,
2007.
[15]
Muhammad Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, Terj. Machasin (Jakarta: INIS,
1997).
[16]
Ibid., hal. 103.
[17]
Johan Hendrik Meuleman (Ed.), “Sumbangan dan Batas Semiotika dalam Ilmu Agama”,
dalam Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran
Mohammed Arkoun (Yogyakarta: LKiS, 1996).
By Kang Sakha
By Kang Sakha
Post a Comment
Post a Comment