Makna Tafsir Sufi
Kata suf (صوف) berasal dari madzi
dan mudlari’ صاف يصوف yang mempunyai arti
tenunan dari bulu domba (wol), merujuk pada jubah yang dikenakan oleh orang
muslim yang bergaya hidup sederhana. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi
berasal dari madzi dan mudlari’ صفا يصفو
yang mempunyai arti jernih, bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian
hati dan jiwa.
Yang dimaksud dengan tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis
oleh para sufi (Al-Zarqani, 1986:117).
Menururt Al-Zarqani tafsir sufi adalah “menafsirkan
Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin, karena ada
isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun demikian tafsir
batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.
Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawwuf tafsir ini juga
dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawwuf an Nadzari
disebut Tafsir al Shufi al Nadzri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali
disebut tafsir al isyari.
Pedoman
Para sufi umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW
yang berbunyi:
لِكُلِّ ايَةٍ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ
حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍّ مَطْلَعٌ
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf
memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk
melihatnya.”
Jenis tasir Sufi
Nashiruddin Khasru misalnya, mengibaratkan makna zahir
seperti badan, sedang makna batin seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi
yang mati (Al-Suyuti, 1951:104)
1.
Tafsir Sufi Nadhari
Tafsir sufi nadhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk
mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir.
Az-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhari dalam
praktiknya adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa
serta apa yang dimaksudkan oleh syara.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir tasawuf teoritis
(nadhari) yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai ulama
tafsir sufi nadhari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan
al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan
al-Fushush.
Karakteristik Tafsir Sufi Nadhari
az-Zahabi menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam
penafsiran nadhari sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhari
sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Kedua, di dalam tafsir nadhari, hal-hal
yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak dengan perkataan lain
meng-qiyas-kan yang gaib pada nyataan.
Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu
dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Contoh Tafsir Sufi Nadhari
a.
Al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي
قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِي إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا
بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi
diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi golongan ini
adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan
melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan
membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
b.
Surat Al-Baqarah 115:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا
تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعُ عَلِيمُُ{115}
Artinya: “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja
kamu berpaling di situ wajah Allah.
Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan
dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu
jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.
c.
Surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ
مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya”,
Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran
bahwa untuk mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup
kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan
berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia.
2.
Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an
yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima
para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.
Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah
metode isyarat (Isyarah). Isyarat di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang
ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya.
Semua tafsir isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi
harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufasir.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
ü
Penafsiran Isyari tidak
boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.
ü
Harus ada nas lain yang
menguatkannya.
ü
Tidak bertentangan dengan
syara’ dan akal.
ü
Harus diawali dengan
penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain makan
zhahir.
Contoh Tafsir Sufi Isyari
Contoh penafsiran isyari
yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di
atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat
al-Baqarah : فلا تجعلوا لله اندادا
Al-Tastary menafsirkan andadan yaitu
nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung,
setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia
adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu
menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang
ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya
penafsiran isyari sahabat yaitu ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari
surat al-Nasr ayat 1 yang bunyinya: اذا جاء نصر الله والفتحArtinya:
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan” (QS. Al-Nasr:1) di
antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan
mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur
kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang
mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw.
Perbedaan Tafsir Sufi Nadhari dan Isyari
Az-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara
tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :
Tafsir sufi nadzari
dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi
yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya.
Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu
sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai
derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
Dalam tafsir sufi
nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai
makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam
tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna
lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an
terdiri dari makna zahir dan batin.
Contoh Penafsiran Yang Lain
1. al-Ghazali menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( فَاخْلَعْ نَعْلَيْلَكَ ) yang secara zahir
“tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-Ghazali makna batin
dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu, baik alam dunia mupun
akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula
mencari pahala ukhrawi, tapi carilah wajah Allah semata”.
2. Az-Zahabi
memberikan contoh tafsir nadhari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran
Ibn al’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam : وَرَفَعْنَٰهُ مَكَانًا عَلِيًّا Artinya: “Dan Kami telah mengangkatnya ke
martabat yang tinggi”. Menurut az-Zahabi
penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat
alam yaitu dengan menafsirkan lafazh makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam
bintang).
3. kaum
Bathiniyah Al-Taftazani, (Abu Al-Wafa Al-Ghanami, 1997:207). Dengan dalih bahwa
di balik makna zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan
tafsir batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya
saja ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ ﴿الحجر:٩٩
(QS.15:99)
Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah Tuhanmu sampai
ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah mengembangkan penafsiran sendiri. Menurut
mereka makna ayat itu adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah, maka
gugurlah kewajiban baginya” (Faudah, 1987:217).
Kitab-Kitab Tafsir Sufi
Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w.283 H)
Haqa’iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H)
Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi
(w.606 H).
KESIMPULAN
1.
Tafsir shufi adalah tafsir
yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal
daripada lahirnya.
2.
Dalam tafsir shufi terdapat
dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari.
3.
Tafsir sufi nazhari adalah
tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir produk
sufi praktis.
4.
Tafsir sufi seharusnya
steril dari dimensi sektarianisme, karena ia diklaim bersumber dari Tuhan yang
adalah sumber dari segala kebenaran.
Post a Comment
Post a Comment