Alqur'an sebagi kitab suci umat islam
yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad shallallahualaihi wa sallam merupakan
kitab yang global dalam penyampaian pesan Tuhan yang ditujukan pada umatnya.
berangkat dari hal ini muncullah penafsiran-penafsiran yang beragam dalam
memahami makna yang terkandung di dalamnya. Di masa kenabian hal semacam ini tidak terjadi
karena pada waktu itu Nabi yang secara langsung memecahkan setiap problema yang
muncul dikala itu. Mulailah setelah beliau wafat para sohabat menggunakan hadits-hadits
nabi untuk menjelaskan maksud suatu ayat tertentu. Tafsir ini dikenal dengan
tafsir biriwayah.
Dalam
perkembangannya, Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dimulai dari zaman
kepemimpinan Rasulullah saw hingga khalifah-khalifah setelahnya, Islam terus
berkembang. Dan puncaknya, puncak keemasan keilmuan Islam terjadi pada masa
kekhalifahan Daulah Abbasyiah (750-1075 M.)[1].
Di masa Dinasti Abbasiah teori-teori barat masuk dalam
ranah para cendikiawan muslim, sebagian mereka mengagumi ilmu tersebut. Hal ini
sangat berpengaruh terhadap pemikiran dan metode penafsiran serta pemahaman
mereka dalam memahami teks Alquran yang akibatnya muncul pemikiran baru yang
sebagian berselisih paham dengan pemikir terdahulu. Teori-teori itu berkembang
begitu cepat walupun sebagian ulama salaf menolaknya.
Dalam
sejarah penafsiran alqur'an telah terjadi pergeseran paradigma epistimologi:
Pertama,
era formatif yang berbasis pada nalar-nalar mistis, terjadi pada era klasik
dimana banyak didominasi oleh tafsir bilma'tsur.
kedua
era firmatif yang berbasis pada nalar ideologis terjadi pada abad pertengahan.
ketiga
era reformatif yang berbasis pada nalar kritis. Muncul karena ketidak puasan
para penafsir modern kontemporer terhadap produk-produk penafsiran konvensional
yang dinilai ideologis, otoriter, hegemonik dan sektarian sehingga menyimpang
dari tujuan utama diturunkannya Alqur'an sebagai petunjuk bagi manusia (hudan
li al-nas)[2].
Alqur’an
secara teologis memang diyakini memiliki kebenaran mutlak, namun hasil penafsiran
atas alquran bersifat nisbi dan relatif, sebab terkait dengan latar belakang
sosio-kultural dan keilmuan bahkan 'kepentingan' masing-masing mufasir.
Artinya, tafsir terbentuk atas dasar interaksi antara berbagai aspek dengan
makna-makna yang dikonsumsi atau diproduksi dari pembacaan atas alquran[3].
Dalam pengantarnya juga di katakan bahwa tafsir adalah sebuah produk dan proses
manusia (penafsir) dalam memahami alqur'an, yang meniscayakan adanya dialektika
antara wahyu, akal dan realitas (konteks).
Sebagai
mana pemikir islam di wiliyah timur tengah, para cendikiawan muslim di
indonesia melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran yang dianggap liberal, bahkan
lebih ketat para ulama' menganggap pemikir yang liberal adalah keluar dari
islam. Para pemikir yang menawarkan metode baro dalam memahami ajaran-ajaran
islam. Menulusur pada sejarah perkembangan studi agama di Indonesia Fachri Ali
dan Bachtiar Effendy mematakannya.
Menurutnya
Peta pemikiran Islam di Indonesia dapat dikategorikan menjadi formalistik,
substntialistik, transformatik, totalistik, idealistik, dan realistik[4].
Dari pemetaan tersebut, dalam hal ini pembahasan lebih dikhususkan pada corak
pemikiran Islam yang bersifat substantialistik yang mengajukan argumen bahwa
yang paling penting dari seseorang adalah aksentuasi substansi iman atau
peribadatan, bukan hal-hal yang sifatnya simbolik formalistik dan ketaatan
literal kepada teks wahyu Tuhan dalam keberagamaan.
Dengan
memperhatikan objek masyarakat indonesia yang begitu majemuk
keberagamaannya serta membandingkannya
dengan berbagai situasi dan kondisi politik di luar negeri, study agama
(religious studies) di indonesia terasa sangat urgen dan mendesak untuk
dikembangkan[5].
Sehingga sebagai konsekuensinya para cendikiawan mau tidak mau menemukan solusi
yang bugar dalam menanggapi atau menjawab problema yang ada. Permasalahannya
kemudian adalah pemikirannya yang baru tidak sesuai dengan teks-teks klasik
sebagaimana yang telah mereka kaji atau didakwahkan para Ulama terdahulu, maka
mereka akan sulit untuk menerimanya.
Dalam
menghadapi hal-hal tersebut wawasan muslim terbagi menjadi beberapa varian;
Pertama;
ada yang lebih dahulu ingin mendalami agamanya, sebagai modal dasar mengadakan
penyesuaian pemahaman, sebagai basis perluasan cakrawala dalam pembaharuan yang
dapat dilakukan.
Kedua;
ada yang lebih terttarik melakukan pembaharuan islam dengan modal pinjaman dari
luar, sehingga wawasannya lebih bersifat eksternal.
Ketiga;
ada juga yang tidak tahu menahu tentang apa yang harus dan boleh diadakan
pembaharuan dalam islam, tetapi dia ingin dimasukkan dalam kelompok
pembaharuan.
Keempat;
adalagi ketakutan dengan suara pembaharuan, meskipun dia sendiri sudah ikut
larut dalam pembaharuan itu semdiri tanpa sadaran[6].
Soal pembaharuan
pemikiran dalam Islam, secara konseptual telah dinyatakan sendiri oleh Nabi
Muhammad shallaLlahu alaihi wa sallam bahwa setiap seratus tahun akan terjadi
pembaharuan pemikiran islam[7].
Jadi tidaklah heran kalau dalam usia Islam sekarang yang sdah tidak muda lagi
memecahkan beragam pemikiran, baik yang sampai pada pembentukan sebuah aliran
atau madzhab atau hanya sebuah silang pendapat antara cendikiawan muslim.
Semacam
ini mungkin tidak akan begitu kompleks permasalahannya apabila terjadi pada
Negara-negara islam yang ada di Timur tengah misalnya Arab, tapi dalam wilayah
Negara yang seperti Indonesia yang plural, terdapat beragam agama, aliran,
tentu permasalahan perbedaan pemahaman akan lebih rumit. Pluralitas agama yang
ada di Indonesia menuntut pemikir agama untuk mencari jalan agar perdamaian
antara umat tetap terjaga. Fakta yang telah ada sekarang misalnya, kekerasan
yang mengatasnamakan agama marak terjadi di Indonesia. Pemboman rumah ibadah,
penyerbuan warga yang dituding mengikuti faham yang tidak benar atau dianggap
sesat, ironis sekali. Hal ini hanya akan terselesaikan apabila masing-masing
umat menghilangkan tradisi lama dalam hal ini klaim kebenaran terhadap ajaran
yang dianutnya. Menganggap ajaran lain adalah salah dan tidak akan selamat.
Terbentuknya
faham yang semacam itu, hanya menganut ajaran yang diwariskan oleh nenek moyang
mereka, sedangkan sekarang keadaan telah berubah. Pehaman terhadap agama
seberapa dalam kefanatikan terhadap ajarannya berpengaruh pada masa depan
perdamaian dunia. Klaim kebenaran adalah suatu “penyakit kronis” yang meski
dijauhkan dari pikiran manusia. “Penyakit kronis” akan semakin berbahaya jika
terus dipelihara di Indonesia yang plural.
Kekeliruan
dalam pandangan tersebut hanya akan terselesaikan dengan membaharui pemikiran
tentang agama. Terutama agama islam yang menjadi agama mayoritas di Negara ini.
Dalam makalah ini penulis akan berusaha mendalami apa makna Islam dan Agama
islam. Karena pemahamannya islam sebagai agama ataupun islam sebagai ajaran
atau islam sebagai objek pembelajaran tidak dapat dipahamai dalam satu makna
jika tidak ingin menghasilkan kesimpulan yang keliru.
Tuhan
menciptakan berbagai agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua; seberapa
banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada ummat manusia. Kepada
tuhanlah semua kembali, maka kita tak boleh mengambil alih tuhan untuk
menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apapun termasuk dengan fatwa'[8].
Dalam
hal ini, sesuai disiplin ilmu yang penulis pelajari, maka akan meninjau arti
agama dalam persepektif Al-Quran. Bagaimana kitab suci tersebut menjelaskan
tentang islam oleh karenanya akn membahas beberapa ayat yang berhubungan dengan
tema besar tersebut. Untuk memperoleh sebuah pemahaman yang lebih mendalam
penulis akan mempersempitkan analisa yang berfokus pada ayat 19 surat Ali
Imran. إِنَّ
الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
Ayat
tersebut didalamnya terdapat juga klaim kebenaran agama jika dilihat dari
lafdzinya. Atas dasar inilah ayat ini akan menjadi focus kajian dalam analisis
ini. Meskipun dalam penjelasannya nanti tidak akan mengesampingkan ayat-ayat
lain yang berhubungan. Lebih menarik bahwa ayat ini juga dijadikan landasan
pemikiran sebagian cendikiawan muslim yang menyimpulkan “kebebasan beragama”. Mereka
memperoleh gagasan bahwa dalam ayat tersebut terdapat konsep pluralisme agama.
Berdasarkan surat ali imran ayat وَمَنْ يَبْتَغِ
غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ[9], ada dua pandangan yang berbeda tentang
kriteria agama yang benar. Sebagia mufassir menjelaskan bahwa agama yang benar
(din al-hak) adalah dan hanyalah islam. Agama apapun selain islam ditolak.
Bertolak dari din diatas maka din dibedakan menjadi dua din alhak yaitu
agama yang dibawa oleh Muhammad SAW dan din yang dianut yahudi.
Muthari dalam kelompok mufakirun mustanirun, bahwa yang dimaksud islam di
sini adalah kepasrahan kepada alhak, kebenaran atau Allah, dan bbukan agama
terakhir yang dibawa nabi muhammad saw. Perbedaan dua kelompok ini besuber pada
konsep din dan islam[10].
Hasil
penafsiran yang berbeda meski berasal dari sumber yang sama, ini adalah
kejadian yang wajar, karena meskipun Al-Qur’an kitab yang diakui keontetikannya
tapi maknanya yang universal akan membuahkan makna yang beragam sesuai dengan
disiplin yang digunakan dalam pendekatannya. Serta latar belakan dan biografi
kehidupannya. Dalam situasi macam apa para penafsir hidup, akan mewarnai corak
penafsiran. Dr. Abdul Mustakim pengantarnya juga mengatakan bahwa tafsir
adalah sebuah produk dan proses manusia (penafsir) dalam memahami al qur'an,
yang meniscayakan adanya dialektika antara wahyu, akal dan realitas (konteks).[11]
Bagaimana memaknai ayat tersebut
akan diketahui sebuah konsep agama. Konsep “din” dan islam yang mewarnai
perkembangan pemikiran islam disemua belahan dunia. Sebenarnya permasalahan ini
bukan hal yang baru perdebatan tentang konsep agama yang benar masih terus
berlanjut. Di Indonesia pun muncul beberapa pemikir yang memunculkan ide
pemikiran yang ekstrim, seperti Nur Kholis Majid, misalnya.
Beberapa tahun silam umat islam
digemparkan dengan kasus yang baru. Pernyataan bahwa semua agama adalah benar,
yang diungkapkan oleh tokoh muda Ulil Abshar Abdalla, tentu telah menusuk telinga
para Ulama Indonesia terutama. Tulisan Ulil Abshar-Abdalla, Koordinator
Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta : “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”
yang dimuat di Kompas pada tanggal 18 November 2002 mengandung banyak
kekeliruan yang mendasar.
Tulisan Ulil Abshar-Abdalla tersebut
kemudian mendapat berbagai tanggapan dari berbagai pihak baik yang pro terhadap
pemikiran beliau atau yang menentang atau bahkan mengecam pemikiran beliau.
Sehingga kemudia kumpulan artikel perdebatan tersebut dibukukan dalam buku yang
diberi judul ISLAM LIBERAL DAN FUNDAMENTAL, SEBUAH PERTARUNGAN WACANA yang
diterbitkan oleh Elsaq Press Yogyakarta tahun 2005.
Pemikiran keislaman dekonstruktif yang dilontarkan Ulil abshar-Abdalla di
harian kompas pada 18 nopember 2002. Judul menyegarkan kembali pemahaman islam.
Gagasannya cemerlang bagi yang pro dan menghawatirkan bahkan membahayakan bagi
yang kpnta.
Menurut pandangan prof. Dr. Machasin tulisan Ulil tersebut telah
menampilkan dua perbenturan dua cara pandang terhadap islam yang sampai batas
tertentu menggambarkan dua metodologi yang sedang bersaing dalam pemikiran
islam. Pertama berangkat dari dan berpusat pada wahyu serta pemahaman yang
dikucilkan melalui sejarah. Kedua,mencoba membongkar kekudusan cara pandang
kedua.
Syarat memahami
islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apapun penafsiran yang kita
bubhkan atas agama itu, patokan utama yang harus jadi batu uji adalah maslahat
manusia itu sendiri[12].
Melihat peristiwa yang terjadi, yang
sampai dibukukan, menurut penulis sangat menarik untuk dikaji ulang. Seberapa
anehnya sebenarnya pemikiran Ulil Abshar Abdalla sampai-sampai menimbulkan
perdebatan yang begitu serius. Dari perdebatan panjang tersebut tidak akan
membuahkan hasil apapun kecuali “pertarungan” pendapat yang akan terus
berkelanjutan dan akan membingumgkan para pembaca umat islam. Olehkarena itu
perlu analisa apa yang sebenarnya mereka perdebatkan, dari mana asal
perselisihan paham tersebut. Dapatkah kemudian perselisihan tersebut menemui
titik temu? Penulis akan coba mencarinya.
Dalam perdebatan tersebut pemaknaan
terhadap makna islam adalah suatu inti permasalahan dari factor yang mendasari pemikiran
Ulil Abshar melihat ajaran-ajaran dalam Islam. Tampaknya beliau memiliki
pandangan yang unik terhadap islam. Ini yang mempengaruhi pemikirannya.
Biografi kehidupannya serta disiplin ilmu yang ia pelajari tentu berpengaruh
besar dalam ide-idenya tersebut. Maka akan kami tuliskan terlebih dahulu dalam
bab kedua nanti sebelum bicara jauh mengenai pemikirannya.
Mulai abad ke-18 kebenaran wahyu (islam) mulai digoyahkan oleh
rasionalisme barat yang mengatakan bahwa tuhan tidak ikut campur maasalah
kegiatan alam,tuhan hanya menciptakan dan memberika aturan saja.[13] Nampaknya Ulil Sejalan dengan pemikiran
tersebut. Pemikiran beliau memandang islam bukan sebagai lembaga agama yang
dianggap mengungkuung kebebasan berfikir.
Dalam pengantar bukunya, Membakar Rumah Tuhan, beliau mengatakan
Komentar-komentar saya berkenaan dengan islam, bernada skepttis dan sinis. Saya
dengan sadar saya rasakan, karena ada kemuakan pada pihak saya sendiri atas
cara bagaimana agama, islam terutama, diperlakukan sepanjang satu dekade
terakhir ini. Islam sudah menjadi barang 'mati' yang dijadikan alat tukar
dalam' politik, bukan lagi menjadiandasi transformasi sosial melalui potensinya
sebagai alat kritik.[14]
Lebih keras lagi beliau
kemudian mengucapkan bahwa Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan
seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah. Oleh
karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah
"proses" yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga
agama" yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
(QS. Ali Imran: 19), lebih tepat diterjemahkan
sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah
proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)[15].
Penafsir lain misalnya Sayyid
Quttub menafsirkan ayat tersebut din yang berarti mengikuti dan mematuhi
kepemimpinan Tuhan yang hanya Dia saja yang memiliki hak untuk dituruti dan
dipatuhi, yang darinnya saja diterimanya segala hukum dan peraturan dan hanya
kepadanya saja manusia berserah diri.
Tanpa kepatuhan mutlak mereka semua bukan muslim'. Sbagai syarat
kepatuhan ini ialah berhukum kepada Allah dan Rasul, mengemnalikan semua urusan
kepada Allah dan ridho kepada hujum Rosul serta melaksanakannya dengan sepenuh
hati.[16]
Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama
masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini
pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan yang kehadirannya serasa
begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja
rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu
hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan
menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali
mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan
hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya di balik gerakan ini?
Sebenarnya fahaman inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur
dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan
pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini
mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam.
Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan
(pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja.
Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal
keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana
berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara.
Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema
penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di
Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Perlu kita perhatikan pula bagaimana Ulil mengusulkan
sebuah teori bagaimana islam menuju kemajuan adalah dengan mempersoalkan cara
kita menafsirkan agama ini. Menurutnya kita memerlukan beberapa hal:
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial,
kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus
berubah.
Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana
unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang
merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam
yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.
Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya
yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks
Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual
itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan mengikutinya.
Peneliti bukan tidak setuju terhadap bantahan-bantahan
yang ditujukan terhadap pemikiran Ulil namun tujuan kami disini bukan untuk
mengkritik atau menolak ide-ide Ulil namun mencoba untuk mengambil sisi
positifnya nilai-nilai yang dapat diambil dari ide-idenya. Karena saya anggap
dari sekian banyak ide yang ditawarkannya tentulah ada beberapa yang dapak kita
ambil, artinya tidak semua pemikirannya ditolak begitu saja.
B. Rumusan masalah
Sebelum masuk lebih jauh dalam dunia pemikiran Ulil
Abshar Abdalla, penyusun terlebih dahulu membuat rumusan masalah yang akan
dibahas, supaya akan menghasilkan sebuah analisa yang falid dan benar –benar
terarah pada apa yang kita maksud. Sehingga para pembaca tidak “kabur” dalam
memahami apa yang kami tulis. Serta dimaksudkan agar lebih mudah pencarian dan
pehaman permasalahan. Permasalahan yang akan kami tulis di sini adalah:
1. Apa
makna islam dalam alqur'an dan bagaimana Ulil Abshar Abdalla menafsirkannya?
2. Apa
implikasi pemikiran Ulil Abshar Abdalla mengenai pemaknaan ayat tersebut?
C.
Tujuan Penelitian
Melihat
pada rumusan masalah, maka peneliti dalam hal ini memiliki
tujuan untuk,
1.
mengetahui secara jelas pandangan Ulil Absar Abdalla dalam
menafsirkan makna Islam dalam Surat Ali Imran ayat 19. Serta perbandingnnya
dengan pandangan para mufasir.
2.
Memahami serta berusaha menjelaskan implikasi dari
pemikirannya bagi para generasi pemikir selanjutnya.
Untuk mencapai tujuan yang
ada maka peneliti merasa perlu memahami betul biografi dari Ulil Abshar Abdalla
dan tentunya mempelajari berbagai pemikirannya yang dituliskan dalam
karya-karyantya serta bagai mana pemikir lain menanggapinya. Tentunya ini tidak
mudah untuk ditempuh.
D.
Tinjauan Pustaka
Buku-buku yang membahas tentang
makna agama dan kebanyakan membahas tentang islam secara umum atau islam
disandarkan pada term lain, diantaranya sebagai berikut akan disebutkan. Tapi
meskipun banyak pembahasannya dalam sekripsi ini terdapat beberapa hal yang
belum benar-benar dibahas secara mendetail. Serta metode saya yang melihat dari
sudut pandang seorang pemikir yang kontroversional akan embuat tulisan ini
benar-benar terasa segar dan berbeda dengan yang telah ada. Diantara buku-buku
tersebut kami sebutkan berikut:
ü PLURALISME AGAMA MENURUT
NURCHOLISH MADJID, WIRATAMA SP, ADI (2010)
PLURALISME AGAMA MENURUT NURCHOLISH MADJID. Skripsi thesis, Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Salah satu tesis ini telah membahas tentang pluralisme
menurut Nur kholis Madjid, perlu peneliti membacanya, karena kemudian sebagai
perbandingan terhadap pemikiran Ulil Abshar Abdalla.
ü Islam dan Pluralisme, Akhlaq Qur’an Menyikapi Perbedaan ditulis
oleh Jalaludin Rahmat, 2006 PT Serambi Ilmu Semesta.
ü Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, Muhammad Tholhah Hasan,
Lantabora Press-Jakarta Indonesia 2005
E. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat Library
Research atau Studi Kepustakaan yakni penelitian yang dilakukan berdasarkan
data-data yang bersifat tulisan-tulisan yang berasal dari berbagai sumber yang
berkaitan dengan pokok pembahasan , baik itu bersifat primer, yakni karya dari Ulil Abshar Abdalla sendiri speperti Islam Liberal Dan
Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana Elsaq Press Yogyakarta 2005, islam dan
barat demokrasi dalam masyarakat islam editor,; ulil absor abdalla, membakar
rumah Tuhan, ulil absor abdalla, maupun yang bersifat sekunder, yakni sumber
lain yang berhubungan erat dengan pemikirannya, dan disesuaikan dengan objek
yang ada.
Adapun metode-metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Interpretatif, digunakan untuk memahami dan
menyelami data yang terkumpul untuk kemudian mengungkap arti dan nuansa tokoh
secara khas.
2. Analisis, digunakan untuk merinci
istilah-istilah atau pernyataan kedalam bagian-bagiannya sedemikian rupa
sehingga kita dapat melakukan pemeriksan atas makna yang dikandungnya.
3. Metode kesinambungan historis, metode ini
diperlukan untuk mendapatkan latar belakang eksternal dan internal yang turut
membentuk pandangan tokoh, yang dalam hal ini adalah keterkaitan historis Ulil Abshar Abdalla dalam memandang modernisasi Islam di
Indonesia.
F.
Sistematika Penulisan
Secara
garis besar penelitian tergambar dalam V bab. Untuk tujuan sistematisasi, maka
penelitian ini akan disusun sesuai dengan sistematika pembahasan sebagai
berikut :
Bab I
adalah pendahuluan, dan pendahuluan ini merupakan langkah awal dari penelitian
yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan terakhir sistematika
pembahasan, dan dalam proposal ini disertai juga daftar pustaka sementara.
Bab II
mengetengahkan biografi dari Ulil Abshar Abdalla,
meliputi riwayat kehidupan dan pendidikan, metodologi pemikiran yang menentukan
karakteristik pemikiran modernnya.
Bab III
berisikan tentang definisi umum islam dan agama islam
serta arti prlulisme. Dibahas pula di dalamnya, pluralisme yang terjadi di Indonesia beserta ruang
lingkup kajiannya. Baik itu pemikiran Ulil Abshar Abdalla
sendiri, maupun pandangan Intelektual Muslim lainnya.
Bab IV
adalah bagian paling sentral dalam penelitian ini. Karena di dalamnya dibahas
ulasan tentang pemikiran islam dan agama islam
dalam hal ini pluralisme dalam perspektif Ulil Abshar Abdalla akan dibahas lebih detail, dan
titik temu pertentangan pemikirannya dengan mayoritas Ulama Fundamentalis yang
ada di Indonesia.
Bab V
merupakan bagian akhir dari skripsi penelitian yang akan dibuat, yakni berisi
penutup beserta kesimpulan implikasi pemikirannya dalam perkembangan Islam
Indonesia pada masa yang akan datang, dan sekaligus jawaban atas rumusan
masalah yang ada.
[1] Atang Abd. Hakim dan Jaih
Mubarak, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008),
hlm.138-139.
[4] Zuly Qodir, Islam Liberal
(Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia) (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), hlm. 52.
[6] Muhammad Tholhah Hasan, Islam Dalam
Perspektif Sosio Kultural, Lantabora press-jakarta
indonesia,
2005
[8] Jalaludin
Rahmat, Islam
dan Pluralisme, akhlaq quran menyikapi perbedaan PT Serambi Ilmu Semesta. ,2006
[13]
Muhammad Tholhah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural,
lantabora press-jakarta indonesia 2005).
Post a Comment
Post a Comment