Pertama. Tafsir bi al-Ma’thur.
Tafsir pertama ini dikenal juga dengan sebutan tafsir bi al-riwayah dan tafsir
bi al-manqul, yaitu keterangan atau penjelasan ayatayat Al-Qur’an dengan
perincian ayat-ayat Al-Qur’an sendiri, apa yang dinukil dari Rasulullah SAW,
dan apa yang dikutip dari para sahabat. Sedangkan penafsiran yang berdasarkan
penukilan dari para tabi’in, masih terdapat perselisihan.
Al-Zarqani membatasi tafsir
bi al-ma’thur dengan tafsir yang hanya diberikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an,
hadits Nabi Saw dan para sahabat tanpa penafsiran dari para tabi’in.[1]
Hal ini dikarenakan banyak diantara tabi’in yang menafsirkan Al-Qur’an
terpengaruh riwayat-riwayat israilliyat
yang berasal dari kaum Yahudi dan Ahli Kitab lainnya.
Riwayat-riwayat Israiliyat
tidak selamanya harus ditanggapi negatif dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Jika Israiliyat tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, maka riwayat-riwayat tersebut
bisa diterima. Namun jika bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka
riwayat-riwayat Israiliyat tersebut
tidak diperkenankan untuk menjadi acuan dalam menafsirkan ayatayat Al-Qur’an.[2]
Sedangkan al-Dzahabi memasukkan penukilan dari tabi’in ke
dalam tafsir bi al-ma’thur. Dia
berpendapat, walaupun para tabi’in tidak menerima tafsir langsung dari Nabi
SAW, namun kitab-kitab yang termasuk tafsir
bi al-ma’thur, misalnya tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
karangan Ibnu Jarir al-Tabary yang terkenal dengan sebutan tafsir al-Tabary tidak hanya memuat tafsir Al-Qur’an dari Al-Qur’an
sendiri, dari Nabi dan sahabat namun juga berisi tafsir dari tabi’in.[3]
Dan, yang mendekati kebenaran adalah bahwa tafsir yang
dinukil dari tabi’in adalah termasuk tafsir
bi al-ma’thur. Hal ini karena tafsir al-Tabary disamping memuat penafsiran
Nabi SAW, penafsiran sahabat juga memuat penafsiran tabi’in, yang menjadi
rujukan tafsir-tafsir selanjutnya. Demikian juga sebagian besar mufassir pada
ghalibnya menggunakan tafsir bi al-ma’thur
yang meliputi tafsir dari Al-Qur’an sendiri, Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in
ini sebagai rujukan dalam menfasirkan ayatayat Al-Qur’an.
Berdasarkan hal tersebut, maka tafsir bi al-ma’thur meliputi tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
tafsir Al-Qur’an dengan hadits Nabi SAW baik yang qauli, fi’ly, maupun yang taqriry,
tafsir Al-Qur’an dengan nukilan dari sahabat dan tabi’in. Hal ini dilakukan
jika penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an tidak ditemukan maka penafsiran Al-Qur’an
dengan Sunnah Nabi SAW. Dan jika penafsiran Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi tidak
diperoleh maka penafsiran Al-Qur’an dengan nukilan para sahabat dan tabi’in.
Kedua, Tafsir bi al-Ra’yi.
Tafsir ini dikenal juga dengan sebutan tafsir
bi al-Dirayah dan tafsir bi al-Ma’qul,
yaitu penjelasan mengenai ayat-ayat Al-Qur’an melalui pemikiran (nalar) dan
ijtihad. Dalam tafsir ini seorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an (mufassir)
dianjurkan untuk memahami bahasa Arab dan gaya-gaya ungkapannya, memahami
lafad-lafad arab dan segi-segi dilalahnya, mengkaji syairsyair Arab sebagai
pendukung, dan memperhatikan asbab
al-nuzul, nasikh-mansukh, muhkam-mutasyabihat, „am-khas, makkiyah-madaniyah,
qira’at dan lain-lain.
Apabila seorang mufassir hanya mengandalkan ra’yi semata tanpa menggunakan tafsir bi al-ma’thur, maka akan sulit
dan keliru karena tafsir bi alma’thur adalah
dasar dari tafsir. Apabila suatu kitab tafsir lebih didominasi oleh ra’yi dan ijtihad sementara bi al-ma’thurnya hanya sedikit maka
tafsir yang demikian dinamakan tafsir bi
al-ra’yi.
Tidak berlebihan jika Manna’ al-Qattan mendefinisikan tafsir bi al-ra’yi dengan suatu tafsir
yang dibuat pedoman oleh mufassir untuk menjelaskan makna dalam suatu pemahaman
tertentu. Di samping itu al-Qattan mengukuhkan pernyataan dengan mengatakan
bahwa tafsir bi al-ra’yi mengalahkan
perkembangan tafsir bi alma’thur. Dan
tafsir bi al-ra’yi lebih banyak
diminati dari pada tafsir bi al-ma’thur sebagai
rujukan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.[4]
Dari tafsir yang mengandalkan nalar ini maka berkembanglah
metode (pendekatan) dan corak tafsir sehingga pembahasan tafsir menjadi sangat
luas dalam menelusuri ayat demi ayat dalam mengungkap makna Al-Qur’an. Metode
dan corak tafsir ini akan dijelaskan nanti dalam pembahasan tersendiri.
Ketiga, Tafsir bi
al-Isyary. Yaitu penta’wilan ayat-ayat Al-Qur’an
al-Karim dengan penta’wilan yang
menyalahi ketentuan-ketentuan dhohir
ayat, karena ingin mengemukakan isyarat-isyarat yang tersembunyi yang terlihat
oleh mufassir penganut sufi setelah melakukan berbagai bentuk latihan
kerohanian dengan Allah SWT, yang denganNya kemudian ia sampai pada satu
keadaan yang bisa menerima isyarat-isyarat dan limpahan-limpahan Ilahi, serta
makna-makna ilhamiyah yang datang kepada hati orang-orang arif tersebut.
Kaum sufi sebagai ahli hakikat dan pengemban isyarat
mengakui makna dhohir Al-Qur’an, akan tetapi dalam menafsirkan kandungan batin Al-Qur’an,
kaum ini mengemukakan hal-hal yang terkadang tidak sejalan dengan tujuan Al-Qur’an
dan eksistensinya sebagai kitab berbahasa Arab yang jelas. Ucapan-ucapan sufi
dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah tafsir-tafsir yang hakiki bagi makna-makna Al-Qur’an,
dan bukan sekedar bandingan-bandingan saja bagi makna-makna tersebut.
Tidaklah bisa dipungkiri adanya suatu limpahan rahmat dan
isyarat-isyarat akan anugrah Allah SWT yang akan diberikan kepada siapa saja
yang dikehendaki diantara makhluk-makhlukNya. Dan juga bukan hal yang mustahil,
jika Allah SWT berkehendak maka Allah SWT akan memberikan kekhususan dan
keistimewaan bagi sebagian hamba-hambaNya dengan rahasia-rahasia dan
hikmah-hikmah yang dimilikiNya. Mayoritas ulama tafsir (mufassir) membagi
tafsir hanya menjadi dua macam, yaitu tafsir
bi al-ma’thur dan tafsir bi al-ra’yi.[5]
Sedangkan tafsir bi al-isyary ini
mufassir mengkategorikannya sebagai bagian dari tafsir bi al-ra’yi yang bercorak sufi.
[1] Al-Zarqany, Muhammad Abd
al-„Adhim. Tt. Manahil al-„Irfan fi „Ulum
al-Qur‟an, II. Mesir: Isa alBab
al-Halabi. 12
[2] Al-Humaid, Jamal Mustofa
Abd. 2001. Ushul al-Dakhil fi Tafsir Ayi
al-Tanzil. Cet. I. Kairo: Jami‟ah al-Azhar. 27
[3]
Al-Dzahaby. al-Tafsir. 152
[4] Al-Qattan, Manna‟. 1973. Mabahith fi „Ulum al-Qur‟an. Beirut:
Mansyurah al-„Ashr al-Hadith. 342
[5] Pembagian tafsir yang
hanya ada dua ini mengacu pada beberapa karya tafsir dan „ulum al-Qur‟an
mayoritas ulama tafsir, diantaranya al-Itqan
karya al-Suyuti, al-Tafsir wa
al-Mufassirun karya M. Husain al-Dzahabi, al-Burhan karya al-Zarkasyi, Manahil
al-„Irfan karya al-Zarqani, Mabahith
fi
„Ulum al-Qur‟an karya Manna‟ al-Qattan dan Subhi Salih, dan
lain-lain. Sedangkan tafsir bi al-isyari ini
hanya di temukan dalam karya yang sangat sedikit, diantaranya al-Tafsir wa Manahijuh karya Mahmud
Basuni Faudah.
Sedangkan tafsir bi al-isyari ini hanya di temukan dalam karya yang sangat sedikit, diantaranya al-Tafsir wa Manahijuh karya Mahmud Basuni Faudah. saya baru mengetahui ini tafsir mimpi togel mistik
ReplyDelete