(Tela’ah Pemikiran Muhammad ‘Abduh mengenai Adam dalam Tafsir al-Manar)
Penafsiran tentang cerita Adam dalam perjalanan tafsir Islam
terus mengalami dinamika perkembangan. Golongan tafsir klasik lebih menitikberatkan permasalahan
adam kepada personal antara Adam, Malaikat dan Iblis akan tetapi penafsiran
modern yang digagas olehsalah satu tokoh modern dalam studi Islam Muhammad
Abduh menghindari diskusi personal tentang mereka, sebagai gantinya dia
berpendapat bahwa kisah itu sebenarnya berbicara masalah filsafat manusia dalam
pandangan al-Qur’an. Penafsirannya tampak dengan jelas menunjukkan model
Aristotelian khususnya tentang teori substansi dan aksidensi. Yang menjadi
substansi dalam kisah itu menurut ‘Abduh adalah manusia (yang direpresentsikan
dengan istilah Adam), sementara Iblis dan Malaikah adalah aksidensinya, mereka
sama sekali tidak dimengerti sebagai person lagi. Penafsiran yang begitu
rasional lainnya adalah seperti istilah Syajarah yang dia mengerti secara
simbolik sebagai kejahatan, bukan pohon secara fisik. Dengan model tafsir
seperti ini, dia beusaha menunjukkan karakter dasar-filosofis dari manusia,
sehingga dengan paham seperti ini al-Qur’an justru bisa dirujuk benar-benar
sebagai hidayah. Dari sudut pandang tafsirnya yang mempertimbangkan situasi dan
konteks zamannya sendiri, corak tafsirnya menunjukkan gaya hermeneutika filosofis Gadamer.
1.
Pendahuluan
Kisah Adam adalah kisah yang unik dan primordial. Unik karena
berbeda dengan kisah nabi-nabi lainnya yang masih dimungkinkan untuk dilacak
kebenarannya sebagai fakta historis, ia sulit, bahkan mustahil, untuk
dibuktikan sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi secara historis. Ia hanya
merupakan kredo historis semata, kejadiannya sebatas diyakini dan tidak untuk
dibuktikan. Oleh karena itu, sebagian mufassir menganggapnya sebagai benar
terjadi dan sebagian yang lain menganggapnya hanya sebagai kisah simbolik.
Primordial karena ia sering diyakini sebagai asal-usul manusia ketika
pertanyaan siapa sebenarnya ‚bapak tunggal‛ manusia diajukan.
Tidak mengherankan jika diasumsikan bahwa penggalian makna
eksistensial manusia dalam tradisi agama semitik selalu menyinggung atau tidak
lepas dari pembahasan tentang kisah Adam. Dalam tradisi ini (Yahudi, Kristen,
dan Islam), kisah Adam selalu dimengerti secara konklusif sebagai kejatuhan
Adam dari surga setelah melakukan pelanggaran perintah Tuhan, akibat bujukan
syaitan.[1]
‚Drama kosmis‛ kejatuhan ini melibatkan Tuhan, Malaikah, Iblis, dan Adam di
suatu lokus primordial yang disebut jannah.
Dalam merespon kisah tersebut, tafsir-tafsir klasik
terokupasi dalam perbincangan tentang pengertian Malaikah, Iblis, Adam dan Zauj Adam sebagai person, dan dalam keyakinan
historis-teologis bahwa kisah itu adalah benar-benar terjadi. Bahkan di
dalamnya, ketika berbicara masalah zaujah, sebagian dari mereka menyebut bahwa
yang dimaksud dengannya adalah Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam.[2]
Interpretasi-interpretasi seperti itu justru terkesan
mengaburkan pesan fundamental yang diemban oleh kisah Adam tersebut. Beberapa
versi baru penafsiran kisah ini muncul dalam tafsir modern. Di antaranya adalah
penafsiran ‘Abduh dalam Tafsir al-Manar, penafsiran Muhammad Iqbal dalam
bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam dan yang paling
kontemporer, penafsiran Riffat Hasan.
Ketiga tokoh tersebut menangkap pesan yang sama dari kisah
tersebut, yakni, bahwa kisah itu berbicara masalah manusia secara umum.
Ketiganya mengesampingkan apakah kisah itu sebagai peristiwa historis yang
benar-benar terjadi atau tidak. Ketiganya, saya pikir, sama-sama mendudukkan
al-Qur’an sebagai sumber hidayah, petunjuk apa yang bisa diambil dari kisah
Adam tersebut untuk manusia secara umum. ‘Abduh dan Iqbal secara umum sama
dalam memahami kisah tersebut. Keduanya lebih berbicara filsafat manusia
daripada sekedar pemahaman teologis. Sedangkan Riffat Hassan lebih mengacu pada
penafsiran gender atas kisah itu.
Tulisan ini akan membahas penafsiran ‘Abduh yang tertuang
dalam kita
Tafsir al-Manar tentang kisah Adam. Kedua tokoh tersebut di
atas akan saya jadikan wacana dialogis dengan interpretasinya. Secara
metodologis, langkah awal adalah mendeskripsikan penafsiran ‘Abduh mengenai
kisah tersebut yang diperkaya secara komparatif dengan kedua tokoh tersebut dan
tafsir-tafsir sebelumnya. Langkah selanjutnya berusaha menganalisis model
penafsiran ‘Abduh dalam perspektif filsafat dan hermeneutika.
2. Sisi Psikologi Masa ‘Abduh
Muhammad ‘Abduh yang lahir di Mesir pada tahun 1849 dan
meninggal pada tahun 1905[3]
adalah pribadi dan pembaharu besar muslim yang pernah dimiliki oleh dunia
Islam. Keadaan rumah tangga keluarga sederhana bapaknya yang didiami oleh dua
isteri dan anak-anak berlainan ibu membawa pengaruh bagi pikiran ‘Abduh tentang
perbaikan masyarakat.[4]
‘Abduh terkenal sebagai seorang yang cerdas dan kritis. Ia
telah hafal alQur’an sejak usia enam tahun. Atas inisitif ayahnya ia belajar
ilmu-ilmu agama di
Tanta. Dari Tanta, ia pada Pebruari 1866 menuju ke Kairo
untuk belajar di alAzhar. Kekritisan ‘Abduh membawa kepada kesimpulan bahwa
sistem dan kinerja pengajaran di al-Azhar tidak dinamis karena cenderung
reproduksi-statis daripada produksi-aktif. Dia mengatakan tentang kritik
pengajaran tersebut: ‚kepada para mahaswiswa hanya dilontarkan
pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha
penelitian, perbandingan, dan pentarjihan.‛[5]
Namun, di perguruan tinggi ini, melalui perkenalannya dengan
Syaikh Hasan at-Tawil, ia mendapat pengajaran dan mengenal dengan baik filsafat
Ibnu Sina dan logika Aristoteles, yang tidak diajarkan di al-Azhar.
Keprihatinannya terhadap perguruan tinggi ini terobati ketika ia bertemu dengan
pribadi besar Sayyid Jamaluddin al-Afgani pada tahun 1872. Ia kemudian menjadi
muridnya. Karena pengaruh gurunya, ia terjun ke dunia pers dan ia pernah
ditunjuk sebagai redaktur surat kabar al-Waqiyah ar-Rasmiyyah.[6]
Stelah pertemuannya dengan gurunya tersebut, muncullah ‘Abduh yang sebenarnya,
cerdas, produktif, dan kritis. Ia banyak menulis, di antaranya Risalah
al-’Aridat (1873) dan Hasyiah Syarah al-
Jalal ad-Dawwani li al-’Aqaid al-Adudiyah (1875). Dalam
karangannya ini ‘Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan
mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf, serta
mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.7
Bersama gurunya pula ia membangkitkan umat Islam untuk
menghadapi koloni-koloni asing di tanah airnya, dan menggugah semangat mereka
untuk tampil sejajar dengan bangsa lain di dunia. Untuk maksud ini, ‘Abduh
menitikberatkan seruannya pada beberapa hal, seperti dituturkan oleh ‘Abd
ar-Razaq, yaitu membebaskan pikiran umat dari belenggu taqlid, sehingga tidak
taken for granted terhadap suatu pendapat tanpa argumentasi yang masuk akal,
menjelaskan masalah agama sejalan dengan sains karena kebenaran agama tidak
bertentangan dengan kebenaran akal, dan memahami agama dengan mendudukkan
al-Qur’an sebagai sumber hidayah.8
Karena situasi politik, Jamaluddin al-Afgani pergi ke Paris
yang kemudian disusul ‘Abduh. Di kota inilah, keduanya menerbitkan surat kabar
al-‛Urwah alWus|qa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam dan menentang
penjajahan Barat, khususnya Inggris. Dari kiprahnya di surat kabar ini, dia
pada 1884 melawat ke Inggris untuk berdiplomasi dengan beberapa tokoh di negeri
itu yang simpati kepada Mesir. Kemudian pada 1885 ia meninggalkan Paris menuju
ke Beirut melakukan kegiatan mengajar dan melanjutkan aktivitas menulisnya. Di
Beirut ini pula, dia menghasilkan banyak tulisan, di antaranya adalah Risalah
Tauhid dan karya terjemahan al-Radd ‘ala al-Dahriyyin buah pena Jamal al-Din
al-Afgani dari bahasa Persia.[7]
Demikian secara ringkas di antara aktivitas ‘Abduh merespon
lingkungannya. Sisi psikologi masa ‘Abduh adalah lingkungan negaranya yang
terjajah di mana ia menemukan kejumudan berpikir dari umat Islam, di satu
pihak, dan sisi negatif negara asing yang menjajah, di lain pihak. Namun,
lawatannya ke Eropa telah menyadarkannya akan sisi lain dari negara asing yang
positif, yaitu mobilisasi peradaban dan semangat ilmiah. Aspek positif inilah
yang menyemangatinya untuk membahasakan kembali pesan-pesan al-Qur’an agar
kepasifan umat Islam bisa dirubahnya menjadi umat yang aktif-dinamis. Inilah
jiwa masa ‘Abduh. Rasionalitasnya adalah refleksi dari semangatnya
menginspirasi umat untuk bergerak.
Masyarakat tempat ‘Abduh tinggal dan besar yang disentuh oleh
perkembangan-perkembangan mendasar di Eropa itu digambarkan oleh Sayyid Qutb sebagai
berikut:
Suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu
ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syariat Allah atau
mengistimbatkan hukum-hukum, karena mereka telah merasa berkecukupan dengan
hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal
(jumud) serta berlandaskan khurafat. Sementara itu di Eropa hidup suatu
masyarakat yang mendewakan rasio, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah
yang sangat mengagumkan ketika itu, ditambah lagi dengan kecaman-kecaman tajam
yang dilontarkan oleh orientalis terhadap ajaran-ajaran Islam.[8]
3. Deskripsi Kisah Adam dalam Surah al-Baqarah
Tulisan ini mengambil surah al-Baqarah karena ‘Abduh hanya
sempat menafsiri al-Qur’an sampai surah an-Nisa’ ayat 129 yang disampaikannya
dalam bentuk ceramah di Masjid al-Azhar Kairo, yang kemudian ditulis melalui
konsultasi oleh Rasyid Rida. Ada tiga surah lainnya yang menarasikan kisah Adam
selain surah al-Baqarah, yakni al-’Araf: 11-27, al-Isra’: 61-65, dan Taha:
115-127. Kisah
Adam dalam surah al-Baqarah dinarasikan seperti di bawah ini
:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30)
وَعَلَّمَ آَدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ
فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31) قَالُوا
سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ
الْحَكِيمُ (32) قَالَ يَا آَدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا
أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ
(33) وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا
إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (34) وَقُلْنَا يَا
آَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ
شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (35)
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ
وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ
مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ (36) فَتَلَقَّى آَدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ
فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (37) قُلْنَا
اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ
هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (38)
Terjemah:
30.Ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikah itu: ‚Aku
hendak menjadikan di bumi seorang khalifah,‛ mereka berkata: ‚Akankah Engkau
menjadikan seseorang yang akan membuat kerusakan di sana dan menumpahkan darah?
sedang kami bertasbih dengan pujian kepadaMu dan mengkuduskan-Mu?‛ Ia bersabda,
‚Aku tahu apa yang tidak kalian tahu.‛
31.Lalu Dia pun mengajarkan kepada Adam nama-nama kesemuanya,
kemudian mengajukan mereka kepada para malaikat dengan berkata: ‚Sebutkanlah
kepada-Ku nama-nama semua itu, jika kau memang benar.‛
32.Mereka menyahut, ‚Mahasuci Engkau, tiada kiranya ilmu kami
kecuali yang telah Engkau ajarkan kepada kami; seseungguhnya Engkaulah Yang
Mahatahu dan Mahabijaksana.
33.Dia berfirman : ‚Hai Adam, beritahukan kepada mereka
nama-nama mereka itu.‛ Maka setelah diberitahukan kepada mereka nama-nama
tersebut, Ia berfirman: ‚Bukankah sudah Aku firmankan kepada kamu bahwa Aku
mengetahui rahasia seluruh langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kamu
nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.‛
34.Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat itu:
‚Sujudlah kamu kepada Adam‛, maka bersujudlah mereka itu kecuali Iblis, karena
angkuh dan sombong, dia termasuk golongan Kafir.
35.Kami berfirman: ‚Hai Adam, tinggallah engkau bersama
Zauj-mu di dalam Jannah, makanlah darinya dengan puas sekehendakmu, hanya saja
jangan kalian dekati syajarah ini sehingga menjadi orang-orang yang aniaya.‛
36.Lalu syaitan menggelincirkan mereka darinya, mengeluarkan
mereka itu dari tempat yang tadinya mereka berada. Kami berfirman: ‚Turunlah
kamu semua, sebagian menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Sedang bagi kalian
di muka bumi tempat menetap dan kesenangan sampai suatu saat.
37.Lalu Adam pun menerima dari Tuhannya beberapa kalimat,
lalu Dia pun mengampuninya. Sesungguhnya ia itu Pemberi Taubat lagi Maha
penyayang.
38.Kami berfirman: ‚Turunlah kamu semua darinya, kemudian
kapan samapi kepada kamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikuti
petunjuk-Ku, tiada kekhawatiran menimpa mereka dan tidak pula bersedih hati.‛[9]
Kisah Adam tersebut dinarasikan pada masa-masa akhir di
Mekkah. Ke delapan ayat itu telah menimbulkan banyak pertanyaan dan
kontroversi: mengapa Allah memberitahukan rencana-Nya kepada para malaikat
untuk menciptakan khalifah di bumi; bagaimana para malaikat tahu bahwa
keturunan Adam akan membuat kerusakan; mengapa mereka boleh mempertanyakan
kehendak dan kebijaksanaan Allah; bagaimanakah khalifah Allah itu diciptakan,
dan mengapa dia begitu cepat melanggar aturan Allah untuk tidak mendekati
syajarah; siapakah syaitan atau Iblis itu dan bagaimana dia bisa masuk ke dalam
Jannah itu dan menjerumuskan Adam dan Zauj-nya.[10]
Al-Qur’an memang berbicara masalah-masalah seperti penciptaan
Adam dan Zauj-nya, sujudnya para malaikat dan membangkangnya Iblis, pengusiran
Adam dan Zauj-nya karena melanggar perintah Allah dan seterusnya, tetapi itu
sangat singkat dan al-Qur’an masih lebih banyak meninggalkan hal-hal yang tak
terjawab. Banyaknya teka-teki inilah yang menyebabkan sampai sekarang
interpretasi kisah Adam ini justru semakin rumit daripada menemukan ‚benang
merah‛. Dalam problematika ini, ‘Abduh, seperti yang akan kita lihat, tidak
ingin bertele-tele terperangkap dalam diskusi mengenai persoalan-persoalan
seperti yang dipaparkan oleh Mahmud Ayub tersebut. Tafsir-tafsir klasik memang
lebih banyak terjebak ke dalam diskusi mengenai persoalan-persoalan di atas
yang dihindari ‘Abduh. ‘Abduh tampaknya lebih cenderung berusaha mencari celah
lain untuk menangkap apa sebenarnya pesan fundamental yang disampaikan Allah lewat
kisah Adam ini, sehingga manusia dapat mengambil hidayah darinya.
4. Interpretasi ‘Abduh: Karakter Filosofis Manusia dari Kisah Adam
Tafsir kisah Adam ‘Abduh menunjukkan suatu pergeseran
interpretatif dari anggapan kisah tersebut sebagai suatu peristiwa yang
benar-benar terjadi secara historis berubah menjadi anggapan bahwa ia hanyalah
kisah simbolik semata. ‘Abduh memang tidak secara eksplisit menyebutnya
simbolik, tetapi dari kandungan interpretasinya kita bisa menyimpulkan
demikian. Berbeda dengan mufassir pendahulunya yang sibuk mencari jawaban siapa
sebenarnya secara person Iblis dan malaikat itu, ‘Abduh lebih suka memaknai
keduanya sebagai sifat-sifat dasar atau ruh-ruh yang menjadi jati diri manusia.
‘Abduh tidak pernah menyebut Adam sebagai nama person tetapi lebih menyebutnya
sebagai manusia secara umum. Berikut ini kita akan lihat bagaimana
interpretasinya sambil mendialogkannya dengan interpreter-interpreter lainnya.
Bagi ‘Abduh dalam kisah Adam itu telah ditetapkan suatu
tamsil oleh Tuhan mengenai pesan tertentu yang lebih mendasar dan hakiki.
Taqrir at-tamsil dari kisah ini adalah bahwa Allah hendak menjadikan manusia
sebagai khalifah di muka bumi ini. Ayat 30 dari surah al-Baqarah yang berbicara
tentang pemberitahuan Allah kepada para malaikat tentang rencana penciptaan
khalifah dimengerti oleh ‘Abduh sebagai ‘ibarah tentang adanya suatu tempat
yang namanya bumi dengan segala hukum alamnya yang menjadi ruh-ruhnya dan
keteraturan-keteraturan yang ditimbulkan dari mereka sehingga mengejawantah
berbagai macam makhluk yang telah disiapkan oleh Allah untuk dihuni oleh suatu
makhluk, yaitu manusia, sebagai pengelolanya atau sebagai
aktor-aktif-kosmisnya, sehingga tercapai kesempurnaan hidup di dunia ini.[11]
Pertanyaan malaikat kepada Allah tentang sifat khalifah yang
dapat merusak dan menumpahkan darah di bumi adalah gambaran tentang potensi
dalam diri manusia untuk melakukan hal-hal tersebut. Potensi ini
mengindikasikan bahwa manusia dalam berbuat mendasarkan diri pada ikhtiyar-nya
atau pilihan-pilihan bebasnya (free will). Potensi diri ini tidak bertentangan
dengan arti kekhalifahan, melainkan justru merupakan kualitas-kualitasnya.14
Pemberitahuan Allah kepada Adam mengenai nama-nama segala
sesuatu (ayat 31) mengandung penjelasan tentang kemampuan manusia secara
potensial untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dalam alam materi ini, serta
kemampuannya untuk mengolah dan mengambil manfaatnya.[12] Ini
berarti bahwa manusia dalam menjalani hidupnya mengandalkan
konstruksi-konstruksi ilmu yang dibangunnya karena potensinya mengenal dan
mengidentifisir sifat-sifat dasar dari segala sesuatu yang ada dalam kehidupan
bumi ini.
Pengajuan pertanyaan-pertanyaan tentang asma’a kullaha kepada
para malaikat dan ketiadaan jawaban mereka (ayat 31 dan 32) menunjukkan
keterbatasan ruh-ruh atau hukum-hukum alam yang mengatur alam ini.[13]
Dari interpretasi ini tampak bahwa ‘Abduh menafsirkan malaikat dalam relasinya
dengan kehidupan bumi ini dengan natural power atau hukum-hukum alam. Karena ia
menyebutnya ruh-ruh yang mengatur alam ini.
Perintah Allah kepada Adam untuk memberitahuakan kunci
jawaban mengenai asma’a kullaha itu (ayat 33) menunjukkan bahwa hanya
manusialah yang diberi potensi oleh Allah sebagai aktor-aktif-kosmis di muka
bumi ini. Sujudnya para malaikat kepada manusia (ayat 34) adalah ‘ibarah
tentang taskhir hazihi alarwah wa al-quwa kepada manusia supaya ia dapat
memanfaatkan mereka demi mengembangkan kehidupan melalui pengetahuan tentang
sunnah Allah.[14]
Sampai di sini, ‘Abduh memahami malaikah dalam relasinya
dengan bumi atau alam materi sebagai hukum alam. Muncul pertanyaan, lalu
bagaimana arti malaikah dalam relasi internalnya dengan manusia? Seperti
disitir Quraush Shihab bahwa ‘Abduh tidak hanya menafsiri malaikah dengan
‚hukum alam‛ tetapi juga ‚bisikan hati nurani‛.18 Pengertian yang
kedua inilah yang barangkali merujuk pada relasi metaforis malaikah dengan
manusia. ‘Abduh sendiri berargumentasi bahwa apabila manusia mengamati dirinya
sendiri maka di dalam dirinya ia selalu merasakan pergumulan psikis antara
mengikuti bisikan-bisikan untuk berbuat baik dan buruk. Inilah yang disebut
dengan ‚jiwa‛ manusia. Oleh karenanya ia menamakan bisikan-bisikan nurani itu
dengan malaikah.[15]
Kemudian mengenai keengganan Iblis untuk sujud (ayat 34)
mengimplikasikan kelemahan dan ketidakmampuan manusia untuk menundukkan ruh
asy-syarr atau menghilangkan bisikan-bisikan kotor yang mengantar kepada
perselisihan, perpecahan, agresi, dan permusuhan.[16]
Dari interpretasi ini jelas bahwa dalam diri manusia ada potensi malaikah
(bisikan-bisikan baik yang berarti sepadan dengan mengikuti aturan-aturan yang
telah ditetapkan atau tidak menyalahi sunnah Allah) dan potensi Iblis
(bisikan-bisikan kotor untuk berbuat jahat, atau menyalahi aturan-aturan
kehidupan).
Dari interpretasi ‘Abduh tentang malaikah dan Iblis dalam
kisah Adam ini, kita bisa menyimpulkan bahwa tafsir ‘Abduh bergerak bebas
meninggalkan tradisi klasik penafsiran yang selalu lebih fall-captive ke dalam
perdebatan mengenai person malaikah dan Iblis. Berbeda dengan tradisi klasik,
‘Abduh lebih menganggap keduanya mempunyai makna kiasan metaforis daripada
person-person.
Sebagai contoh, kita ambil bagaimana tafsir at-Tabari. Dia
berpendapat bahwa Iblis adalah salah satu dari kelompok malaikah yang disebut
al-kinu yang diciptakan dari api. Iblis juga disebut al-haris, dan dia
merupakan salah satu penjaga surga. Malaikah lainnya diciptakan dari cahaya.
Para jin diciptakan dari api yang tak berasap dan manusia dari tanah. Para jin
adalah penghuni bumi yang pertama; merekalah yang menyebabkan kerusakan dan
pertumpahan darah. Setelah
Ibl;is berhasil mengalahkan mereka, dia mulai takabur. Dia
berkata kepada dirinya, ‚aku telah melakukan sesuatu yang tak dapat dilakukan
oleh siapapun.‛ Tetapi Allah tahu isi hatinya, sementara malaikah lainnya tidak
tahu. Karena itu, Allah mengatakan kepada mereka, ‚Aku hendak menjadikan khalifah
di muka bumi‛.[17]
Dari interpretasi ini dapat dimengerti bahwa Allah tidak berfirman kepada
seluruh malaikat melainkan hanya kepada malaikat yang sedang bersama Iblis.
Jika kita buka tafsir klasik lainnya, kita akan menemukan
interpretasi yang berkutat pada persoalan yang sama, meskipun mereka berbeda
paham dengan atTabari mengenai siapa Iblis dan malaikah tetapi pada dasarnya
mereka sama, yaitu sama-sama berdebat mengenai Iblis dan malaikah sebagai
person. Penafsiran model at-Tabari itu justru menggiring kita kepada
kebingungan-kebingungan dan cenderung tidak bisa menangkap pesan fundamental
dari kisah Adam tersebut. Dari problematika ini, kita bisa menghargai usaha
interpretasi metaforis ‘Abduh.
Mengenai perintah Allah kepada Adam dan Zauj-nya untuk
mendiami
Jannah dan larangan untuk tidak mendekati syajarah ditafsiri
‘Abduh secara simbolik. Jannah menurut ‘Abduh bukanlah tempat seperti
diperdebatkan dalam tafsir klasik tetapi merupakan lambang kebahagiaan dan
kenikmatan, sedangkan syajarah adalah lambang asy-syarr dan mukhalafah, atau
kejahatan dan perselisihan.[18]
‘Abduh tidak menyebut bahwa Zauj adalah Hawa yang dicipta dari tulang rusuk
Adam yang paling lemah. Dia hanya menafsiri bahwa manusia adalah berpasangan,
ada laki-laki dan ada perempuan, ada suami dan isteri, layaknya kenyataan yang
kita temui dalam kehidupan manusia.[19]
Riffat Hassan ketika mengomentari Zauj, dia membawanya kepada
issu gender dan menegaskan bahwa Zauj itu tidak dicipta dari tulang rusuk Adam
yang seolah menunjukkan inferioritas perempuan dalam visi al-Qur’an. Justru
Injil, menurutnya, yang dengan eksplisit menyebut bahwa Eve (istilah Injil
untuk Hawa) dicipta dari Adam’s rib dan bahwa ia inferior dibanding Adam.24
Dalam penelitian dari segi bahasa, dia menunjukkan bahwa kata Zauj itu adalah
maskulin. Persamaan kata Inggrisnya yang paling akurat adalah ‚mate‛. Pada
akhirnya dia menyimpulkan bahwa Adam tidak secara pasti ‚man‛ dan Zauj tidak
secara pasti ‚woman‛.[20]
Kemudian dia sampai pada pernyataan yang sama dengan ‘Abduh bahwa ‚Adam and
Zauj must have been a pair‛,26 artinya manusia itu layaknya
ciptaan-ciptaan lainnya yang berpasangan harus dimengerti sebagai hidup
berpasangan, laki-laki dan perempuan. Jadi, Adam dan Zauj menurut versi
alQur’an tidak berbicara masalah superioritas laki-laki atas perempuan.
Dalam tulisannya ini, Riffat Hassan juga mengupas pandangan
tafsir-tafsir klasik dan modern tentang kisah Adam dalam Bible. Dalam tradisi
tafsir Injil klasik sama dengan tradisi penafsiran klasik dalam Islam, mereka
juga terjebak dalam perdebatan panjang mengenai person para tokoh dalam kisah
tersebut. Dalam tradisi the deutero-Pauline, misalnya, ditemukan bahwa Adam dan
Hawa benarbenar memakan ‚buah terlarang‛. Dalam konteks gender, mereka kuat
memegangi pendapat bahwa Eve dicipta dari tulang rusuk Adam yang membawa kepada
pengertian ‚negative non-egalitarian attitude toward women‛. Sikap-sikap
seperti ini ditemukan dalam interpreter-interpreter seperti St. John
Chrysostome, Ambrosiaster, dan khusunya pada tulisan-tulisan St. Augustine.[21]
Kembali kepada tafsir ‘Abduh. Mengikuti bisikan kotor untuk
memakan syajarah berarti jatuhnya manusia ke dalam kerugian, kerusakan dan lain
sebagainya, atau berarti hilangnya kebahagiaan dan kenikmatan. Untuk bisa
kembali kepada keadaan-keadaan positif, manusia diberi ilham (kalimat) untuk
bertaubat, meninggalkan kesalahan yang pernah ia perbuat dan kembali kepada
bisikan-bisikan dan obsesi-obsesi mulia dan positif. Untuk ini Allah telah
memberikan hidayah-Nya agar manusia bisa mengikuti jalan Jannah-Nya.[22]
5. Beberapa Catatan Kritis
Membaca interpretasi ‘Abduh atas kisah Adam di atas membawa
kita kepada konklusi bahwa dia menangkap pesan fundamental universal dari kisah
itu, yaitu bahwa melalui kisah tersebut al-Qur’an berbicara masalah potensi
dasar internal dari manusia. Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai potensi dasar internal yang sama. Dia berpendapat bahwa kisah Adam
lebih berbicara masalah human essence.
Kesimpulan ‘Abduh, entah telah memberi pengaruh atau tidak,
tidak jauh berbeda dengan pandangan Iqbal dan Riffat Hassan. Iqbal dalam The
Reconstruction mengatakan :
Indeed, in the verses which deal with the origin of man as a
living being, the Qur’an uses the words ‚bashar‛, or ‚insan‛, not ‚Adam‛, which
it reserves for man in his capacity of God’s vicegerent on earth. The purpose
of the Qur’an in further secured by the omission of proper names mentioned
(continued) in the Biblical narration -- Adam and Eve. The word ‚Adam‛ is
retained and used more as a concept than as the name of a concrete human
individual.[23]
Terpengaruh oleh Iqbal, Riffat Hassan terkesan lebih
mengeksplisitkan kutipan Iqbal di atas. Dia mengatakan :
We may conclude that the terms ‚bashar‛ and ‚insan‛ refer to
all human beings, without special specification, but the term Adam is used much
more selectively. It refers to human beings only as representative of a
selfconscious, knowledgable and morally autonomous humanity.[24]
Inilah versi modern dari interpretasi tentang kisah Adam
dalam dunia Islam.
Di Barat atau tradisi Bible juga ditemukan beberapa
kecenderungan atau versi baru mengenai interpretasi kisah ini. Di antaranya,
kisah kejatuhan Adam dimaknai sebagai asal-usul eksistensi agama. Karena
sebenarnya waktu Adam masih ada di surga, dia tidak mengenal atau mengetahui
sedikit pun tentang pengalaman agama. Pemaknaan ini seperti dikatakan oleh
Eliade :
Religion is indeed the result of ‚the fall‛, ‚the
forgetting‛, the loss of the state of primordial perfection. In paradise, Adam
knew nothing of religious experience nor of theology, that is, the doctrine of
God. Before ‚sin‛, there was no religion.31
Nurcholis Madjid, sama dengan Eliade, berasumsi bahwa
kejatuhan Adam menjadi sebab diturunkannya kalimat atau petunjuk hidup yang
benar yang diturunkan kepada mereka yang dapat dipandang sebagai bentuk pertama
‚ajaran ketundukan‛ (Arab, din, agama).32
Mencermati logika ‘Abduh dalam menginterpretasikan kisah Adam
di atas tampak dengan jelas pengaruh logika Aristoteles.33 Tidak
heran jika interpretasinya menonjolkan abstraksi-abstraksi rasional yang begitu
bebas. Aristoteles mengajarkan pembedaan antara substansi dan aksidensi dalam
memahami suatu realitas. Substansi mengacu pada benda itu sendiri atau thing in
itself, sedangkan aksidensi mengacu pada kualitas-kualitas atau sifat-sifat
yang mendefinisikan thing in itself
tersebut. Misalnya, melihat kucing, maka kita sebenarnya hanya bisa memahami
kucing dari kualitas-kualitas yang melekat pada kucing itu sendiri seperti
mengeong, berkaki empat, berbulu, berkumis, dan lain sebagainya, sementara
kucing itu sendiri sebagai independent thing tidak mungkin untuk bisa
diverbalkan in toto, kecuali secara demonstratif kita tunjuk.
Di antara tiga kata kunci dari kisah Adam adalah manusia,
malaikat, dan
Iblis. Dalam interpretasi ‘Abduh tampak jelas bahwa manusia
adalah substansinya, sementara malaikat dan Iblis adalah aksidensialnya, atau
kualitas-kualitas yang melekat dan inheren dalam diri manusia. Dengan
mengatakan bahwa malaikat dan
31 Seperti dikutip Carl Olson, ‚Theology of Nostalgia:
Reflections on Theological Aspects of Eliade’s Work,‛ dalam Nvmen International
Review for History of Religions, vol. xxxvi Fasc. 1 June 1989, 100.
32
Nurcholish Madjid, Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi
Bumi (Suatu
Pendekatan Sistematis terhadap Konsep Antropologis Islam),
Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa dalam Falsafah dan Kalam pada Fak.
Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998: 14. 33
Pendapat ini dipegangi atas dasar bahwa ‘Abduh terekam
sebagai pemikir yang menguasai logika Aristoteles. Dia mendapatkan pengajaran
logika Aristoteles secara informal dari Syaikh Hasan at-Tawil sewaktu ia masih
studi di al-Azhar, Kairo. Logika Aristorteles terkenal dengan ten
categories-nya yang sebenarnya secara prinsip berusaha memilahkan antara
‚substansi‛ dan ‚aksidensi‛ ketika memahami suatu realitas tertentu. Inilah
yang diaplikasikan ‘Abduh dalam interpretasinya terhadap kisah Adam.
Iblis adalah, dalam relasinya dengan manusia, bisikan-bisikan
qalbu positif dan negatif, ‘Abduh ingin menegaskan bahwa manusia adalah diri
yang secara moral memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk, karena
ia berkemampuan mengetahui masalah kehidupan dan memecahkannya melalui
formulasi ilmu. Berarti manusia adalah diri yang otonom, yang menggunakan
ikhtiyar-nya dalam berbuat. Dengan model berpikir seperti ini, ‘Abduh
menjadikan kisah Adam sebagai medium lewat mana kita bisa menangkap pesan Tuhan
yang hakiki mengenai karakter terdalam-fundamental dari manusia. Penafsiran kisah
Adam ‘Abduh ini konsisten dengan pendiriannya mendudukkan al-Qur’an sebagai
sumber hidayah yang bisa memproyeksikan umat Islam ke depan menyongsong masa
depannya.
Keberanian ‘Abduh melakukan penafsiran secara majaz dan
tamsil terhadap beberapa hakikat dari kebenaran syara’ di atas, bahkan
pengertian yang dikemukakannya itu tidak pernah dikenal bangsa ‘Arab sendiri
pada masa turunnya wahyu,[25]
menunjukkan prinsipnya bahwa wahyu dan akal adalah sejalan. Model rasionalisasi
‘Abduh ini pernah dipraktekkan oleh ulama Mu’tazilah -- karena alasan ini
pulalah ‘Abduh sering disebut sebagai neo-Mu’tazilah. Namun seperti ditegaskan
oleh Syihatah, motif yang melatarbelakangi ‘Abduh dalam hal ini sama sekali
bukan untuk mendukung suatu mazhab tertentu, melainkan sekedar untuk
mendekatkan Islam dan ajaran-ajarannya kepada kalangan intelektual masa kini
yang hanya bisa menerima dan meyakini apa yang dapat dicerna oleh akal mereka.[26]
Terlepas dari pro dan kontra dilihat dari segi semiotika atau
ilmu perlambang, ‘Abduh melihat bahwa kisah Adam sebenarnya merupakan tanda
bagi makna petanda, yaitu karakter dasar
manusia yang secara moral otonom karena potensinya menjatuhkan pilihan
bebasnya. Beberapa pemikir Barat mutaakhir juga mengakui bahwa al-Qur’an penuh
dengan tanda-tanda. Salah satu yang mengatakan hal ini adalah Karen Amstrong.
Ia mengatakan bahwa al-Qur’an banyak menggunakan perumpamaan (masal) untuk
menjelaskan suatu kenyataan ultim, karena kenyataan itu sulit untuk
diterangkan, sehingga perlu diverbalkan dalam bentuk simbol-simbol.[27]
Dari pembahasan ini kita bisa menggarisbawahi perbedaan cara
pandang terhadap kisah Adam antara ‘Abduh dan interpreter-interpreter
sebelumnya. ‘Abduh memandang kisah Adam sebagai wacana utuh mangenai diskursus
eksistensi manusia, sedangkan interpreter-interpreter pendahulunya memilah
kisah Adam ke dalam segmen-segmen pembahasan seperti diskusi mengenai Iblis,
malaikah, Adam, dan seterusnya. Membaca penafsiran ‘Abduh terlepas dari
abstraksi rasionalnya yang bebas tentang kisah itu membuat kita lebih mudah
mengambil petunjuk yang relevan dengan realitas kehidupan kita, bagaimana kita
harus merespon kehidupan di depan mata kita. Sebaliknya membaca penafsiran para
mufassir pendahulunya membawa kita kepada pengandaian-pengandaian dalam bayangan
kita mengenai dunia jin, iblis, malaikat yang begitu abstrak dan tak terkait
langsung dengan masalah-masalah konkret kehidupan yang kita hadapi.
Interpretasi ‘Abduh dalam Perspektif Hermeneutika
Dalam tradisi hermeneutika dikenal dua model, yaitu hermeneutika
yang past-oriented dan future-oriented. Yang pertama sering disebut
hermeneutika metodologisme dengan semangat reproduksi makna teks dan yang kedua
disebut hermeneutika filosofis yang fokusnya pada produksi makna. Yang pertama
diwakili oleh Dilthey dan Schleiermacher yang mengutamakan rekonstruksi makna
teks dengan mengakumulasi wawasan grammatical side of interpretation dan
wawasan tentang karakter author dengan memakai penelitian mengenai
deatil-detail kehidupannya dan periode di mana ia hidup (psychological side of
interpretation), sehingga makna yang dimaksudkan author bisa digali seobjektif
mungkin. Dengan demikian, hermeneutika jenis ini menganggap miliu here and now
interpreter atau knower sebagai sumber negatif.[28]
Yang kedua tokoh besarnya adalah Hans-Georg Gadamer yang mengenalkan
hermeneutika dengan pengertian
berkebalikan dengan hermeneutika yang pertama. Bagi Gadamer justru
prejudices yang lekat dalam tradisi here and now dari interpreter menjadi
sumber positif dan tidak perlu merekonstruksi secara objektif makna teks masa
lampau, karena masa lampau sudah tak cocok lagi dengan masa kita sekarang. Teks
dianggap sumber untuk dimaknai secara produktif melalui ‚pintu awalnya‛ tradisi
yang kita diami, dan produksi makna baru yang sesuai dengan ‚atmosfir‛ zaman
kita dan antisipasi masa depan adalah ciri hermeneutika filosofis Gadamer.[29]
Melihat penafsiran ‘Abduh tentang kisah Adam kita bisa
menyimpulkan bahwa ‘Abduh sebenarnya memiliki semangat hermeneutika filosofis.
Karena ia mengesampingkan fakta objektif kisah Adam itu dan condong
mementingkan pencarian makna baru yang tersembunyi di balik kisah tersebut,
bukan seperti tradisi reproduksi atau rekonstruksi interpreter terdahulu.
Produksi makna ini dimaksudkan supaya kisah itu dapat dimengerti oleh para
pembaca modern dan bisa dimengerti sesuai ‚atmosfir‛ kesekarangan dan
kedisinian kita. Pemaknaan metaforis dari malaikat yang secara klasik diartikan
suatu makhluk konkret menjadi natural power, dari Iblis yang secara klasik
dimaknai sebagai suatu makhluk konkret menjadi sifat potensial manusia untuk
berbuat jahat dan seterusnya adalah suatu pemaknaan yang sama sekali baru
bahkan dianggap kontroversial, tetapi justru pemaknaan seperti inilah, menurut
saya, yang pas untuk era kontemporer seperti sekarang ini. Pemaknaan ini lebih
memberi kekuatan antisipatif merespon masa depan daripada masa lampau.
6. Kesimpulan
Muhammad ‘Abduh dalam menafsirkan kisah Adam lebih berbicara
masalah filsafat manusia daripada kisahnya itu sendiri sebagai suatu fakta
historis. Bahkan dia condong menganggap kisah Adam itu sebagai peristiwa yang
tidak benar-benar terjadi, melainkan sebagai kisah simbolik, kisah yang
menyimbolkan eksistensi karakter dasar internal manusia.
Manusia menurut ‘Abduh mempunyai potensi-potensi bawaan baik
positif maupun negatif dalam menjalani eksistensi kehidupannya. Kedua potensi
itu tidak bisa dihilangkan dari diri manusia karena keduanya berproses secara
dialektik mewujudkan otonomi manusia secara moral. Dengan karakter dasar
seperti inilah manusia ditetapkan sebagai aktor-aktif-kosmis, atau dalam bahasa
al-Qur’an. Khalifah di muka bumi ini.
Logika berpikir ‘Abduh dalam penafsirannya tentang kisah Adam
menampakkan secara kuat logika Aristoteles terutama konsep ten cathegories-nya.
Ini terlihat dari pemposisian manusia sebagai substansi dan term-term lainnya
seperti malaikah dan iblis sebagai aksidensinya. Dari perspektif hermeneutika,
interpretasi ‘Abduh mengenai kisah Adam ini mendemonstrasikan model
hermeneutika filosofisnya Gadamer, yang diwarnai dengan kentalnya produksi
makna baru yang memproyeksikan kepentingan kesinambungan pemaknaan dari
‘Abduh atas al-Qur’an sebagai sumber hidayah.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abduh, Muhammad wa Rasyid Rida, Tafsir al-Manar. Jilid I. Beirut: Dar alMa’rifah, t.t.
mstrong, Karen. A History of God. London: Mandarin, 1963.
yub, Mahmud. Qur’an dan Para Penafsirnya, 1, terj. Nick G.
Dharma Putra. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
ontekoe, Ron. ‚A Fusion of Horizons: Gadamer and
Schleiermacher,‛ dalam International Philosophical Quarterly, vol. xxvii, no. 1 issue no. 105, March 1987.
assan, Riffat. ‚Made from Adam’s Rib‛, dalam Women’s and
Men’s Liberation, edited by Leonard Grob, Riffat Hassan and Haim Gordon. New
York, London: Greenwood Press, 1991.
bal, Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought in
Islam. Lahore: Kitab Bhavan, 1962.
nge, David E. ‚Editor’s
Introduction‛, dalam Hans-Georg
Gadamer, Philosophical Hermeneutics,
trans. and edit. by David E. Linge. Berkeley, Los Angeles, London: University
of California Press, 1977.
adjid, Nurcholish. Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi
Bumi (Suatu Pendekatan Sistematis terhadap Konsep Antropologis Islam), Pidato
Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa dalam Falsafah dan Kalam pada Fak. Ushuluddin
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998.
ahmud, Moh. Natsir. ‚Karakteristik Tafsir Syaikh Muhammad
‘Abduh: Tafsir yang Berorientasi pada Aspek Sastra, Budaya, dan
Kemasyarakatan,‛ dalam Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam, Muharram-Rabi’
al-Awwal 1414/Juli-September 1993 ajalah Al-’Urwah Al-Wus|qa. Beirut: Dar al
-Kitab al-’Arabi, 1970.
son, Carl. ‚Theology of Nostalgia: Reflections on Theological
Aspects of Eliade’s Work,‛ dalam Nvmen International Review for History of
Religions, vol. xxxvi Fasc. 1 June 1989.
utb, Sayyid. Kasa’ish at-Tasawwur al-Islamiy t.d. 1968.
harjo, M. Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep Kunci Jakarta: Paramadina, 1996.
da, Rasyid. Tarikh al-Ustaz Muhammad ‘Abduh. Jilid I. Mesir: al-Manar, 1931.
Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
ihatah, Manhaj al-Imam Muh}ammad ‘Abduh fi Tafsir al-Qur’an
al-Karim . Kairo: al-Majlis al-A’la li Ri’ayah ‘Ali ibn Talib Funun wa al-Adab
wa al-’Ulum al-Ijtima’iyyah, 1962.
Al-T}abari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir. Jami’ al-Bayan ‘an
Ta’wil Ayat al-
Qur’an. Jilid I. Penyunting Mahmud Muhammad dan Ahmad
Muh}ammad Syakir. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1966.
Al-Z}ahabi, Husein. Al-Tafsir
wa al-Mufassirun . Jilid II. Kairo: Dar al-Kutub alHadisah, 1976.
[1] M. Dawam Raharjo,
Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep Kunci (Jakarta:
Paramadina, 1996),. 49.
[2] Penafsiran seperti inilah
yang membentuk opini publik bahwa Islam mengajarkan superioritas laki-laiki
atas perempuan. Padahal menurut penelitian Riffat Hassan, penafsiran Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Adam adalah bersumber dari Injil, dan al-Qur’an
sendiri tidak pernah menggunakan istilah Hawa, tetapi Zauj (Q.S. al-Baqarah
[2]:35, al-A’raf [7]: 19, T}aha [20]: 117). Berbeda dengan pandangan umum
muslim bahwa Zauj disamakan dengan Hawa (Eve), bahwa Adam adalah suami dan Zauj
adalah isteri, Riffat Hassan berkata bahwa ‚the word Zauj itself is masculine,
with feminine singular form zaujatun, and plural azwaj and zaujatun. Its most
accurate English equivalent is ‚mate‛. If Adam is not necessarily ‚man‛, then Zauj
is not necessarily ‚woman‛.‛ Mengenai pernyataannya bahwa al-Qur’an tak pernah
berbicara masalah superioritas laki-laki atas perempuan, dan bahwa justru
Injillah yang berbicara tentang hal itu, ia menulis, ‚Genesis 2:18-24 has
become the basis for asserting the superiority of man over woman, since woman
was created (a) from the rib of Adam and is secondary, inferior (b) simply and
solely to be the helpmate of Adam. Riffat Hassan, ‚Made from Adam’s Rib‛, dalam
Women’s and Men’s Liberation, edited by
Leonard Grob,
Riffat Hassan and Haim Gordon, (New York, London: Greenwood Press, 1991), p.
26.
[3] Rasyid Rida, Tarikh
al-Ustaz Muhammad ‘Abduh, I, (Mesir: al-Manar, 1931) 4.
[4] Moh. Natsir Mahmud,
‚Karakteristik Tafsir Syaikh Muhammad ‘Abduh: Tafsir yang Berorientasi pada
Aspek Sastra, Budaya, dan Kemasyarakatan,‛ dalam Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi
Islam, Muharram-Rabi’ al-Awwal 1414/Juli-September 1993: 6.
[5] Seperti dikutip oleh M.
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),
p. 13. Kritik sistem pengajaran ini menunjukkan betapa ‘Abduh menginginkan
suatu dinamika aktif pemahaman Islam, sehingga studi Islam tidak cenderung,
meminjam istilah Fazlur Rahman, repetitive Islam.
Lihat, Pengantar
Mustafa ‘Abdu ar Razaq dalam penerbitan majalah Al-’Urwah Al-Wus|qa (Beirut: Dar
al-Kitab al-’Arabi, 1970), p. 36.
[7] M. Quraish Shihab, Studi
Kritis ..., p. 15-16.
[8]
Seperti dikutip M. Quraish Shihab, ibid., p. 17. Rujukan asli buka Sayyid Qutb,
Kasa’ish at-Tasawwur al-Islamiy (tanpa tahun), cetakan ketiga, 1968, p.
19.
[9] Terjemah dari penulis;
istilah-istilah tertentu seperti Jannah, Zauj, Syajarah, dan Kalimat sengaja
tidak diterjemah karena pertimbangan konteks penafsiran ‘Abduh.
[10] Mahmud Ayub, Qur’an dan
Para Penafsirnya, 1, terj. Nick G. Dharma Putra (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991), p. 105-106.
[11] Muhammad ‘Abduh wa Rasyid
Rida, Tafsir al-Manar, I, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.), 281. 14 Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
malaikah ‘Abduh
dengan ‚bisikan nurani‛ dengan kasus malaikat Jibril. Jika benar demikian
maka berarti wahyu al-Qur’an itu
berasal dari bisikan Muhammad.
[15] Muhammad ‘Abduh wa Rasyid
Rida, Tafsir al-Manar… , 268. Kritik Quraish Shihab seperti dalam catatan
kaki di atas bisa disanggah melalui
logika ‘Abduh sendiri, karena Jibril bisa ditafsiri sebagai ruh yang
merefleksikan relasi Muhammad dengan Tuhannya. ‘Abduh sebenarnya hanya ingin
menegaskan bahwa manusia bisa bergerak maju dengan adanya dialektika internal
dalam dirinya. Kemampuan jiwa untuk berdiri pada posisi
balance antara kutub positif dan
negatif menunjukkan kemampuan manusia yang sejati.
[16] Ibid., 281.
[17] Abu Ja’far Muhammad ibn
Jarir al-Tabari, } Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayat al
Qur’an , I, penyunting Mahmud Muhammad dan Ahmad Muhammad Syakir,
(Kairo: Dar al Ma’arif, 1966), 455.
[18] Muhammad ‘Abduh wa Rasyid
Rida, Tafsir al-Manar…., 282.
[21] Ibid., 129.
[22] Muhammad ‘Abduh wa Rasyid
Rida, Tafsir al-Manar, I, 278-279 dan 282-284.
[23] Muhammad Iqbal, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Kitab Bhavan, 1962), 83.
[24] Riffat Hassan, Made of
.., 126.
[25] Husein al-Zahabi,
Al-Tafsir wa al-Mufassirun , II (Kairo: Dar al-Kutub
alHadisah, 1976), 549.
[26] Syihatah, Manhaj al-Imam
Muh}ammad ‘Abduh fi Tafsir al-Qur’an al -Karim (Kairo: al-Majlis al-A’la li
Ri’ayah ‘Ali ibn Talib Funun wa al-Adab wa al-’Ulum alIjtima’iyyah, 1962), 84.
[27] Karen Amstrong, A History
of God (London: Mandarin, 1963), 168.
[28] Ron Bontekoe, ‚A Fusion
of Horizons: Gadamer and Schleiermacher,‛ dalam International Philosophical
Quarterly, vol. xxvii, no. 1 issue no.
105, March 1987: 3.
[29] David E. Linge, ‚Editor’s
Introduction‛, dalam Hans-Georg Gadamer,
Philosophical Hermeneutics, trans. and edit. by David E. Linge
(Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1977), xv.
Benar
ReplyDelete