(Surat Al-Baqarah
ayat 275 s/d 278)
1. Nash Ayat
Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Baqarah
ayat 275, 276, 278 yang berbunyi :
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(275)يَمْحَقُ
اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ
أَثِيمٍ(276)
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ
وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ(277)يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(278)
Artinya
:
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (275)
Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.( 276)
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(277)
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(278)
2. Sebab turunnya ayat
Kaum Tsaqif, penduduk kota Taif telah membuat kesepakatan
dengan Rasulullah SAW bahwa semua hutang mereka demikian juga piutang (
tagihan) yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya
saja. Setelah Fathu Makkah, Rasulullah SAW menunjuk ‘Itab ibn Usaid sebagai
gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif. Bani Amr ibn Umar adalah
orang yang biasa meminjamkan uang secara riba kepada bani Mughirah sejak zaman
jahiliyah dan Bani Mughiroh senantiasa membayarkannya. Setelah kedatangan
Islam, mereka memiliki kekayaan yang banyak. Karennya, datanglah Bani Amer
untuk menagih hutang dengan tambahan riba, tetapi Bani Mughirah menolak. Maka
diangkatlah masalah itu kepada Gubernur ‘Itab ibn Usaid dan beliau menulis
kepada Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat ini. Rasulullah Saw lalu menulis
surat balasan yang isinya “ Jika mereka ridha atas ketentuan Allah SWT
diatas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum
perang kepada mereka.[1]
3. Mufrodat
Beberapa mufrodat yang penting antara lain adalah[2] :
§ (يأكلون ) : arti harfiyahnya adalagh memakan,
disini berarti mengambil atau memanfaatkan. Karena itulah tujuan utamanya.
Maksudnya bahwa kebanyakan bentuk dalam mengambil manfaat adalah memakannya.
§
(يقومون (: maksudnya
bangkit dari kubur mereka
§
(يتخبطهم)
: artinya kesurupan atau kemasukan syetan
§
(يمحق) artinya mengurangkannya dan menghilangkan barakahnya
§
(يربي) : artinya menambahkan dan menumbuhkannya
serta melipat gandakan ganjarannya.
§
(حرب) : arti perang dari Allah dan
Rasul-Nya disni adalah diperlakukan seperti seorang bughot (pemberontak) dan
sebagai musuh Allah.
4.
Hukum yang terkandung di dalamnya
Ayat yang melarang riba ini bila
disimak lebih jauh mengandung banyak pengeقtian
hukum, diantaranya :
§ Dibolehkannya semua praktek jual beli yang tidak ada
larangan syar`i di dalamnya. Jual beli sendiri memiliki
arti memiliki harta dengan harta melalui ijab qabul dengan keridhaan keduanya.
§ Diharamkannya
riba dan dimaklumatkan perang dari Allah dan Rasul-Nya.
5. Haramnya Riba Dalam al-Quran dan Sunnah
Riba secara mutlak telah diharamkan oleh Allah swt dan
Rasuluullah saw memalui ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Diantara
nash-nash itu adalah sebagi berikut :
·
Al-Quran
Al-Quran mengharamkan riba dalam empat marhalah / tahap.
Doktor Wahbat Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan tahapan pengharam
riba adalah sebagai berikut [3]:
- Tahap Pertama
Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(QS. Ar-Ruum : 39 )
Ayat ini turun di Mekkah dan menjadi tamhid
diharamkannya riba dan urgensi untuk menjauhi riba.
- Tahap Kedua
Maka disebabkan kezaliman
orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, (QS. An-Nisa : 160-61)
Ayat ini
turun di Madinah dan menceritakan tentang perilaku Yahudi yang memakan riba dan
dihukum Allah. Ayat ini merupakan peringatan bagi pelaku riba.
- Tahap Ketiga
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Ali
Imron : 130)
Pada tahap ini Al-Quran mengharamkan
jenis riba yang bersifat fahisy, yaitu riba jahiliyah yang berlipat
ganda.
- Tahap Keempat
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.(Al-Baqarah : 278-279)
Pada tahap ini Al-Quran telah
mengharamkan seluruh jenis riba dan segala macamnya. Alif lam pada kata (ال) mempunyai fungsi lil jins, maksudnya
diharamkan semua jenis dan macam riba dan bukan hanya pada riba jahiliyah saja
atau riba Nasi’ah. Hal yang sama pada alif lam pada kata (البيع) yang berarti semua jenis jual beli.
·
As-Sunah
As-Sunnah
juga menjelaskan beberapa praktek riba dan larangan bagi pelakunya :
لعن رسول الله آكل الربا وموكله وكاتبه و شاهديه وقال : هم سواء
Artinya
: Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua
saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama .[4]
Dalam hadits lain disebutkan :
Diriwayatkan
oleh Aun bin Abi Juhaifa,”Ayahku membeli budak yang kerjanya membekam. Ayahku
kemudian memusnahkan alat bekam itu. Aku bertanya kepaa ayah mengapa beliau
melakukannya. Beliau menjawab bahwa Rasulullah saw. Melarang untuk menerima
uang dari transaksi darah, anjing dan kasab budak perempuan. Beliau juga
melaknat penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta melaknat pembuat
gambar. [5]
Dengan dalil-dalil qoth’i
di atas, maka sesungguhnya tidak ada celah bagi umat Islam untuk
mencari-cari argumen demi menghalalkan riba. Karena dali-dalil itu sangat
sharih dan jelas. Bahkan ancaman yang diberikan tidak main-main karena Allah
memerangi orang yang menjalankan riba itu.
6. Bunga Bank Adalah Riba Yang Diharamkan
Karena keterbatasan ilmu syariah, masih banyak kalangan
umat Islam yang bertanya-tanya tentang kehalalan bunga bank. Kehidupan
perekonomian tidak mungkin lagi dilepaskan dari jasa perbankan. Bahkan untuk
kepentingan rumah tangga. Padahal umumnya bank menjalankan praktek ribawi dalam
banyak transaksinya.
Meskipun praktek ribawi pada bank itu sangat jelas, namun
masih ada juga mereka yang berusah mencari argumen yang membolehkan. Paling
tidak memakruhkan. Umumnya orang-orang yang berdiri di belakang argumen itu
masih memandang bahwa pendirian bank Islam yang non-ribawi mustahil, tidak
mampu atau –mungkin- tidak memiliki kemauan dan harapan pada kesadaran umat
dalam mengatur ekonominya sesuai dengan syariat Allah SWT. Beragam argumen itu
bila kita telaah secarara jernih dengan nurani yang jujur, maka akan nampak
nyata kelemahan-kelemahannya.
Penulis akan kutipkan beberapa pokok argumen secarara
singkat dilengkapi dengan jawaban atas kelemahannya.
a. Alasan Darurat
Alasan darurat adalah
alasan paling klasik dan paling sering terdengar atas dibolehkannya bank
ribawi. Biasanya dalil yang digunakan adalah Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi (الضرورات تبيح
المحظورات) artinya dharurat itu membolehkan mahzurot /
yang dilarang.[6]
Pendapat seperti ini pada
dasarnya mengakui haramnya riba pada bank-bank konvensional. Namun barangkali
karena tidak punya alternatif lain, terutama di masa sulit era awal orde baru,
banyak pendapat orang yang dengan terpaksa membolehkannya.
Jawaban :
Pendapat seperti di atas
bila dikaitkan dengan kondisi sekarang sudah tidak sesuai lagi. Karena kaidah
fiqiyah yang berkaitan dengan darurat itu masih ada kaidah lainnya yaitu (الضرورات تقدر
بقدرها) artinya
bahwa darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya. [7]
As-Suyuti menjelaskan
tentang sifat darurat, yaitu apabila seseorang tidak segera melakukan sesuatu
tindakan yang cepat, akan membawa pada jurang kematian. [8].
Padahal bila kita tidak menabung di bank konvensional tetapi di bank syariat,
kita tidak akan celaka atau mati.
Sedang Dr. Wahbat
Az-Zuhaili menjelaskan bahwa situasi darurat itu seperti seseorang yang
tersesat di hutan dan tidak ada makanan kecuali daging babi yang diharamkan.
Dalam keadaan itu Allah menghalalkan dengan dua batasan.[9]
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ
عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Baqorah : 173).
Sedangkan umat Islam banyak
yang menabung di bank konvensional bukan karena hampir mati tidak ada makanan,
justru banyak yang tergiur oleh hadiah yang ditawarkan. Jadi dalam hal ini kata
darurat sudah tidak relevan lagi.
Di Indonesia sendiri bank
yang berpraktek secara Islami dan bebas riba telah dan mulai bermunculan. Data
per Nopember 2000 menunjukkan beberapa bank yang menggunakan praktek non ribawi
yaitu :
1. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 Nopember 1991
2. Bank Syariah Mandiri (BMS) yang merupakan bank milik pemerintah
pertama yang menerapkan syariah. Asetnya kini sekitar 2 sampai 3 trilyun dengan
20 cabangnya.
§
Bank IFI (membuka cabang
syariah pada 28 Juni 1999)
§
Bank Niaga (akan membuka
cabang syariah )
§
Bank BNI `46 (telah
memiliki 5 cabang )
§
Bank BTN (dalam
perencanaan)
§
Bank Mega (akan
menkonversikan anak perusahaannya menjadi syariah)
§
Bank BRI (akan membuka
cabang syariah)
§
Bank Bukopin (akan membuka
cabang syariah di Aceh )
§
BPD Jabar (telah membuka
cabang syariah di Bandung)
§
BPD Aceh
b. Yang
Haram Adalah Yang Berlipat Ganda
Ada pendapat yang
mengatakan bahwa bunga bank hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda
dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.[11]
Pendapat ini berasal dari pemahaman yang salah tentang surat Ali Imran ayat 130
yang berbunyi :
ِArtinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda (QS. Ali Imran : 130)
Jawaban :
Memang sepintas ayat ini
hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi bila kita cermati lebih
dalam serta dikaitkan dengan ayat-ayat lain secarara lebih komprehensip, maka
akan kita dapat kesimpulan bahwa riba dengan segala macam bentuknya mutlak
diharamkan. Paling tidak ada dua jawaban atas argumen di atas :
§ Kata (أضعاف) yang berarti berlipat ganda itu harus dii’rab sebagai (حال) haal yang
berarti sifat riba dan sama sekali bukan syarat riba yang diharamkan. Ayat ini
tidak dipahami bahwa riba yang diharamkan hanyalah yang berlipat ganda, tetapi
menegaskan karakteristik riba yang secarar umum punya kecendrungan untuk
berlipat ganda sesuai dengan berjalannya waktu. Hal seperti itu diungkapkan
oleh Syeikh Dr. Umar bin Abdul Aziz Al-Matruk, penulis buku Ar-Riba wal
Mua’amalat al-Mashrafiyah fi Nadzri ash-Shariah al-Islamiyah.[12]
§ Perlu
direnungi penggunaan mafhum mukholafah dalam ayat ini sala kaprah, tidak
sesuai dengan siyaqul kalam, konteks antar ayat, kronologis penurunan
wahyu maupun sabda Raulullah SAW. Secarar sederhana bila kita gunakan mahhum
mukholafah yang berarti konsekuensi terbalik secarara sembarangan, akan
melahirkan penafsiran yang keliru. Sebagai contoh, bila ayat tentang zina
dipahami secarara mafhum mukholafah, jangan dekati zina. Maka yang tidak
boleh mendekati, berarti zina itu sendiri tidak dilarang. Begitu juga daging
babi, yang dilarang makan dagingnya, sedang kulit, tulang, lemak tidak
disebutkan secarar eksplisit. Apakah berarti semuanya halal ? tentu tidak.
§ Secarara
linguistik kata
(ضعف) adalah jamak dari (أضعاف) yang berarti kelipatan-kelipatan. Bentuk jama’ itu
minimal adalah tiga. Dengan demikian (أضعاف) berarti 3x2 = 6. Adapun (مضاعفا) dalam ayat itu menjadi ta’kid (تأكيد) atau penguat. Dengan
demikian, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan
konsekuensi bahasa, minimum harus enam kai lipat atau bunga 600 %. Secarara
operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan
maupun simpan pinjam. [13]
c. Yang
Haram Melakukan Riba Adalah Individu Bukan Badan Hukum
Bank adalah sebuah badan
hukum dan bukan individu. Karena bukan individu, maka bank tidak mendapat beban
/ taklif dari Allah. Seperti yang sering disebutkan sebagai syarat mukallaf
antara lain : akil, baligh, tamyiz dan seterusnya. Bank tidak akil, baligh dan
tamyiz. Artinya bukanlah mukallaf. Sehingga praktek bank tidak termasuk
berdosa, karena yang dapat berdosa adalah individu. Ketika ayat riba turun di
jazirah arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan. Dengan demikian bank LIPPO,
BCA, Danamon dan lainnya tidak terkena hukum taklif, karena pada saat Nabi
Hidup belum ada.
Pendapat
seperti ini pernah dikemukakan oleh Dr. Ibrahim Hosen dalam sebuah workshop
on bank and banking interest, disponsori oleh Majelis Ulama Indonesia pada
tahun 1990. [14]
Jawaban
:
Argumen
ini memiliki kelemahan dari beberapa sisi, yaitu :
·
Tidak benar bahwa pada zaman nabi tidak ada badan
keuangan sama sekali. Sejarah Roma, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan
lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata
lain, perseroan mereka masuk dalam lembaran negara.[15]
·
Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering
disebut sebagai juridical personality atau syakhshiyyah hukmiyah (الشخصية الحكومية). Juridical personality ini sah secarara hukum dan
dapat mewakili individu-individu secarar keseluruhan.
·
Bank memang bukan insan mukallaf, tetapi melakukan
amal mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila
kita mengatakan bahwa sebuah gank mafia pengedar drugs dan narkotika tidak
berdosa dan tidak terkena hukum karena merupakan sebuah lembaga dan bukan insan
mukallaf. Demikian juga lembaga keuangan, apa bedanya dengan seorang
rentenir pemakan darah masyarakat ? Bedanya, yang satu seorang individu yang
beroperasi tingkat RT dan RW, sedang yang lainnya adalah kumpulan dari
individu-individu yang secarara terorganisis dan modal raksasa melakukan
operasi renten dan pemerasan tingkat tinggi dalam skala nasional bahkan internasional
dan mendapat aspek legalitas dari hukum sekuler.
d. Yang
haram adalah yang konsumtif
Pendapat ini mengatakan bahwa riba yang diharamkan hanya
bersifat konsumtif saja. Sedangkan riba yang bersifat produktif tidak haram.
Alasan yang digunakan adalah ‘illat dari riba yaitu pemerasan. Dan pemerasan
ini hanya dapat terjadi pada bentuk pinjaman yang konsumtif saja. Sebab debitur
bermaksud menggunakan uangnya untuk menutupi kebutuhan pokoknya saja seperti
makan, minum, pakaian, rumah dan lain-lain. Debitur melakukan itu karena
darurat dan tidak punya jalan lain. Maka mengambil untung dari praktek
konsumtif seperti ini haram.
Dewasa ini telah terjadi perubahan pandangan karena
terjadinya perubahan pada bentuk pinjaman setelah berdirinya bank. Debitur (peminjam)
tidak lagi dipandang sebagai pihak lemah yang dapat diperas oleh kreditur dalam
hal ini bank. Selain itu kreditur tidak pula memaksakan kehendaknya kepada
debitur. Yang terjadi justru sebaliknya, debiturlah yang menjadi pihak yang
kuat yang dapat menentukan syarat dan kemauannya kepada kreditur. Jadi bank
menjadi debitur karena meminjam uang kepada nasabah. Sedangkan nasabah menjadi
kreditur karena meminjaminya. Namun bank bukan lagi peminjam yang lemah, justru
menjadi pihak yang kuat.
Karena cara-cara yang sekarang berjalan sama sekali
berbeda dengan sebelumnya, maka harus dibedakan antara pinjaman produktif dan
konsumtif. Pinjaman produktif hukumnya halal dan pinjaman konsumtif hukumnya
haram.
Pendapat ini didukung oleh Dr. Muhammad Ma’ruf Dawalibi
dalam Mukatamar Hukum Islam di Perancis bulan Juli 1951 yang berkata :”Pinjaman
yang diharamkan hanyalah pinjaman yang berbentuk konsumtif, sedangkan yang
berbentuk produktif tidak diharamkan. Karena yang dilarang Islam hanyalah yang
konsumtif.[16]
Jawaban :
·
Orang yang beranggapan bahwa pemerasan itu hanya ada pada
pinjaman konsumtif dan tidak ada pada pinjaman produktif adalah tidak
beralasan. Sebab pinjaman produktif pun juga bersifat pemerasn. Sebagai bukti
bahwa bank-bank dewasa ini memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Tetapi
memberikan porsi yang sangat kecil dari keuntungannya itu kepada deposan.
·
Para ulama menetapkan bahwa pinjaman yang diharamkan
Al-Quran adalah pinjaman jahiliyah. Ketika mereka melakukan peminjaman sesama
mereka tentu untuk usah mereka dalam sekala bear. Tidak mungkin bagi mereka
yang termasuk tokoh saudagar besar dan pemilik modal seperti Abbas bin Abdul
Muttalib atau Khalid bin Walid melakukan pemerasan kepada orang yang lemah dan
miskin. Mereka terkenal sebagai dermawan besar dan bangga disebut sebagai
dermawan. Mereka punya kebiasaan menyantuni orang lapar dan memberi pakaian.
Pinjaman yang bersifat konsumtif tidak terjadi antar mereka. Justru pinajam
produktif yang di dalam Al-Quran mereka memang dikenal sebagai pedang yang
melakukan perjalan musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Syam. Masyarakat
Quraisy umumnya adalah pedagang dan pemodal sehingga pinjaman-pinjaman waktu
itu memang untuk kebutuhan perdagangan yang bersifat produktif dan bukan
konsumtif. [17]
7. Pendapat yang mengharamkan bunga bank
a. Majelis Tarjih
Muhammadiyah [18]
- Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada
nomor b dan c :
…bank dengan sistem
riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal
…bank yang diberikan oleh
bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini
berlaku atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
b. Lajnah Bahtsul Masail
Nahdlatul Ulama [19]
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun
1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara
mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba
sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank
hukumnya syubhat.
c. Organisasi Konferensi
Islam (OKI) [20]
Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi,
Pakistan bulan Desember 1970 telah menyepakati dua hal :
§ Praktek
Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
§ Perlu
segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam.
c. Mufti Negara Mesir [21]
Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900
hingga 1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba
yang diharamkan.
d. Konsul Kajian Islam Dunia [22]
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini
telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan
bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang
dilakukan bank-bank konvensional. Diantara 300 ulama itu tercatat nama seperti
Syeikh Al-Azhar, Prof . Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad
Zarqa’, Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir
dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.
8. Hukum Bekerja di Bank Ribawi
Sebagai pelengkap makalah ini, penulis kutipkan masalah
yang timbul akibat haramnya praktek riba di bank konvensional. Yaitu hukum
bekerja sebagai pegawai pada lembaga seperti itu. Dr. Yusuf Al-Qoradawi dalam
Fatwa Kontemporernya menuliskan tentang hukum bekerja di bank ribawi :
“Namun perlu diperhatikan bahwa masalah riba ini tidak hanya berkaitan
dengan pegawai bank atau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah
menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatan yang berhubungan dengan
keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan
Rasulullah saw.: "Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada
waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang
tidak memakannya maka ia akan terkena debunya." (HR Abu Daud dan Ibnu
Majah)
Kondisi seperti
ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang seseorang bekerja
di bank atau perusahaan yang mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem
ekonomi yang disebabkan ulah golongan kapitalis ini hanya dapat diubah oleh
sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam. Perubahan itu tentu saja harus
diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan
guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa.
Islam sendiri
tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam
memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam
ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang
terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka
jalan pun akan terbuka lebar. Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal
ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap kemampuannya
melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat untuk mengembangkan sistem
perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagai contoh perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yang
tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpaham sosialis. Di sisi
lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan
dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang nonmuslim seperti Yahudi dan
sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.
Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan
yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada diantaranya yang
halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan, penitipan, dan sebagainya;
bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh karena itu, tidak mengapalah
seorang muslim menerima pekerjaan tersebut --meskipun hatinya tidak rela--
dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang
diridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia
rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap
dirinya dan Rabb-nya beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan
niatnya: "Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan."
(HR Bukhari)
Sebelum saya
tutup fatwa ini janganlah kita melupakan kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha
diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan
saudara penanya untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari
penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah SWT: "... Tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Baqarah: 173)
9. Alternatif yang harus dilakukan
a. Peran Ulama
Para
ulama sebagai sosok yang seharusnya tidak takut kepada Allah seperti yang
dijelaskan Al-Quran, harus berani mengatakan yang haq walaupun itu pahit.
Keberanian ulama akan dikenang umat sepanjang masa, sedangkan bila mereka hanya
mengejar dunia, takut pada penguasa, tidak berati mengatakan al-haq, tidak akan
dikenal orang. Kalau pun ditulis dalam sejarah, maka hanya akan dicatat sebagai
contoh ulama suu` yang kerjanya menjilat penguasa. Kalau ulama hanya menjadi
tukang stempel maunya penguasa, maka jangan diharap umatnya akan maju. Jadi ulama harus tegas dengan akidah dan ilmu
yang telah dipelajarinya. Tidak boleh goyah hanya untuk kesenangan duniawi.
Selain itu para ulama harus membentuk jaringan umat Islam yang mempersatukan
mereka dalam ukhuwah Islamiyah dan meninggalkan kepentingan golongan, kelompok,
partai dan sebagainya. Ulama harus menjadi motivator berdirinya bangunan Islam
yang kokoh dan bukan menjadi penghambat kebangkitan Islam
b. Sosialisasi
Islam
sebagai sistem ekonomi telah jelas. Bahkan dipelajari dan dilaksanakan justru
di negeri-negeri non Islam. Bagi umat Islam di Indonesia, mendirikan bank
dengan praktek Islam sesungguhnya bukan hal sulit, tetapi barangkali
sosialisasi atas keuntungan praktek bank secarara islami masih belum merata.
c. Pendidikan
Umat
Islam harus memasukkan pelajaran ekonomi yang sesuai dengan syariah Islam di
semua level pendidikan dan membuang jauh-jauh doktrin ekonomi kapitalis yang
telah terbukti gagal total dalam membangun negeri. Jadi perlu disusun ulang
kurikulum pendidikan sejak SD, SMP, SMU, SMK dan perguruan tinggi. Jangan
adalagi perguruan tinggi milik umat Islam yang masih membuka fakultas ekonomi
tetapi isinya justru ekonomi kapitalis.
d. Pemerintah
Pemerintah
harus sadar bahwa tanpa dukungan umat Islam, mareka tidak akan lama memimpin.
Umat Islam sudah semakin pandai dan mengerti terntang ajaran agamanya. Dan
hasrat untuk menerapkan sistem Islam dalam segala segi semakin hari semakin
kuat. Hal ini harus diakomodir dalam bentuk undang-undang dan kebijakan yang
nyata bila tidak ingin ada pergolakan sosial yang membuat stabilitas terganggu.
Namun hal ini akan kembali kepada mentalitas para pejabat. Apakah mereka adalah
seorang negarawan atau hanya sekedar kaki tangan barat yang duduk bersimpuh di
depan polisi dunia itu.
Oleh: Sarwat, Ahmad, Lc.2009, Kajian Tafsir Ayat Ahkam Ayat-Ayat Al-Quran Yang Mengandung Hukum syariat, :Du Center
Daftar Pustaka
1.
Tafsir At-Thabari, juz 6
2.
Wahbat Az-Zuhaili Dr., Tafsir
Al-Munir, Darul Fikr Al-Mu’ashir Libanon
3.
Wahbat Az-Zuhaili Dr., Tafir
Al-Munir fil Aqidah wa as-Syariah wa Al-Minhaj, Daarul Fikr, Damaskus, Syria
4.
Wahbat Az-Zuhaili Dr., Nazhoriat
ad-Dharurat as-Syar’iyah, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, 1985
5.
Sahih Bukhori 2084 Bab Al-Buyu`
6.
Muhammad Shidqi ibn Ahmad
Al-borno, Al-Wajiz fi Idhahi Qowa’id al-Fiqhiyah, Univ. Al-Imam Muhammad Ibn
Su`ud, Riyadh, 1990[1]
7.
Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-Borno
8.
As-Suyuti Jalaluddin Abd. Rahman,
al-Asybah wa Nazhair fi Qowa’id wa Furu` al-Fiqhiyah as-Syafi’iyah, Darul Kutub
al-amaliyah, Beirut
9.
Kahar Mansyur, Beberapa pendapat
tentang riba, Jakarta, Kalam Mulia, 1999
10.
الربا
والمعملات المصرفية في نظر الشريعة الإسلامية
11.
Syafi`I Antonio, Muhammad, Bank
Syariat dari teori ke praktek, Gema Insani Press, Jakarta 2001,
12.
Dr. Abu Sura`i Abdul Hadi MA, Bunga Bank Dalam Islam,
Al-Ikhlas Surabaya, 1993, hal 159-160
13.
Dr. Dawalibi, Al-Madkhal Ila ‘Ilmi
Ushulil Fiqhi, hal 46
14.
Dawam Raharjo, Islam dan
Transformasi Sosial Ekonomi, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta, 1999
15.
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di
Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999
16.
Yusuf Al-Qorodhowi, Fatwa-fatwa
Kontemporer
[1] Tafsir At-Thabari, jilid 6 hal 33 dan Tafsir Al-Munir oleh Dr. Wahbat
Az-Zuhaili, Darul Fikr Al-Mu’ashir Libanon, juz 3
hal
84-85
[2] Ibid
[3] Dr. Wahbat Zuhaili, Tafir
Al-Munir fil Aqidah wa as-Syariah wa Al-Minhaj, Daarul Fikr, Damaskus, Syria,
Juz 3, hal 91-93
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tirmizy, Ibnu Majah dari Ibnu
Mas’ud.
[5] Hadis diriwayatkan Bukhori dalam shahihnya no 2084 Bab Al-Buyu`
[6] Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-borno, Al-Wajiz fi Idhahi Qowa’id
al-Fiqhiyah, Univ. Al-Imam Muhammad Ibn
Su`ud,
Riyadh, 1990, hal 175
[7] Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-borno, Op. Cip., hal 180
[8] As-Suyuti Jalaluddin Abd. Rahman, al-Asybah wa Nazhair fi Qowa’id wa
Furu` al-Fiqhiyah as-Syafi’iyah, Darul
Kutub
al-amaliyah, Beirut, 1983, hal 85
[9] Dr. Wahbat Zuhaili, Nazhoriat ad-Dharurat as-Syar’iyah, Muassasah
Ar-Risalah, Beirut, 1985
[10] Syafii
Antonio, Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Central Bank of
Indonesia and Tazkia Institut, 1999
[11] Kahar Mansyur, Beberapa pendapat tentang riba, Jakarta, Kalam Mulia,
1999
[13],
[14] Syafi`I Antonio, Muhammad, Op. Cit., hal 58
[15] Syafi`I Antonio, Muhammad, Op. Cit., hal 59
[16] Dr. Abu Sura`i Abdul Hadi MA,
Bunga Bank Dalam Islam, Al-Ikhlas Surabaya, 1993, hal 159-160
[17] Dr. Dawalibi, Al-Madkhal Ila ‘Ilmi Ushulil Fiqhi, hal 46
[18] Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Lembaga Studi
Agama dan Filsafat, Jakarta, 1999
[19] Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta,
1999
[20] Syafi`I Antonio, Muhammad, Op. Cit., hal 65
[21] Syafi`I Antonio, Muhammad, Op. Cit., hal 66
[22] Syafi`I Antonio, Muhammad, Op. Cit., hal 66
Post a Comment
Post a Comment