A. Latar Belakang Pemilihan Masalah
Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang
Allah Y turunkan kepada Nabi Muhammad e, yang dinukil secara mutawatir kepada kita, yang
isinya memuat petunjuk bagi kebahagiaan kepada orang yang percaya kepadanya.
Al-Qur’an, sebuah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci juga diturunkan dari sisi (Allah Y) Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu.[1]
Sekalipun turun di tengah bangsa Arab dan dengan bahasa Arab, tetapi misinya
tertuju kepada seluruh umat manusia, tidak berbeda antara bangsa Arab dengan
bangsa non Arab, atau satu umat atas umat lainnya.[2]
Keberadaan
al-Qur’an di tengah-tengah umat Islam, karena berfungsi sebagai hudan
(petunjuk), furqan (pembeda), sehingga menjadi tolok ukur dan pembeda antara
kebenaran dan kebatilan, ditambah keinginan untuk memahami petunjuk yang
terdapat didalamnya telah melahirkan beberapa metode untuk memahami al-Qur’an.[3]
Bermunculanlah karya-karya tafsir[4]
yang beraneka ragam yang kesemuanya berkeinginan untuk memahami apa yang
terdapat didalam al-Qur’an agar dapat membimbing dan menjawab
permasalahan-permasalahan umat manusia dimuka bumi ini.
Luasnya
keanekaragaman karya-karya tafsir tidak dapat dipungkiri karena telah menjadi
fakta bahwa para penafsir pada umumnya mempunyai cara berfikir yang
berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan orientasi mereka
dalam menafsirkan al-Qur’an. Sejarah membuktikan, perbedaan-perbedaan yang
terjadi tidak hanya dalam masalah-masalah penafsiran tapi juga pada sisi-sisi
lain dari ilmu-ilmu keislaman. Dalam bidang fiqih, ada mazhab-mazhab fiqih yang
berkembang semisal mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali. Dalam bidang
aqidah, banyak masalah-masalah kontroversial yang diperdebatkan diantara
kelompok-kelompok seperti Murji`ah, Mu`tazilah, Asy`ariyah, Maturidiyah dan
yang lainnya. Begitu juga dalam bidang politik seperti adanya golongan Syi`ah,
Khawarij dan Sunni.
Sebagai
contoh, perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab politik berkisar pada masalah
khilafah yaitu puncak kepemimpinan (al-imamah al-kubra). Dinamakan dengan
khilafah, karena yang memegang jabatan ini merupakan pemimpin tertinggi kaum
muslimin dan pengganti Nabi e dalam urusan
kehidupan mereka. Dinamakan dengan imamah karena seorang khalifah disebut juga
“imam” yang wajib dipatuhi oleh rakyat yang ada dibelakangnya. Pemerintahan
kenabian menuntut seorang imam untuk berada ditengah-tengah kaum muslimin agar
dapat memperhatikan kemaslahatan mereka di dunia, memelihara agama mereka yang
diridai serta menjamin kemerdekaan keyakinan, jiwa dan harta mereka dalam ruang
lingkup syariat Islam.[5]
Mazhab-mazhab
politik pada awalnya bersifat dan bertendensi politis. Akan tetapi, watak
politik dalam Islam berhubungan erat dengan agama, sehingga dalam orientasinya
sering melakukan pembahasan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan
pokok-pokok agama (usul al-din) sekitar keimanan dan akidah namun juga
berkembang dalam mazhab fiqih dan masalah furu’.[6]
Penelitian
ini mencoba mengangkat permasalahan
imamah yang selalu diperdebatkan oleh mazhab-mazhab politik terutama dua
kelompok besar yaitu Sunni dan Syi`ah[7].
Penelitian diarahkan pada penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan imam dalam
al-Qur’an dengan mengambil penafsir-penafsir seperti, dari kalangan Sunni yaitu
tafsir karya Abu Ja’far al-Tabari yang berjudul Jami’ al-Bayan `an Ta’wil Ayi
al-Qur’an,[8]
sedangkan dari kalangan Syi`ah dipergunakan tafsir karya Muhammad Husayn
al-Tabataba'i yang berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an.[9]
Kalangan
Sunni telah sepakat tentang kemestian adanya seorang imam untuk menegakkan
persatuan dan mengatur masyarakat, mengusahakan berlakunya hukuman atas
kejahatan-kejahatan tertentu, mengumpulkan zakat dari orang kaya dan
mendistribusikannya kepada orang miskin, mempertahankan batas-batas wilayah
kekuasaan, menyelesaikan perkara dengan cara mengangkat para hakim, menyatakan
pendapat, serta melaksanakan hukum-hukum syariat sehingga tercipta negara yang
penuh keberkatan sebagaimana yang diajarkan Islam.[10]
Ibn Khaldun, dalam bukunya al-Muqaddimah, menjelaskan makna "imamah"
sebagai usaha membawa masyarakat agar kembali kepada tuntunan ajaran Islam
untuk kemaslahatan dunia dan akherat, karena masalah-masalah duniawi harus
kembali kepada Allah dengan mempertimbangkan kemaslahatan akherat, dengan
begitu, pada hakekatnya khilafah atau imamah merupakan pembawa ajaran Islam
agar dapat menjaga keutuhan agama dan mengelola urusan-urusan dunia.[11]
Pandangan-pandangan
Sunni tentang imamah ternyata berseberangan dengan pandangan-pandangan Syi`ah,
walaupun penganut Syi`ah terbagi pada kelompok yang ekstrim, moderat dan
liberal. Namun pandangan kelompok-kelompok yang ada dalam tubuh Syi’ah sendiri
memiliki kesamaan bahwa imamah merupakan salah satu rukun iman dimana iman
seseorang dianggap tidak sempurna bila tidak ada iman kepada imamah.[12]
Pendapatnya yang lain adalah adanya anggapan bahwa seorang imam ditunjuk
berdasarkan nas dari Nabi, seorang imam juga bebas dari dosa dan kesalahan
karena dia ma`sum seperti halnya para nabi, dan juga seorang imam adalah
pemimpin yang diumumkan Allah agar mereka menjadi saksi atas segenap manusia.[13]
Ulama-ulama
Syi`ah menilai al-Qur’an dengan penilaian yang berbeda dari ulama Sunni pada
umumnya, diantara perbedaan itu karena ulama Syi’ah beranggapan bahwa sebagian
ayat-ayat al-Qur’an telah mengalami perubahan dan penyimpangan dikarenakan
sebagian ayat-ayatnya ada yang asli namun ada juga yang palsu, seperti pada
al-Qur’an: (1): 7, (2): 23, 57, 59 87, 9; (3): 33, 43, 44, 55, 81, dan masih
banyak lagi. al-Tabarsi dalam bukunya, Fasl al-Khitab Fi Tahrif Kitab Rabb
al-Arbab, menyatakan “Ini adalah kitab yang lembut mulia, saya tulis kitab ini
untuk menyatakan kebenaran bahwa telah terjadi perubahan dalam al-Qur’an, dan
saya ungkapkan kecurangan-kecurangan orang yang berbuat jahat dan permusuhan”.[14]
Demikian juga adanya pandangan bahwa al-Qur’an itu memiliki sisi lahir dan sisi
batin. Jika sisi lahir al-Qur’an berkaitan dengan masalah tauhid, kenabian dan
risalah maka sisi batin al-Qur’an membahas tentang imamah dan wilayah.[15]
Inilah
sedikit gambaran yang menjadikan penulis memiliki ketertarikan untuk membuat
penelitian perbandingan antara pandangan-pandangan al-Tabari yang memang secara
historis memiliki kedekatan dengan kemunculan Syi`ah namun tetap mengedepankan
penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan pemikiran Sunni, dan al-Tabataba'i
dengan pemikiran-pemikiran ke-Syia'h-annya yang sangat kental.
B. Perumusan Masalah
Sekilas gambaran pada
pembahasan-pembahasan sebelumnya membuat peneliti merasa perlu mengangkat
beberapa rumusan masalah berkaitan dengan kajian "imam" menurut dua
penafsir ternama, al-Tabari dan al-Tabataba'i, diantaranya adalah:
1. Bagaimana penafsiran al-Tabari
dan al-Tabataba'i tentang "imam".
2. Mengapa terjadi persamaan dan
perbedaan al-Tabari dan al-Tabataba'i dalam menafsirkan ayat-ayat tentang
"imam".
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk:
1. Mengetahui penafsiran-penafsiran
al-Tabari dan al-Tabataba'i tentang "imam" setelah mengkaji karya
mereka di bidang tafsir.
2. Mengetahui persamaan dan
perbedaan al-Tabari dan al-Tabataba'i mengenai tema ini serta kekhasan
masing-masing.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini berusaha mengkaji,
meneliti, menelaah dan memahami pemikiran al-Tabari dan al-Tabataba'i tentang
"imam" dengan merujuk kepada karya tafsir mereka dan karya tulis
keduanya yang lain yang terkait dengan tema tersebut.
Metode deskriptif-analitis dirasakan
lebih tepat untuk dipergunakan dalam penelitian ini, karena tidak hanya
terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data namun juga meliputi usaha
klasifikasi data, analisa data dan interpretasi tentang arti data yang
diperoleh sehingga dapat menghasilkan gambaran yang utuh dan menyeluruh.
Sumber data primer dalam penelitian ini
adalah berbagai peninggalan tertulis yang berkaitan dengan tema yang diangkat
dari kedua penafsir, al-Tabari dan al-Tabataba'i, terutama karya tafsir mereka.
Hal ini dilakukan untuk mengungkap berbagai teori, pandangan hidup dan pemikiran-pemikiran
orisinal keduanya.
Di dalam ilmu tafsir dikenal beberapa
metode penafsiran al-Qur'an, seperti dikemukakan al-Farmawi, yaitu tahlili,
ijmali, muqaran dan maudu’i.[16]
Penelitian ini berupaya mengkaji pandangan al-Tabari dan al-Tabataba'i tentang "imam"
dalam karya tefsir mereka. Metode muqaran (komparatif) sebagai salah satu
metode yang berkembang dalam dunia penafsiran, menjadi pilihan yang tepat
dipergunakan dalam penelitian ini. Karena metode ini selain menghimpun sejumlah
ayat yang dijadikan obyek studi juga berusaha membandingkan pendapat dua
penafsir tersebut diatas untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan identitas
dan pola berpikir masing-masing penafsir serta orientasi dan aliran yang mereka
anut.[17]
E. Telaah Pustaka
Pembahasan mengenai "imam"
sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Dalam kitab-kitab fiqih, uraian mengenai
"imam" selalu dikaitkan baik dalam masalah salat namun juga dibahas
secara mendalam ketika membicarakan prinsip-prinsip penyelenggaraan sebuah
negara Islam. Seperti kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah yang disusun oleh Imam
al-Mawardi. Juga kitab al-Imamah al-‘Udma yang disusun secara sistematis dan
lengkap oleh `Abd Allah ibn Umar al-Dumayji.
Uraian
mengenai "imam" juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab yang membahas
aliran-aliran teologi dalam Islam. Seperti dalam kitab Firaqun Mu`asirah
tantasibu ila al-Islam yang ditulis oleh Galib ibn ‘Ali ‘Iwaji, buku ini
memaparkan tentang aliran-aliran teologi yang muncul dalam Islam beserta latar
belakang sejarah yang mempengaruhi kemunculannya. Begitu juga buku yang ditulis
oleh Imam Muhammad Abu Zahrah berjudul
Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam dalam edisi terjemahan Indonesia, dalam
buku tersebut pembahasannya selain pada perbedaan-perbedaan teologis tetapi
juga perbedaan-perbedaan pandangan politik dalam lintasan sejarah Islam.
Kajian
yang lebih menekankan pada perbandingan Sunni dan Syi`ah secara lebih lengkap
dan sistematis dapat ditemukan seperti dalam buku yang ditulis oleh ‘Ali Ahmad
as-Salus, dengan judul Ensiklopedi Sunnah-Syi`ah dalam edisi terjemahan. Buku
ini berisi perbandingan Sunnah-Syi`ah dalam bidang aqidah dan tafsir pada jilid
I dan pada jilid II membahas tema hadis dan fiqih.
Dari
beberapa buku yang telah disebutkan diatas, ternyata belum didapati penelitian
yang khusus mengkaji perbandingan Sunni-Syi`ah tentang tema "imam"
dari sisi tafsir. Karenanya penelitian ini akan berupaya menyajikan uraian
mengenai "imam" dengan menjadikan tafsir Jami` al-Bayan `an Ta’wil
Ayi al-Qur’an yang ditulis oleh Abu Ja`far al-Tabari dan tafsir karya Muhammad
Husayn al-Tabataba'i dengan judul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an sebagai acuan
dasar dan membahas kedua tafsir tersebut secara komparatif.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mengetahui gambaran keseluruhan
pembahasan penelitian ini, berikut akan dikemukakan beberapa bahasan pokok
dalam tiap bab.
Bab pertama, pendahuluan, meliputi latar
belakang masalah untuk memberikan penjelasan secara akademik mengapa penelitian
ini perlu dilakukan dan apa yang melatar-belakanginya. Kemudian rumusan masalah
yang dimaksudkan untuk mempertegas pokok-pokok masalah yang akan diteliti agar
lebih terfokus. Setelah itu, dilanjutkan dengan tujuan penelitian untuk
menguraikan pentingnya penelitian ini. Adapun metode dan langkah-langkah
penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana cara yang dipergunakan
penulis dalam penelitian ini. Metode apa yang dipergunakan serta bagaimana
langkah-langkah penelitian yang akan dikerjakan. Sedangkan telaah pustaka,
untuk memberikan gambaran tentang letak ke-baru-an penelitian ini bila
dibandingkan penelitian-penelitian yang telah ada.
Bab kedua, membahas tentang biografi
al-Tabari dan al-Tabataba'i. Baik data-data riwayat hidup dan latar belakang
pendidikan, juga menelaah karya-karya yang telah mereka hasilkan terutama mengkaji
metode penafsiran yang dipergunakan keduanya agar diperoleh pola pemikiran
mereka yang utuh.
Bab ketiga, memaparkan bentuk-bentuk
pengungkapan "imam", yang terdiri dari pengertian "imam"
secara umum, selanjutnya mengkaji penafsiran al-Tabari tentang "imam"
dalam tafsir Jami` al-Bayan `an Ta'wil Ayi al-Qur'an dan penafsiran
al-Tabataba'i dalam tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an. Kemudian mengadakan
analisa komparatif terhadap penafsiran "imam" sebagaimana telah
dibahas sebelumnya. Bagian ini merupakan analisa penulis untuk mengetahui
persamaan dan perbedaan penafsiran dari kedua tokoh tersebut, baik dari aspek
metode maupun substansi penafsiran, serta menelaah sebab-sebab adanya persamaan
dan perbedaan di antara keduanya.
Bab Keempat, penutup yang meliputi kesimpulan dan
saran-saran.
[1] Q.
s. Hud (11): 1.
[2] Q.
s. Saba ’ (34): 28 dan al-Anbiya’ (21): 107.
[3] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 150.
[4]
Term tafsir terambil dari kataيفسر - فسر (fassara-yufassiru)
yang berarti menerangkan dan menjelaskan. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan tafsir adalah penjelasan Kalam Allah yang merupakan
mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Lihat misalnya: Muhammad Husayn
al-Zahabi (selanjutnya ditulis al-Zahabi), al-Tafsir wa al-Mufassirun,
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), Jilid I, hlm. 15.
[5]
Imam Muhammad Abu Zahrah (selanjutnya disebut: Abu Zahrah), Aliran Politik
dan Aqidah dalam Islam, terjemahan ‘Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib
berjudul “Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah”, (Jakarta: Logos, 1996), hlm.
19.
[6] Ibid.,
hlm. 33.
[7]
Istilah Syi`ah secara etimologis berarti para penolong dan pengikut seseorang,
sebuah kelompok masyarakat yang berkumpul dan bersatu untuk suatu keperluan.
Secara terminologis berarti sebuah sebutan bagi orang yang memuliakan sahabat
`Ali atas para sahabat lainnya (Abu Bakr, `Umar dan `Usman) dan berpendapat
bahwa kepemimpinan umat Islam lebih berhak diserahkan kepada Ahl al-Bayt-
anak cucu Nabi e dari jalur
Fatimah az-Zahra- sedangkan dari selain Ahl al-Bayt tidak dapat
diterima. Lihat: Galib ibn `Ali ‘Iwaji, Firaqun Mu`asirah tantasibu ila
al-Islam, (Madinah: Dar Layyinah, 1998 M/1418 H), Jilid I, hlm. 168-171.
[8]
Melihat keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki tafsir ini, sangatlah wajar
bila tafsir ini mempunyai nilai dan posisi yang cukup tinggi diantara
tafsir-tafsir lain yang ada. al-Nawawi pernah menyatakan bahwa para ulama
sependapat bahwa tidak ada satu kitab
tafsir pun yang lebih tinggi nilainya daripada kitab tafsir ini. Sejalan dengan
yang disampaikan M. Watt yang berpendapat bahwa karya ini merupakan suatu
ikhtisar segala jenis penafsiran terbaik dari tafsir tradisional yang awal,
karena dari karya yang ekstensif ini dapat diperoleh banyak informasi
tentang penafsiran-penafsiran yang dikemukakan para penafsir awal. Lihat: :
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyat dalam Tafsir al-Tabari dan
Tafsir Ibn Kasir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999 M), hlm. 68.
[9]
Sayyid Husayn Nasr menilai bahwa karya-karya al-Tabataba'i merupakan suatu
karya yang sepenuhnya otentik dari sudut pandang Syi`ah yang mampu
menggabungkan ilmu fiqh, tafsir, filsafat, teosofi dan tasawuf, dimana jumlah
ulama Syi`ah yang menguasai disiplin tersebut diatas masih sedikit. Lihat:
Sayyid Husayn Nasr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Tabataba'i, Islam Syi`ah
Asal-Usul dan Perkembangannya, terjemahan M. Wahyudin, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1989), hlm. 19.
[10]
Abu Zahrah, op. cit., hlm. 87-88.
[11]
'Abd Allah al-Dumayji, al-Imamah al-‘Uzma, (Riyad: Dar Tayyibah, 1409
H), hlm. 29.
[12]
Rukun iman menurut faham Syi`ah adalah: Pertama; Percaya kepada
ke-Esa-an Allah, Kedua; Percaya kepada keadilan, Ketiga; Percaya
kepada kenabian, Keempat; Percaya kepada Imamah, Kelima; Percaya
kepada hari Ma`ad/Kiamat. Lihat pada: Irfan Zidny, Bunga Rampai Ajaran
Syi’ah dalam kumpulan makalah “Seminar Sehari tentang Syi’ah”, (Jakarta : LPPI, 2000),
hlm. 30-31.
[13]
Lihat misalnya: Abu Na’im al-Asbahani, Kitab al-Imamah wa al-Radd ‘ala
al-Rafidah, (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1415 H/1994 M), hlm.
25-26. Ali Ahmad as-Salus (selanjutnya disebut: as-Salus), Ensiklopedi
Sunnah-Syi`ah, terjemahan Bisri Abdussomad, dkk., (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2001), Jilid I,
hlm. 29-33.
[14]
Lihat pada: Nabhan Husayn, Tinjauan Ahl al- Sunnah terhadap Faham Syi`ah
tentang al-Qur’an dan Hadis, dalam Kumpulan makalah “Seminar Sehari tentang
Syi`ah”, op. cit., hlm. 92-98. Lihat juga: as-Salus, op.cit.,
hlm. 488.
[15]
Lihat pada: as-Salus, op. cit., hlm. 483-484. al-Zahabi, op.cit.,
Jilid III, hlm. 96.
[16]
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i: Suatu Pengantar,
terjemahan: Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996),
hlm.11.
Post a Comment
Post a Comment