Ibnu
Thufail
Ibnu Thufail adalah salah satu filsuf yang terpikat oleh
pemikiran-pemikiran Yunani dan berusaha menyelaraskan dengan ajaran Islam.
Karya monumental yang berjudul Hayy Bin Yaqzhan membuktikan hal itu. Tulisan
ini sendiri berposisi untuk mengungkapkan jejak-jejak Hellenisme dalam pikiran
Ibnu Thufail dalam konteks upaya penyelarasannya dengan ajaran Islam.
Pembahasan
Disini akan diungkapkan tentang riwayat hidup dan falsafat
hayy bin Yaqzan untuk menberikan gambaran, paling tidak secara umum, apa yang
terkandung dan ingin disampaikan oleh pengarangnya. Ini bermanfaat, terutama
bagi penulis sendiri, untuk lebih memahami karya-karya filosof Islam tersebut
sehingga dapat mengambil inti sari dan memperluas pandangan di bidang pemikiran
Islam.
Riwayat Hidup
Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibnu Thufail
adalah Abu Bakar Muhammad ibnu ‘Abd Al-Malik ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia
dilahirkan di Cadix (Wadi Asy), Provinsi Granada, Spanyol, pada tahun 506
H/1110 M. Ibnu Thufail termasuk dalam keluarga suku Arab terkemuka yaitu Qais.
Dalam bahasa latin ia terkenal dengan sebutan Abu Bacer.[1]
Sebagaimana filosof-filosof
Muslim di masanya, Ibnu Thufail juga memiliki disiplin ilmu dalam berbagai
bidang. Selain sebagai filosof, ia juga ahli dalam kedokteran, matematika,
astronomi, dan penyair yang sangat terkenal dari Dinasti Al-Muwahhid Spanyol.
Ia memulai kariernya sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya
sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris gubernur di provinsi itu.
Kemudian ia diangkat menjadi sekretaris pribadi Gubernur Geuta dan Tangier oleh
putra Al-Mu’min, penguasa Al-Muwahhid spanyol. Selanjutnya ia diangkat menjadi
dokter pemerintah sekaligus menjadi qadhi di pengadilan pada masa Khalifah
Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H – 580 H). [2]
Ibnu Thufail meletakkan jabatan
sebagai dokter pemerintah pada tahun 577 H/1182 M. Karena alasan usianya yang
sudah lanjut, ia menganjurkan kepada khalifah supaya Ibnu Rusyd, muridnya,
menggantikan kedudukannya. Khalifah Abu Yusuf Al-Mansur memenuhi permintaannya
dengan langsung menunjuk Ibnu Rusyd sebagai dokter istana. Semasa hidupnya,
Ibnu Thufail menerima penghargaan dari khalifah. Ketika ia meninggal pun di
Maroko, pada tahun 580 H/1184 M, khalifah ikut menghadiri upacara pemakamannya.
[3]
Karya
Ibnu Thufail sebenarnya
mempunyai banyak karya baik dalam bidang filsafat maupun bidang yang lain
(fisika dan sastra). Hasil karya beliau antara lain Risalah fi Asrar al-hikmah
al-Masyriqiyah (Hayy Ibn Yaqzhan) Rasa'il fi an-Nafs, Biqa' al-Maskunnah wa
Al-Ghair al-Maskunnah. Selain itu beliau juga memiliki beberapa buku tentang
kedokteran serta risalah berisi kumpulan surat-menyurat yang beliau lakukan
dengan Ibnu Rusyd dalam berbagai persoalan filsafat. Ibnu Rusyd mengatakan
bahwa Ibnu Thufail mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang dalam ilmu falak.
Sayangnya semua hasil karya beliau tidak ada yang tersisa kecuali risalah Hayy
ibn Yaqzhan.[4]
Risalah Hayy ibn Yaqzhan
Hayy ibn Yaqzhan dikenal dengan
nama "Philosophus Autodidactus" di Barat. Pada bagian pendahuluan,
Ibnu Thufail mempersembahkan beberapa pandangan dari para pendahulunya, Al
Farabi, Ibnu Sina, Al Ghazali, dan Ibnu Bajjah. Al Farabi dikritik keras
tentang pandangannya yang tidak konsisten tentang alam akhirat. Tidak ada
kritik tentang Ibnu Sina, sebaliknya diceritakan bahwa kebijaksanaan oriental
Ibnu Sina akan diuraikan sepanjang sisa pekerjaannya. Pandangan Ibnu Bajjah
dikatakan belum lengkap, menyebutkan tentang kondisi spekulatif tertinggi
tetapi bukan kondisi diatasnya, yaitu "menyaksikan" atau pengalaman
mistik. Sementara pengalaman mistik al Ghazali tidak diragukan lagi, tak
satupun dari karya-karyanya tentang pengetahuan mistik telah dicapai oleh Ibnu
Thufail. Pendahuluan tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan niat ibnu
thufail yaitu elaborasi kebijaksanaan oriental Ibnu Sina dan menunjukkan
bagaimana karyanya berbeda dari para pendahulunya.
Inti dari pemikiran Ibnu
Thufail termuat dalam karyanya ini. Antara akal dan wahyu tidaklah memiliki
kontradiksi yang begitu besar. Pendewaan terhadap Akal sangat tinggi dibanding
dengan Wahyu-Ilahi.[5]
Bahkan keduanya dapat memiliki satu visi dan tujuan yang sama tentang
kebenaran. Dan juga akan memiliki titik keindahan bila keduanya dapat
digabungkan. Bahwa jalan yang ditunjukkan oleh agama dapat diperoleh dengan intelektualitas
manusia yang cenderung berhasrat untuk terus bertanya dan mencoba menjawab apa
yang ada dan juga oleh wahyu yang dapat dijadikan petunjuk tetap menuju satu
kebenaran. Keduanya sama-sama dapat menuju kebenaran, demikian pesan yang ingin
disampaikan oleh Ibnu Thufail dalam karyanya Hayy Ibn Yaqdzan.
Dalam karyanya ini, Ibnu
Thufail seperti merasa jengah dengan pertikaian 2 proyektor besar dalam proses
pencarian kebenaran, filsafat, dan wahyu. Pertikaian yang diledakkan oleh al
Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah nya menentang Ibnu Sina dan al Farabi yang
fokus pada ajaran Aristotelian mereka. Pertikaian yang pada dasarnya ada pada
ketidaksetujuan al Ghazali yang fokus pada 3 ajaran para filosof terutama Ibnu
Sina dan al Farabi tentang keabadian alam, penolakan bangkitnya jasmani setelah
mati, dan pengetahuan Tuhan yang universal. Ketiga hal ini yang benar-benar
dianggap oleh al Ghazali sebagai penyalahgunaan rasio untuk menyelewengkan
agama.
Pertikaian ini coba didamaikan
Ibnu Thufail dengan mengatakan bahwa antara keduanya tidaklah jauh berbeda
dalam memandang kebenaran yang sama, eksternal, dan internal. Pemahaman agama
melalui wahyu dan pemahaman agama melalui nalar melihat kebenaran dari sisi
yang berbeda dengan hakikat yang sama.
Pemikiran
Metafisika
Tuhan menurut Ibnu Thufail adalah pemberi wujud pada semua
makhluk. Untuk membuktikan adanya Tuhan Ibnu Thufail mengemukakan tiga
argument,[6] yaitu:
a)
Gerak (Al-Harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti
tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu (hadist),
berarti ala mini sebelumnya tidak ada, kemudian menjai ada. Oleh karena itu
berarti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakkan alam dari tidak ada
menjadi ada yang disebut dengan Allah. Tapi bagi orang yang menyakini alam kadim,
alam ini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada, gerak ala mini kadim,
tidak berawal dan tidak berakhir, karena zaman tidak mendahuluinya (tidak
didahului oleh diam) adanya gerak ini menunjukkan secara pasti adanya
penggerak.
b)
Materi (Al-Madat) dan
Bentuk (Al-Shurat)
Argument ini, menurut Ibnu
Thufail dapat membuktikan adanya Allah, baik yang menyakini alam kadim maupun
hadistnya. Dalam hal ini Ibnu Thufail mengemukakan pokok pikirannya yang
terkait antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
1)
Segala yang ada ini
tersusun dari materi dan bentuk
2)
Setiap materi
membutuhkan bentuk
3)
Bentuk tidak mungkin
bereksistensi penggerak
4)
Segala yang ada (maujud)
untuk berseksistensi membutuhkan pencipta
Dengan argumen diatas dapat
dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alam ini, Ia Maha Kuasa, bebas memilih
serta tidak berawal dan tidak berakhir.[7]
c)
Al-Ghayyat dan Al-‘inayat
al-Ilahiyyat
Pada argumen ini pernah
dikemukakan oleh al-kindi dan Ibn Sina, bahwa segala yang ada di ala mini
mempunyai tujuan tertentu dan merupakan inayah dari Allah. Menurut Ibnu
Thufail, alam ini tersusun sangat rapi dan sangat teratur. Semua planet:
matahari, bulan, bintang, dan lainnya beredar secara teratur.
Dalam hal zat dan sifat Allah,
Ibnu Thufail sejalan dengan pendapat Mu’tazilah. Sifat-sifat Allah tidak
berlainan dengan zat Nya. Allah mengetahui dan berkuasa bukan dengan sifat ilmu
dan kudrat yang melekat pada zat Nya sendiri. Allah adalah pemberi wujud pada
semua makhluk. Ia tidak mungkin dikhayalkan, karena khayalan hanya mungkin terjadi
terhadap hal-hal inderawi. Meskipun sifat itu identik dengan zat, Ibnu Thufail
masih membuat rincian sifat Allah yang ia bagi paa dua kelompok.
1)
Sifat-sifat yang
menetapkan wujud zat Allah, seperti ilmu, kudrat, dan hikmah. Sifat-sifat ini
adalah zat Nya sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta’addud al-qudama’
(berbilangnya yang kadim), sebagaimana paham Mu’tazilah.
2)
Sifat salab,
yaitu sifat-sifat yang menafikan paham kebendaan dari zat Allah. Dengan
demikian, Allah suci dari kaitan dengan kebendaan.
Fisika
Menurut Ibnu Thufail alam ini
kadim dan juga baharu. Alam kadim karena Allah menciptakannya sejak azali,
tanpa didahului oleh zaman (taqaddum zamany), dilihat dari esensinya alam
adalah baharu karena terwujudnya alam (ma’lul) bergantung pada zat Allah (illat).
[8]
Pandangan menurut Ibnu Thufail
ini merupakan kompromi antara pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim
dengan ajaran kaum ortodok Islam yang meyatakan alam baharu.
Jiwa
Menurut Ibnu Thufail jiwa
manusia adalah makhluk yang tertinggi martabanya. Menusia terdiri dari dua
unsur , yakni jasad dan ruh (al-Madad wa al-Ruh). Badan tersusun dari
unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim dan juga bukan
sesuatu daya yang ada didalam jiwa. Setelah badan hancur (mengalami kematian)
jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama
dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut Ibnu Thufail jiwa
terdiri dari tiga tingkat, yakni dari yang rendah jiwa tumbuhan (al-Nafs
al-Hayawaniyyah), kemudian tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi dari
keduanya, yaitu jiwa manusia (al-Nafs al- natiqat).
Mengenai keabadian jiwa manusia
dan hubungan nya dengan Allah, Ibnu
Thufail mengelompokkan jiwa dalam keadaan berikut:
a.
Jiwa yang sebelum
mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran Nya, dan
selalu ingat kepada Nya, maka jiwa yang seperti ini akan kekal dalam
kebahagiaan.
b.
Jiwa yang telah mengenal
Allah, tetapi melakukan maksiat dan melupakan Allah, jiwa seperti ini akan
abadi dalam ke sengsaraan.
c.
Jiwa yang tidak pernah
mengenal Allah selama hidup nya, jiwa seperti ini akan berakhir seperti hewan.[9]
Epistemology
Dalam epistimologi, Ibnu
Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan
pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi, hal-hal yang
bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal dan intuisi. Menurutnya ma’rifat
di lakukan dengan dua cara, yaitu:
a.
Pemikiran/renungan akal,
seperti yang dilakukan para filsuf muslim
b.
Kasyf ruhani (tasawwuf),
seperti yang biasa dilakukan oleh kamu sufi. Ma’rifat Kasyf ruhani ini dapat
diperoleh dengan latihan-latihan ruhani dengan penuh kesungguhan.[10]
Rokonsiliasi (Tawfiq) antara filsafat dan agama.
Melalui roman filsafat hayy ibn
Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak
bertentangan, dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi
juga dapat diketahui dengan akal. kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian
dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan
memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.[11]
Dalam hal ini, Ibnu Thufail
berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan
agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi
dengan Allah. Sedangkan absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk
esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara salman, ia lambangkan
sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris. Kebenaran yang dikehendaki agama,
karena sumbernya sama, yakni Allah SWT.[12]
Penutup
Peradaban Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang
ternama. Namun entah mengapa filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap
sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran
bila dalam studi sejarah pemikiran lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal
Yunani dan Barat ketimbang dari Islam.
Meskipun para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan
kebudayaan dianggap berilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya
dibandingkan dengan tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Karena itu,
kajian-kajian mengenai tokoh-tokoh Islam berkenaan dengan khazanah intelektual
Islam masih perlu ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya.
References
Mustofa, A, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia,
1997.
Poerwantana, A. Ahmadi, M.A. Rosali, Seluk-beluk Filsafat
Islam, Bandung: Rosyda, 1988.
Sou’yb, Yoesoef, Pemikiran Islam Merobah Dunia,
Medan: Firma Madju, 1984.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta,
2004.
Zar, Prof. Dr. H. Sirajuddin, Filsafat Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
[1] Prof. Dr. H. Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 205
[2] A. Mustofa, Filsafat
Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal. 166
[3] Ibid., hal. 272
[4] Poerwantana, A. Ahmadi,
M.A. Rosali, Seluk-beluk Filsafat Islam, Bandung: Rosyda, 1988, hal. 192
[5] Yoesoef Sou’yb, Pemikiran
Islam Merobah Dunia, Medan: Firma Madju, 1984, hal. 256
[6] Prof. Dr. H. Sirajuddin
Zar, op.cit, hal. 212
[7] Ibid., hal. 214
[8] Ibid., hal. 216
[9] Ibid., hal. 218
[10] Ibid.
[11] Sudarsono, Filsafat
Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hal. 81
[12] Prof. Dr. H. Sirajuddin
Zar, op.cit, hal. 219-220
Post a Comment
Post a Comment