Konsep dasar kepemimpinan dalam Islam

Post a Comment
Kepemimpinan

KONSEP DASAR KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
( PENAFSIRAN HAMKA TENTANG SURAT ANNISA AYAT 58 DAN 59 DALAM TAFSIR AL AZHAR)
A. Latar Belakang Masalah

Al Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad agar menjadi pedoman hidup bagi segenap manusia yang berfungsi sebagai huudan (petunjuk) dan bayyinah (penjelas) atas petunjuk yang telah diberikan serta furqon (pembeda) antara yang haq (benar) dan yang bathil (salah)[1]. Fungsi tersebut bertujuan agar manusia dapat hidup dengan berlandaskan moral dan akhlak yang mulia. Di samping mengandung nilai moral, al Qur’an juga berisikan azas atau fondasi yang kokoh bagi semua prinsip dasar yang diperlukan oleh manusia. Apabila dicermati, Al-Qur’an tidak mengkhususkan pembicaraannya hanya kepada suatu bangsa seperti bangsa Arab saja, ataupun suatu kelompok seperti kaum muslimin saja, melainkan kepada seluruh manusia.



Penafsiran al-Qur’an adalah suatu hasil karya yang dihasilkan oleh manusia melalui ilmu-ilmu terkait yang membahas tentang hal ihwal al-Qur’an, dari segi indikasi akan apa yang dimaksud oleh Allah. Berdasarkan beberapa rumusan tafsir yang dirumuskan oleh para ulama maka tafsir adalah “suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyikapi nilai-nilai samawi yang terdapat dalam al-Qur’an[2]. Perjalanan ilmu tafsir itu sendiri telah ada pada zaman Nabi Muhammad SAW yang mana beliau akan menjelaskan apa-apa saja yang dirasa masih diperlukan penjelasan dari setiap ayat al Qur’an dan kemudian penjelasan tersebut kita kenal sebagai Hadist. Selanjutnya sepeninggal Nabi penafsiran dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, ulama, dan para pemikir Islam lainnya.

Karena tafsir itu sendiri merupakan usaha manusia untuk memahami al Qur’an, maka wajar jika terjadi penafsiran yang berbeda antara satu penafsir dengan yang lain tentang pemaknaan suatu term. Salah satunya adalah ketika membahas mengenai konsep kepemimpinan. Sejarah telah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan politik atau yang biasa disebut persoalan al-Imamah (kepemimpinan). Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar (w. 13 H/634 M) sebagai khalifah, namun dalam waktu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali dalam lingkungan umat Islam. Kalau pada pertama kalinya, perselisihan yang terjadi adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, maka pada kali ini perselisihan yang terjadi adalah antara khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 41 H/661 M) dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan (w. 64 H/689 M) dan berakhir dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Mu`awiyah sebagai khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.

Persoalan-persoalan tersebut mencuat ke permukaan dikarenakan al-Qur`an maupun al-Hadis sebagai sumber hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara pasti mengenai sistem pemerintahan dalam Islam, konsepsi kekuasaan dan kedaulatan serta ide-ide tentang konstitusi.[3]

Dalam al Qur’an term bahasa Arab yang secara eksplisit bermakna negara atau pemerintahan (Daulah dan Hukumah) tidak pernah disebut-sebut dengan pasti. Selain itu Nabi sendiri tidak memberikan konsep pemerintahan yang baku dan mapan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan. Demikian pula bentuk negara dalam Islam bukan merupakan hal yang essensial, karena yang essensial adalah unsur-unsur, sendi-sendi, dan prinsip-prinsip dalam menjalankan pemerintahan.[4]

Kemudian terjadi perkembangan yang baru pada abad XIX akibat terjadinya kontak peradaban dengan dunia Barat. Kaum pembaru dalam dunia Islam berusaha melakukan pembaruan dengan menerapkan nilai-nilai Barat atau dengan menggali dan mengkaji ulang ajaran-ajaran Islam ataupun dengan memadu kedua unsur-unsur tersebut. Gerakan pembaruan ini berdampak antara lain dalam kehidupan politik. Kerajaan Turki Usmani yang dipandang sebagai khilafah dan pemerintahan Islam sedunia tidak dapat mempertahankan eksistensinya, ia dibubarkan pada bulan Maret 1924 setelah pembentukan Negara nasional sekuler Republik Turki tanggal 29 Oktober 1923.[5] Dengan demikian institusi yang dipandang sebagai lambang supremasi politik Islam telah lenyap.

Kenyataan akan kemunduran kerajaan-kerajaan besar Islam dalam abad XVIII membangunkan dunia Islam untuk mengamati dan mempelajari kekalahannya dan mencari pemecahan masalah yang dihadapi. Kerajaan Turki Usmani mencoba mengambil peradaban Barat yang lebih maju terutama dalam bidang teknik dan kemiliteran. Sedang di India tampil Ahmad Syah Waliyullah bin Abd al-Rahman al-Dahlawi (1703-1762 M) mengemukakan gagasan agar sistem pemerintahan yang telah dikembangkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun (para khalifah yang mendapat petunjuk).

Dua abad berikutnya Pemikiran politik yang berkembang bercabang dari dua pola pemikiran di atas. Pengambilan dan penerapan nilai-nilai kebudayaan Barat (Westernisasi) dapat dibedakan atas bentuk ekstrem dan bentuk moderat. Westernisasi ekstrem terlihat dalam Kemalism (Aliran Kemalis, Kemalisme) yang berhasil mendirikan Republik Turki (1923 M) dan membebaskan segala institusi politik dari kekuasaan agama. Sedangkan Westernisasi moderat terlihat dalam pemikiran kelompok Turki Muda, khususnya pada tokoh-tokoh seperti Ahmad Riza (1859-1931 M) dan Pangeran Sahabuddin (1877-1948 M). Mereka ingin menerapkan nilai-nilai kebudayaan Barat yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam seperti ajaran konstitusi dan ajaran mengenai pengembangan kemampuan berdiri sendiri. Pada sisi lain aliran yang bertumpu pada ajaran Islam dapat pula dibedakan atas pemikiran yang ingin mengembalikan ajaran Islam yang bersumber al-Qur`an dan Sunnah dan yang bersumber dari fiqih para imam madzhab dan para mujtahid pengikut mereka dan pemikiran yang bermaksud mengembangkan konsepsi-konsepsi dari al-Qur`an dan Sunnah. Aliran pertama yang dapat disebut sebagai aliran tradisional dalam konteks pembaharuan di Turki terlihat dalam pemikiran Nemik Kemal (1840-1888 M). Meskipun ia menghendaki pembaruan, tetapi ia tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang ada. Aliran kedua yang dapat disebut dengan meminjam istilah Linguistik sebagai “Puritanisme”, atau mempertahankan kemurnian.[6] Jamal al-Din al-Afghani (1839-1877 M) yang menjadi pelopor Pan Islamisme adalah contoh pemikir puritanisme dari kalangan pembaru di Mesir.
Berangkat dari pemikiran dan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji pemahaman dan penafsiran Hamka tentang konsep kepemimpinan dalam tafsirnya,yaitu Tafsir Al-Azhar.

B. Pembahasan

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. (QS. An-Nisaa’: 58)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”(59).

1. Keterkaitan Ayat
Pada ayat 58 terdapat kata (أن تؤدوا الأمانات) yang berarti menyampaikan amanat, memiliki kesesuaian dengan kata (أطيعوا) pada ayat 59. Pada ayat 58 Allah memerintahkan kepada semua umat manusia untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, kemudian pada ayat 59 Allah memerintahkan taat kepada ulil amri daripada kamu, tentu saja tidak sembarang ulil amri memiliki wewenang untuk ditaati, salah satu kriterianya ialah mereka (ulil amri) yang menyampaikan amanat kepada yang berhak yaitu umat/masyarakat. Karena memang pemimpin/ulil amri harus mempunyai sifat amanat, agar masyarakat taat kepadanya.
Lalu, pada ayat 58 terdapat kata (أن تحكموا بالعدل) yang berarti “kamu menetapkan dengan adil” dan pada ayat ke-59 terdapat kata (فإن تنازعتم في شيئ فردوه إلى الله و الرسول), setiap ulil amri pasti mempunyai permasalahan dalam membina dan memimpin rakyatnya, oleh karena itu dalam menetapkan suatu perkara harus adil, jangan sampai keputusan tersebut tidak jelas kepastiannya. Lalu apa yang harus dilakukan ulil amri agar adil dalam menetapkan suatu permasalahan? Tentunya jika terdapat perselisihan pendapat ataupun kesalah fahaman pada suatu perkara, hendaknya mereka merujuk kembali atau mengembalikan hal tersbut kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah), sehingga mereka memberi keputusan dengan adil.
Kemudian pada ayat 58 terdapat kata (نعما يعظكم به) dan (أحسن تأويلا) pada ayat ke-59. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada manusia dan pengajaran dari Allah-lah yanglebih utama bagi manusia dan lebih baik akibatnya.
Penafsiran Ayat
2. Asbab Nuzul

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais ketika diutus oleh Nabi saw. memimpin suatu pasukan. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya yang bersumber dari Ibnu Abbas dengan riwayat ringkas.
Menurut Imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalah gunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin Hudzafah itu adalah sebagai berikut: “Di saat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian menolak dan sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api”. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka berdasarkan hadis yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa ia tidak taat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin Hudzafah, munasabah disangkut pautkan dengan alasan turunnya ayat ini, karena dalam kisah itu dituliskan adanya perbatasan antara taat pada perintah (pimpinan) dan menolak perintah, untuk terjun ke dalam api. Di saat itu mereka perlu akan petunjuk apa yang harus mereka lakukan. Ayat ini turun memberikan petunjuk kepada mereka apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Menurut Ibnu Jarir bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Ammar bin Yasir yang melindungi seorang tawanan tanpa perintah Panglimanya (Khalid bin Walid) sehingga mereka berselisih.[8]

D. Penafsiran Hamka
Ayat ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa masyarakat manusia, dan di sini dikhususkan masyarakat orang yang beriman, mestilah tunduk kepada peraturan. Peraturan Yang Maha Tinggi ialah Peraturan Allah. Inilah yang pertama wajib ditaati. Allah menurunkan peraturan itu dengan mengutus Rasul-rasul, dan penutup segala Rasul itu ialah Nabi Muhammad saw.. Rasul-rasul membawa undang-undang Tuhan yang termaktub di dalam Kitab-kitab suci, Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran. Maka isi Kitab suci itu semuanya, pokoknya ialah untuk keselamatan dan kebahagiaan kehidupan manusia. Ketaatan kepada Allah mengenai tiap-tiap diri manusia walaupun ketika tidak ada hubungannya dengan manusia lain. Umat beriman disuruh terlebih dahulu taat kepada Allah, sebab apabila dia berbuat baik, bukanlah semata-mata mengharapkan keuntungan duniawi. Dan jika dia meninggalkan berbuat suatu pekerjaan yang tercela, bukan pula karena takut kepada ancaman manusia. Dengan taat kepada Allah menurut agama, berdasar iman kepada Tuhan dan Hari Akhirat; manusia dengan sendirinya menjadi baik. Sebab itu maka taat kepada Tuhan menjadi puncak yang sebenarnya daripada seluruh ketaatan. Undang-undang suatu Negara saja tidaklah menjamin keamanan masyarakat. Kalau tidak disertai oleh kepercayaan manusia yang bersangkutan bahwa ada kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaan manusia akan menghukum jika dia berbuat salah.
Kemudian orang yang beriman diperintahkan pula taat kepada Rasul. Sebab taat kepada Rasul adalah lanjutan dari taat kepada Tuhan. Banyak perintah Tuhan yang wajib ditaati, tetapi tidak dapat dijalankan kalau tidak melihat contoh teladan. Maka contoh teladan itu hanya ada pada Rasul. Dan dengan taat kepada Rasul barulah sempurna beragama. Sebab banyak juga orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi dia tidak beragama. Sebab dia tidak percaya kepada Rasul.
Kemudian diikuti oleh taat kepada Ulil-Amri-Minkum, orang-orang yang menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa di antara kamu, atas daripada kamu. Minkum mempunyai dua arti. Pertama di antara kamu, kedua daripada kamu. Maksudnya, yaitu mereka yang berkuasa itu adalah daripada kamu juga, naik atau terpilih atau kamu akui kekuasaannya, sebagai satu kenyataan.[9]
Kemudian berkatalah sambungan ayat: “Maka jika bertikaian kamu dalam suatu hal, hendaklah kamu kembalikan dianya kepada Allah dan Rasul.” Syukur kalau hasil musyawarat adalah kebulatan bersama yang memberi maslahat bagi bersama, sehingga mudah dijalankan. Tetapi sewaktu-waktu tentu timbul perselisihan pendapat di antara Ulil-Amri itu, atau Ahlul-Halli wal ‘Aqdi itu. Maka kalau terjadi selisih di antara yang bermusyawarat atau diajak bermusyawarat, perbandingkanlah perselisihan itu kepada ketentuan Allah dan Rasul. Ketentuan Allah dan Rasul baik yang berupa Nash dari Al-Quran dan Hadis, ataupun kepada Roh-Syariat, dengan menilik pendapat ahli-ahli Islam yang terdahulu atau dengan memakai qiyas perbandingan. Niscaya sudah terang bahwa suatu musyawarat urusan kenegaraan tidaklah bermaksud yang buruk, yang hendak menganiaya kepada orang banyak, sedang maksud Allah dan Rasul memang itu.
Asal seluruh yang musyawarat ingat bahwa taat kepada Allah dan Rasul adalah pokok pertama, karena mereka adalah orang-orang yang beriman, pertikaian fikiran akan dapat diselesaikan apabila telah dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Dan kalau masih ada selisih karena hawa nafsu saja, Penguasa Tertinggi atau Imam al-A’zham dapat mengambil tanggungjawab untuk memutuskan mana yang dia sukai yang menurut Ijtihadnya itulah yang lebih dekat kepada kehendak Allah dan Rasul. Sebab itu maka di ujung ayat dijelaska: “Jika memang kamu percaya kepada Allah dan Hari Akhirat.” Kalau tidak percaya kepada Allah dan Hari Akhirat, tentulah siapa yang kuat itulah yang di atas, dan siapa yang lemah, itulah yang tertindas, sehingga bukan kebenaran jadi tujuan, tetapi hanya semata-mata kekuatan.“Itulah yang sebaik-baik dan seelok-elok pengertian.”[10]

F. Kesimpulan 
Tempat taat yang pertama ialah Allah, kedua ialah Rasul, ketiga ialah Ulil-Amri atau Penguasa. Penguasa itu hendaklah minkum, daripada kamu. Dia berkuasa karena kamu percayai (amanat) dan dia berkuasa karena kamu pilih. Dan dia adalah dari kalangan kamu sendiri. Kalau terjadi perselisihan, hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasul jua. Hal ini terjadi jika Ijtihad Ulil-Amri tidak sesuai dengan pendapat umum.
G. Daftar Pustaka
Ahmad Hakim, M. Thalhah, Politik Bermoral Agama : Tafsir Politik Hamka, Yogyakarta
: UII Press , 2005.
Hamka, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1999.
Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor, 1985.
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975.
M. Sirojuddin Syamsuddin, “Pemikiran Politik” (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam), dalam Refleksi Pembaharuan Islam, Jakarta : LSAF, 1989.
Muhammad Damami, Tasawuf Positif: dalam Pemikiran Hamka.Yogyakarta: Fajar Pustaka,  2000.
Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-Masalah Teori politik Islam, Bandung: Mizan, 1994.
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993.
Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta: Pustaka Amani, 2001
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988.



[1] Hal ini disebutkan dalam al Qur’an surat al Baqarah: 185 dan juga disebutkan dalam sebuah hadits Nabi Riwayat Turmudzi dalam bab fadha’ilul a’mal.
[2] Definisi ilmu Tafsir ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam At-Tibyan fi Ulumil Qur’an.
[3] M. Sirojuddin Syamsuddin, “Pemikiran Politik” (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam), dalam Refleksi Pembaharuan Islam, Jakarta : LSAF, 1989, hal. 252.
[4] Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor, 1985, hal. 10.
[5] Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975, hal. 154.

[6] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988, hal. 711. Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Jakarta : Gramedia, 1983, hal. 141.
[7] QS An-Nisa 4:58-59
[8] Shaleh, Asbabun Nuzul Latar Belakang Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an. Hlm. 139.
[9] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz 5. Hlm. 127-128.
[10] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz 5. Hlm. 133-134.


Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter