Sapere Aude - Beranilah berpikir sendiri. Inilah semboyan
pencerahan yang legendaris. Semboyan ini menekankan peniadaan autoritas dalam
usaha pencarian kebenaran karena autoritas sebagai sumber prasangka dianggap
merusak rasionalitas. Prasangka, autoritas, tradisi dianggap membelokkan
kebenaran sehingga pengetahuan didesak untuk dibebaskan dari segala hal
tersebut. Pengetahuan harus bebas nilai. Dalam pendekatan ini tendensi
objektivitas sangat kuat sementara subjektivitas dipinggirkan.Hermeneutika
Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada
subyek yang menafsirkan.
Selain itu, proses hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin
berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang semakin kompleks. Menurut
telaah Fakhruddin Faiz, dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model,
yaitu hermeneutik sebagai cara untuk memahami atau hermeneutika teoritis,
hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis,
hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.[1]
Dalam makalah ini, penulis tidak akan mengupas secara tuntas ketiga
model hermeneutik tersebut. Penulis hanya akan menelaah hermeneutik Hans-Georg
Gadamer yang masuk dalam kategori hermeneutika filosofis.
B. Biografi dan Setting Historis Gadamer
Gadamer adalah seorang filsuf yang lahir di Marburg pada tahun 1900
dan mendapatkan pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Gadamer memperoleh
gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan dikukuhkan menjadi profesor di
Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya sebagai tenaga pengajar di
Heidelbeg. Ketika negaranya baru mengalami disintergrasi, seperti dikatakannya,
bahwa pemikirannya berupa mencari sesuatu orientasi. Karya-karya asli
monumentalnya adalah Wahrheit und Methode, Philosophie und Hermeneutik, Klien
Schriften, Die Idea des Quten Zwischen Plato und Aristiteles, dan lain-lain.
Dengan pemikirannya untuk mencari suatu orientasi baru dalam suatu
dunia yang kehilangan orientasi, Gadamer merasa berhutang budi terhadap
pemikiran Dilthey, namun juga memberikan reaksi pemikirannya, yakni tentang
fenomena mamahami dalam filsafat idealistiknya. Menurutnya, kelemahan filsafat
Dilthey adalah secara teoritik tidak cukup mengungkap dimensi masa depan dari
setiap arti. Bahkan tidak berhasil mengembangkan secara penuh seluruh implikasi
hidup karena masih terlalu banyak namun dengan hidup dari titik pandang
kesadaran diri yang objektivistik.
Terhadap tokoh Heidegger, Gadamer mengakui dalam mengembangkan
pemikirannya yang spesifik tidak lepas dari sendi-sendi bangunannya. Analisis
eksistensial Heidegger tetap dipandang relevan dalam pemikirannya.
Di samping pemikiran Heidegger, Gadamer juga dipengaruhi oleh
pemikiran Plato, Neo-Kantianisme dan fenomenologi Husserl. Sekalipun dekat
dengan Hegel, tetapi tidak bertolak dari subjektivisme, begitu juga tidak
mengandaikan doktrin idea plato maupun konsepsinya tentang kebenaran dan
bahasa.
C. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer
Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia senantiasa merupakan
peristiwa historis, dialektik, dan linguistik.[2]
Dengan demikian, dalam sistem dan metode pengetahuan yang digagas oleh Gadamer,
kebenaran diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan dari proses dialektika
adalah menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal ini teks, supaya
mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, tugas hermeneutik
adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke dalam dialog
yang riil dengan kehidupan manusia di masa kini.
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah
menerapkan berbagai macam aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang
“benar objektif”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan
demikian, kunci untuk memahami bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai,
tetapi dengan partisipasi dan keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi
dengan pengalaman; dan bukan dengan metodologi, tetapi dengan dialektika.[3]
Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu
sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian
memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang baru.[4]
Dalam membangun sistem pengetahuannya ini, Gadamer banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Hegel. Oleh karena itu, dialektika dan
spekulativitas dalam sistem pengetahuan yang dibangun oleh Gadamer merujuk pada pemikiran Hegel.[5]
Dalam proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika
ini, Gadamer meniscayakan empat faktor yang tidak boleh diabaikan.[6]
Pertama, bildung atau pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya dengan proses
pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks, maka seluruh
pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan. Dengan
demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia,
dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses penafsiran,
bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat memahami
ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak
dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.
Kedua, sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik atau
pandangan yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial
atau pergaulan sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan
“kebijaksanaan”. Istilah mudahnya adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan
sangat memerlukan sensus communis untuk memahami latar belakang yang mendasari
pola sikap manusia. Ketiga, pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang
khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan
sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang
sulit untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai
dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang pintar dan
orang bodoh. Orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat menghimpun
kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat
mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar. Keempat, taste atau selera, yaitu
sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau keseimbangan
antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual. Gadamer menyamakan selera
dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai pengetahuan akali. Jika
selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita tidak tahu penyebabnya.
D.
Konstruksi Epistemologis Pemikiran Hans-Georg Gadamer
1. Sumber dan Hakikat Pengetahuan
Menurut Gadamer, sejarah atau sosialitas masyarakat merupakan
medium berlangsungnya semua sistem pengetahuan. Sejarah sendiri merupakan
sebuah perjalanan tradisi yang ingin membangun visi dan horison kehidupan di
masa depan.[7]
Di dalam sejarah, setiap orang mengembangkan cara-cara memahami satu sama lain.
Mereka mengkombinasikan berbagai makna menjadi satu sistem makna yang general.
Dengan demikian, bahasa suatu masyarakat (native language) tidak hanya sebagai
simbol yang merepresentasi diri (self), tetapi juga karakter (nature) dan
pemikiran atau pandangan masyarakat (worldview, thought, weltanschaung). Bahasa
memiliki kekuatan untuk mengungkap dan juga menyembunyikan suatu makna yang
dimiliki atau dipahami secara eksklusif oleh komunitas setempat. Oleh karena
itu, orang lain yang hendak memahami bahasa atau pemikiran suatu masyarakat
harus masuk ke dalam sejarah dan cara membahasa mereka (baca: tradisi mereka).
Singkatnya, kerangka pemikiran (worldview) dan pengetahuan
(self-knowledge) manusia dibentuk dan mewujud dalam seluruh proses sejarah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa tugas utama hermeneutik adalah memahami teks
(baca: sejarah dan tradisi)[8]
dan hakikat pengetahuan dalam tradisi hermeneutik filosofis Gadamer adalah
pemahaman atau penafsiran (verstehen) terhadap teks tersebut sesuai dengan
situasi dan kondisi sang penafsir.[9]
2. Alat Pengetahuan
Karena bahasa merupakan the concrete expression of ‘form of life’
or ‘tradition’ (ekspresi kongkret dari kehidupan atau tradisi), maka bahasa menjadi
titik sentral dalam proses pemahaman (understanding/verstehen). Menurut
Gadamer, “mengerti” tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bahasa. Karena
“mengerti” bukan saja dilakukan dalam memahami teks-teks masa lampau, tetapi
merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi manusia, maka dapat
disimpulkan bahwa bahasa mempunyai relevansi ontologis. “Mengerti” sama dengan
mengadakan percakapan atau dialog dengan yang ada, suatu percakapan di mana
sungguh-sungguh terjadi sesuatu.[10]
Gadamer menegaskan bahwa masalah hermeneutik bukan penguasaan yang benar
terhadap bahasa, tetapi pemahaman yang tepat terhadap sesuatu yang terjadi melalui
media bahasa.[11]Kaitannya
dengan proses pemahaman, Gadamer menegaskan hanya melalui bahasalah wujud
(baca: makna) bisa disingkapkan.[12]
Berbicara tentang bahasa, Gadamer sering menekankan bahwa bahasa
tidak terutama mengekspresikan pemikiran, tetapi mengekspresikan objek itu
sendiri. Menurutnya, tidak ada perkataan yang dapat mengungkapkan suatu objek
secara tuntas. Hal ini terjadi bukan karena keterbatasan bahasa, tetapi karena
keberhinggaan (baca: keluasan) subjek manusia.[13]
Selanjutnya, Gadamer juga menjelaskan bahwa bahasa lebih dari sekadar suatu
sistem tanda. Sebab, objek dan kata tidak dapat dipisahkan. Di antara keduanya
terdapat kesatuan yang begitu erat, sehingga mencari suatu kata sebetulnya
tidak lain daripada mencari kata yang seakan-akan melekat pada benda. Demikian
pula, bahasa dan pemikiran pun membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan.[14]
3. Teori dan Metode Memperoleh Pengetahuan
Berikut ini adalah teori dan metode Gadamer dalam memperoleh
pengetahuan, dalam hal ini meraih pemahaman atas suatu teks atau tradisi.
a. Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (Historically
Effected Consciousness)
Menurut teori ini, pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi
oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya, baik itu berupa tradisi,
kultur, ataupun pengalaman hidup. Oleh karena itu, pada saat menafsirkan sebuah
teks, seorang penafsir harus sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang
bisa mempengaruhi pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkannya.
Lebih lanjut Gadamer mengatakan, seseorang harus belajar memahami dan mengenali
bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh dari
affective history (“sejarah yang mempengaruhi seseorang”) sangat mengambil
peran. Sebagaimana diakui oleh Gadamer, mengatasi problem keterpengaruhan ini
memang tidaklah mudah. Pesan dari teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus
mampu mengatasi subjektivitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks.[15]
b. Teori “Prapemahaman” (Pre-Understanding)
Keterpengaruhan oleh situasi hermeneutik atau affective history
tertentu membentuk pada diri seorang penafsir apa yang disebut Gadamer dengan
istilah pre-understanding atau “prapemahaman” (baca: praanggapan) terhadap teks
yang ditafsirkan. Prapemahaman yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti
dan harus ada ketika ia membaca teks. Gadamer menyatakan bahwa dalam proses pemahaman,
prapemahaman selalu memainkan peran. Dalam praktiknya, prapemahaman ini
diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, di mana seorang penafsir berada, dan
juga diwarnai oleh perkiraan awal (prejudice) yang terbentuk dalam tradisi
tersebut.[16]
Keharusan adanya prapemahaman tersebut, menurut teori ini,
dimaksudkan agar seorang penafsir mampu mendialogkannya dengan isi teks yang
ditafsirkan. Tanpa prapemahaman, seseorang tidak akan berhasil memahami teks
dengan baik. Bahkan, Oliver R. Scholz menyatakan bahwa prapemahaman yang
disebutnya dengan istilah “asumsi atau dugaan awal” merupakan “sarana yang tak
terelakkan bagi pemahaman yang benar”. Meskipun demikian, menurut Gadamer,
prapemahaman harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi, dan dikoreksi oleh
penafsir itu sendiri ketika dia sadar atau mengetahui bahwa prapemahamannya itu
tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh teks yang ditafsirkan. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pesan teks. Hasil dari
rehabilitasi atau koreksi terhadap prapemahaman ini disebutnya dengan istilah “kesempurnaan
prapemahaman”.[17]
c. Teori “Penggabungan/Asimilasi Horison” (Fusion of Horizons) dan
Teori “Lingkaran Hermeneutik” (Hermeneutical Circle)
Dalam menafsirkan teks, seseorang harus selalu berusaha memperbarui
prapemahamannya. Hal ini berkaitan erat dengan teori “penggabungan atau
asimilasi horison” (fusion of horizons). Menurut teori ini, proses penafsiran
seseorang dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau
horison yang ada di dalam teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca.
Kedua horison ini selalu hadir dalam setiap proses pemahaman dan penafsiran.
Seorang pembaca teks akan memulai pemahaman dengan cakrawala hermeneutiknya.
Namun, dia juga memperhatikan bahwa teks yang dia baca mempunyai horisonnya
sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca. Dua bentuk
horison ini, menurut Gadamer, harus dikomunikasikan, sehingga ketegangan di
antara keduanya dapat diatasi. Oleh karena itu, ketika seseorang membaca teks
yang muncul pada masa lalu, maka dia harus memperhatikan horison historis di
mana teks tersebut muncul (baca: diungkapkan atau ditulis).[18]
Seorang pembaca teks harus memiliki keterbukaan untuk mengakui
adanya horison lain, yakni horison teks yang mungkin berbeda atau bahkan
bertentangan dengan horison pembaca. Dalam hal ini, Gadamer menegaskan, “Saya
harus membiarkan teks masa lalu berlaku (memberikan informasi tentang sesuatu).
Hal ini tidak semata-mata berarti sebuah pengakuan terhadap ‘keberbedaan’ masa
lalu, tetapi juga bahwa teks masa lalu mempunyai sesuatu yang harus dikatakan
kepadaku.” Intinya, memahami sebuah teks berarti membiarkan teks yang dimaksud
berbicara.
Interaksi di antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran
hermeneutik” (hermeneutical circle). Menurut Gadamer, horison pembaca hanya
berperan sebagai titik berpijak seseorang dalam memahami teks. Titik pijak
pembaca ini hanya merupakan sebuah “pendapat” atau “kemungkinan” bahwa teks
berbicara tentang sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa
pembaca agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya,
titik pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya
dimaksud oleh teks. Dalam proses ini terjadi pertemuan antara subjektivitas
pembaca dan objektivitas teks, di mana makna objektif teks harus lebih
diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks.
d. Teori “Penerapan/Aplikasi” (Application)
Makna objektif teks harus mendapat perhatian dalam proses pemahaman
dan penafsiran. Ketika makna objektif telah dipahami, kemudian apa yang harus
dilakukan oleh pembaca atau penafsir teks yang di dalamnya terkandung
pesan-pesan yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari? Di sisi lain,
situasi ketika munculnya teks tersebut dan masa ketika seorang penafsir hidup
telah jauh berbeda. Menurut Gadamer, ketika seseorang membaca kitab suci, maka
selain proses memahami dan menafsirkan, ada satu hal lagi yang dituntut, yakni
“penerapan” (application) pesan-pesan atau ajaran-ajaran pada masa ketika teks
kitab suci itu ditafsirkan.[19]
Pertanyaannya adalah: apakah makna objektif teks tersebut harus terus
dipertahankan dan diaplikasikan pada masa ketika seorang penafsir hidup?
Menanggapi pertanyaan ini, Gadamer berpendapat bahwa pesan yang harus
diaplikasikan pada masa penafsiran bukan makna literal teks, tetapi “makna yang
berarti” (meaningfull sense) atau pesan yang lebih berarti daripada sekadar
makna literal.
Intinya, dalam membaca dan mamahami teks-teks historis berlaku
proses hermeneutis yang dalam istilah Gadamer disebut effective history.[20]
Konsep ini dimaksudkan untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari wilayah
teks-teks historis. Pertama, masa lampau, di mana sebuah teks dilahirkan atau
dipublikasikan. Di sini, makna teks bukan hanya milik pengarang, tetapi juga
milik setiap orang yang berusaha membaca dan memahaminya. Kedua, masa kini, di
mana penafsir datang dengan membawa sejumlah prasangka atau praanggapan. Dengan
prasangka ini, penafsir akan berdialog dengan masa lalu sehingga melahirkan
makna baru yang sesuai dengan kondisi penafsir. Ketiga, masa depan, di mana di
dalamnya terdapat nuansa baru yang produktif.
4. Teori Kebenaran Pengetahuan
Dalam Truth and Method, Gadamer berusaha melanjutkan dan
menyempurnakan gagasan gurunya, Martin Heidegger, tentang keterkaitan antara
keberadaan manusia dan kemungkinan pemahaman yang bisa dilakukan. Dalam
pandangan Heidegger, yang kemudian diikuti dan disempurnakan oleh Gadamer,
hermeneutik adalah penafsiran terhadap esensi (being) yang dalam kenyataannya
selalu tampil dalam eksistensi. Dengan demikian, suatu kebenaran tidak lagi
ditandai oleh adanya kesesuaian (koherensi) antara konsep teoritis dan realitas
objektif (sebagaimana dilakukan oleh kalangan positivisme dengan dalih mencari
objektivitas), tetapi oleh tersingkapnya esensi atau hakikat sesuatu. Dan,
satu-satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah eksistensi manusia.
5. Pengujian Kebenaran Pengetahuan
Di atas telah dinyatakan bahwa dalam tradisi
hermeneutika filosofis yang digagas oleh Heidegger dan Gadamer, suatu kebenaran
tidak lagi ditandai oleh adanya kesesuaian (koherensi) antara konsep teoritis
dan realitas objektif, tetapi oleh tersingkapnya esensi atau hakikat sesuatu. Dengan demikian, dalam tradisi hermeneutika filosofis tidak ada
konsep pengujian kebenaran lewat media verifikasi dan falsifikasi sebagaimana
lazim dilakukan dalam tradisi filsafat positivisme abad pencerahan. Sebab,
studi filosofis dalam hermeneutika ala Gadamer lebih menekankan pada masalah
interpretasi atau pemahaman (verstehen) daripada masalah kepastian (evidence)
dan masalah objektivitas kebenaran.[21]
E. Relevansi
Hermeneutika Gadamer dalam Ilmu-ilmu Keagamaan
Tawaran Gadamer dalam konsepsi hermeneutikanya adalah setiap usaha
dan bentuk penafsiran selalu dipergunakan secara signifikan oleh berbagai
prakonsepsi dan prasangka yang melekat pada penafsir, yakni dengan cara
mendekati untuk sekian asumsi dan probabilitas sehingga muncul sekian
kemungkinan wajah kebenaran.
Kunci ketika menyikapi terhadap sebuah teks tentunya bukan tubuh
mati, tetapi sebagi tubuh yang hidup, sehingga akan menghasilkan pemahaman yang
produktif sebagai al-qira’ah al-muntijah.
Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur’an, maka
persoalan dan tema yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur’an hadir di
tengah masyarakat, dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam
rangka menafsirkan realitas sosial. Dalam hal ini, teks al-Qur’an dilihat dari
tiga perspektif, yaitu perspektif teologi, filsafat linguistik, dan mistikal.
Namun demikian, dari sudut historis dan filsafat linguistik,
pandangan di atas menimbulkan problem tersendiri. Begitu kalam Tuhan telah
membumi dan sekarang malah menjelma ke dalam teks, maka al-Qur’an tidak bisa
mengelak untuk diperlakukan sebagai objek kajian hermeneutik, yang ditafsirkan
serta dikritisi sepanjang zaman.
Pandangan bahwa al-Qur’an berlaku dan cocok di sepanjang zaman dan
segala tempat lebih merupakan keyakinan teologis. Sementara itu dari segi
pemahaman dan pelaksanaan, klaim itu menuntut pembuktian, di samping pengakuan
kita akan adanya otonomi manusia dalam menentukan sikap dan pilihannya sendiri.
Di sinilah lingkaran hermeneutik muncul: yaitu, proses dialog dan interogasi
yang berlangsung antara al-Qur’an dan pembacanya.
Konsep prasangka yang dikenalkan Gadamer juga berlaku bagi subjek
yang membaca sebuah teks, dan bukan terbatas pada pengarangnya saja. Jika
seorang pembaca al-Qur’an telah didominasi begitu kuat oleh prasangka atau
kecenderungan tertentu, maka horizon al-Qur’an akan menciut mengikuti kehendak
pembaca. Padahal, dalam konsep Gadamer terhadap prasangka, kita harus kritis. Jangan-jangan
prasangka kita salah?
F.
Penutup
Dari pemaparan di atas, hermeneutika Gadamer cukup relevan
digunakan untuk kajian sosial dan keagamaan. Melalui sikap
reflektif-dialektis-kritis kita diarahkan oleh Gadamer secara arif untuk
membaca teks-teks sosial maupun keagamaan. Hasil yang diperoleh pun cukup
meyakinkan. Hermeneutika Gadamer memberikan masukan-masukan signifikan yang
tidak bisa dipandang remeh.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Bertens,
K. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 2002.
·
Faiz,
Fakhruddin. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005.
·
Gadamer,
Hans-Georg. Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad
Sahidah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
·
Hidayat,
Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta:
Paramadina, 1996.
·
Mulyono,
Edi. “Hermeneutika Linguistik-Dialektis Hans-Georg Gadamer”, dalam Nafisul
Atho’ dan Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental: dari Konfigurasi
Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
·
Muslih,
Mohammad. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2005.
·
Palmer,
Richard E. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery
dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
·
Ponsa.
“Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk Memaknai Teks
Kitab Suci yang Opresif”, dalam www.ponsa.wordpress.com
·
Sumaryono,
E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
[1] Fakhruddin
Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2005), hlm. 8-11.
[2] Richard
E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery
dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 255.
[3] Richard
E. Palmer, Hermeneutika, hlm. 255.
[4] Edi
Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis”, hlm. 142.
[5] Richard
E. Palmer, Hermeneutika, hlm. 257.
[6] E.
Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 71-77 dan 84. Bandingkan dengan Mohammad Muslih,
Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2005), hlm. 142-143. Penjelasan gamblang
Gadamer terhadap keempat faktor ini dapat dilihat dalam Hans-Georg Gadamer,
Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 10-48.
[7] Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina,
1996), hlm. 21-22.
[8] E.
Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 80.
[9] Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 141.
[10] K.
Bertens, Filsafat Barat, hlm. 265.
[11] Hans-Georg
Gadamer, Kebenaran dan Metode, hlm. 467.
[12] Edi
Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis”, hlm. 140.
[13] K.
Bertens, Filsafat Barat, hlm. 265-266.
[14] Ibid.,
hlm. 266.
[15] Ibid.,
hlm. 6-7.
[16] Ibid.,
hlm. 7.
[17] Ibid.
[18] Ibid.,
hlm. 8.
[19] Istilah
mudahnya adalah kontekstualisasi.
[20] Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hlm. 22. Bandingkan dengan Mohammad Muslih,
Filsafat Ilmu, hlm. 143.
[21] Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 141.
Post a Comment
Post a Comment