A.
BIOGRAFI
Martin
Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman,
26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang
filsuf asal Jerman. Heidegger dilahirkan di sebuah keluarga desa di Mebkirch,
Jerman, dan diharapkan kelak menjadi seorang pendeta. Keluarganya tidak cukup
kaya untuk mengirimnya ke universitas, dan ia membutuhkan beasiswa. Untuk
maksud tersebut, ia harus belajar agama. Di masa remajanya, ia dipengaruhi oleh
Aristoteles yang dikenalnya lewat teologi Kristen. Ketika ia belajar sebagai
mahasiswa, ia meninggalkan teologi dan beralih kepada filsafat, karena ia
menemukan sumber pendanaan lain untuk studinya.
Heidegger
mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana, kaum
fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa
diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak.
Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger
adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi
seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang
"Ada". Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu)
dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal
dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama
dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh
Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dari Plato
hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha
mendasarkan ada di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikat atau
makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk kita pahami.
B.
PEMIKIRAN HEIDEGGER
Martin
Heidegger adalah murid dari Husserl. Heidegger
mengembangkan filsafat Husserl ke level ontologi, yakni refleksi mengenai
realitas keseluruhan sebagai “Ada”. Heidegger adalah seorang yang sangat ahli
di dalam metode Sokratik. Di dalam kuliah-kuliahnya, ia seringkali mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tajam kepada para pendengar kuliahnya, supaya mereka
menjadi bingung, dan mempertanyakan semua asumsi-asumsi pemikiran yang mereka
miliki, serta dapat memulai diskusi dengan pemikiran terbuka.
Proyek
utama filsafat Heidegger adalah mempertanyakan makna “ada”. Konsep itu sendiri
memang sudah menjadi bagian dari refleksi filsafat selama berabad-abad.
Heideggerlah yang kemudian menggunakan kembali konsep tersebut di dalam
filsafatnya. Namun apa sesungguhnya arti kata Ada? Apa arti penting dari konsep
itu? Di dalam filsafat Heidegger, kata itu sendiri memiliki beragam makna.
Salah satu komentator otoritatif atas filsafat Heidegger yang bernama Hubert
Dreyfus pernah berpendapat, bahwa Ada adalah latar belakang dari semua tindakan
keseharian manusia yang dapat dipahami dengan akal budi. Thomas Sheehan, ahli
Heidegger lainnya, berpendapat bahwa konsep Ada merupakan konsep yang mencakup
keseluruhan realitas. Ada adalah konsep yang ada di dalam setiap bentuk
pengetahuan manusia tanpa terkecuali.
Menurut
penelitian yang dibuat oleh Frede, pertanyaan yang menggantung di seluruh
filsafat Heidegger sebenarnya adalah, apa maksud sesungguhnya dari konsep Ada?
Di dalam filsafat pertanyaan ini berada di ranah ontologi, yakni penyelidikan
tentang Ada yang merupakan dasar dari seluruh realitas. Maka dapat juga
dikatakan, bahwa filsafat Heidegger berfokus pada ontologi. Namun ontologi
Heidegger tidak sama dengan ontologi yang sudah ada sebelumnya. Searah dengan
perjalanan waktu, makna dari pertanyaan tentang Ada pun sudah berubah.
Tentu
saja bagi banyak orang, terutama yang tidak berkecimpung secara khusus di dalam
dunia filsafat, pertanyaan yang diajukan Heidegger tampak agak bodoh. Jika
ditelusuri secara mendalam, konsep Ada sebenarnya ada di dalam setiap hal,
seperti ada
batu, ada manusia,
ada
hewan, dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang
menempati ruang dan waktu tertentu di alam semesta ini memiliki ada.
Segala sesuatu berada. Lalu konsep ada
manakah sebenarnya yang dimaksud Heidegger? Ataukah ia mencari Ada yang
mendasari seluruh realitas? Jika dilihat dari karya-karyanya, Heidegger hendak
menemukan Ada yang mendasar ada-ada lainnya, yang terdapat memang terdapat di
semua hal. Maka dari itu pertanyaan tentang ada haruslah diubah menjadi, apakah
yang dimaksud dengan Ada yang mendasari ada-ada lainnya di dalam realitas?.
Heidegger
banyak mendasarkan pikirannya pada filsafat Yunani Kuno. Ia banyak mendapatkan
inspirasi dari mereka di dalam prosesnya mempertanyakan makna ada, walaupun
nantinya Heidegger akan mengembangkan rumusannya sendiri. Menurut penelitian
Frede ketertarikan Heidegger pada masalah Ada dan ontologi secara keseluruhan
dimulai, ketika ia membaca tulisan Franz Brentano yang berjudul On the
Several Sense of Being in Aristotle.
Heidegger
sendiri pun membutuhkan waktu lama untuk melampaui tradisi berpikir
Aristotelian ini. Bahkan menurut Frede tulisan-tulisan Heidegger sebelum Being
and Time, seperti pada The Doctrine of Judgment in Psychologism
(yang merupakan disertasi doktoralnya) dan The Theory of Categories and Meaning of Duns
Scotus, tidak menunjukkan orisinalitas ataupun pemikiran-pemikiran
revolusioner.
Walaupun
tidak dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner, pemikiran-pemikiran Heidegger
muda sebenarnya juga mengandung argumen yang kuat. Ia berpendapat bahwa makna
dari kesadaran manusia tidak akan pernah bisa didapatkan hanya dengan sekedar
mengamati realitas dengan panca indera. Argumen ini membawanya kepada
fenomenologi Edmund Husserl. Kesadaran manusia berbeda dengan apa yang
disadarinya sebagai ada. Dalam hal ini kita perlu membedakan isi pikiran itu
sendiri, dengan obyek dari pikiran tersebut. Orang bisa berpikir tentang
makanan. Namun satu hal yang pasti, bahwa pikiran itu sendiri bukanlah makanan.
Arti dari pikiran berbeda dengan tindak berpikir. Begitu pula konsep Ada itu
sendiri berbeda dengan ada-ada lainnya yang melekat di dalam segala sesuatu
yang ada di dalam realitas.
Sewaktu
muda pikiran Heidegger belum menyentuh upaya untuk merumuskan konsep Ada
sebagai sesuatu yang utuh dan universal. Ia masih melihat ada sebagai sesuatu
yang melekat pada benda-benda lainnya. Perkembangan pesat di dalam pemikiran
Heidegger muncul, ketika ia menyelesaikan karya keduanya, yakni tentang
pemikiran Duns Scotus. Heidegger tertarik pada pemikiran Duns Scotus, karena ia
adalah filsuf pertama yang menolak sistem kategori dan substansi Aristoteles.
Bagi Scotus sistem Aristoteles tidaklah mencukupi untuk memahami konsep Tuhan.
Memang Scotus adalah seorang filsuf abad pertengahan yang berusaha memberikan
pemahaman rasional terhadap konsep Tuhan. Baginya Tuhan tidak sama dengan
substansi. Kebaikan Tuhan juga tidak sama dengan kebaikan di dalam benda-benda
lainnya.
Menurut
Heidegger pemikiran Scotus sudah membuka kemungkinan untuk mengembangkan
refleksi tentang Ada yang sama sekali baru. Dalam arti ini ada tidak hanya
berlaku untuk benda-benda, tetapi juga untuk manusia. Dengan kata lain ada
menjadi bagian dari seluruh realitas, termasuk realitas hakiki manusia.
Pertanyaan tentang ada bergeser menjadi pertanyaan tentang relasi antara
manusia dengan dunia. Bagi Scotus relasi antara dunia dan manusia melibatkan
konsep subyektivitas. Subyektivitas membuat manusia mampu memaknai dunianya,
dan proses pemaknaan itu selalu melibatkan jaringan makna yang lebih luas.
Tugas filsuf menurut Heidegger adalah menjelaskan jaringan makna yang melatarbelakangi
tindak pemaknaan atas dunia tersebut. Jaringan makna itu adalah struktur dari
realitas. Itulah Ada.
Namun
menurut Scotus konsep ada berbeda-beda untuk setiap hal. Ia kemudian membedakan
dua hal, yakni ada dari alam (being of nature) dan ada dari akal
budi (being of
reason). Dalam arti ini kebenaran yang ada di dalam akal budi tidak
otomatis sama dengan kebenaran yang ada di dalam alam. Pikiran adalah penanda.
Sementara benda di alam adalah petanda. Penanda dan petanda memang berhubungan,
tetapi tidak selalu sama. Tanda untuk menunjukkan dilarang merokok tidak harus
sama dengan orang yang ingin dilarang untuk merokok bukan? Dalam hal ini
Heidegger sependapat dengan Scotus. Heidegger pun menolak teori cermin tentang
realitas. Ia menolak bahwa pikiran kita sungguh mencerminkan apa yang ada di
dalam realitas.
Satu
hal dari pemikiran Scotus yang kiranya sungguh mempengaruhi Heidegger adalah,
bahwa walaupun pikiran dan realitas itu tidak selalu sama, namun keberadaan
realitas itu sendiri ditentukan oleh pengertian subyek tentangnya. Inilah yang
disebut sebagai subyektivitas yang obyektif (objective subjectivity). Yang
obyektif adalah adalah yang diberikan sebagai obyektif (object-givenness)
oleh bahasa kepada pikiran manusia. Di dalam karya terbesarnya yang berjudul Being
and Time, Heidegger menitikberatkan keterkaitan antara bahasa,
penafsiran, dan alam obyektif. Pemahaman manusia tidak pernah merupakan
pemahaman tentang dunia pada dirinya sendiri, melainkan selalu sudah
dijembatani oleh bahasa dan penafsiran. Dan penafsiran maupun bahasa selalu
sudah tertanam di dalam jaringan makna kultural tertentu.
Fenomenologi
sebagai Ontologi
Dalam
arti apakah fenomenologi menjadi ontologi di tangan Heidegger? Fenomenologi
adalah ilmu tentang fenomena. Secara spesifik fenomenologi ingin kembali kepada
obyek itu sendiri. Artinya fenomenologi menolak semua rumusan teori, asumsi,
maupun prasangka yang seringkali justru mengaburkan proses untuk mencapai pengetahuan.
Fenomenologi ingin memahami esensi dari kesadaran manusia sebagaimana dilihat
dari sudut pandang orang pertama. Di tangan Husserl fenomenologi menjadi suatu
displin tersendiri yang berbeda dari ilmu-ilmu manusia lainnya.
Heidegger
melihat potensi besar di dalam fenomenologi. Namun ia tidak lagi menggunakannya
semata untuk memahami esensi kesadaran manusia. Fokus dari filsafat Heidegger
adalah untuk memahami ada. Jadi dia menerapkan fenomenologi untuk memahami ada.
Dalam arti inilah fenomenologi berubah menjadi ontologi. Untuk memahami ada
Heidegger awalnya mencoba memahami mahluk penanya ada, yakni manusia itu
sendiri, yang selalu berelasi dengan dunia. Manusia dan dunia adalah satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Manusia dan dunia itulah ada itu sendiri. Ada
yang tidak terjebak pada ada-ada lainnya di dalam realitas, melainkan ada yang
menjadi realitas itu sendiri. Filsafat Heidegger adalah suatu upaya untuk
memahami Ada yang menyingkapkan dirinya.
Apa yang ditulis Heidegger sebagai
hermeneutika tidak bisa dipahami dalam pengertian pemahaman yang subjektif.
Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode pengungkapan realitas. Hermeneutika
adalah hakikat keberadaan manusia yang menyingkap selubung Ada (Sein).
Ia tidak berada dalam pengertian subjek-objek, dimana pemahaman tentang objek
berangkat dari persepsi kategoris dalam diri subjek. Subjek tidak memahami
sejauh objek tidak mengungkapkan diri. Subjek tergantung kepada pengungkapan
objek. Dan sebetulnya term subjek dan objek di sini tidak tepat, sebab Dasein
adalah seinde yang memiliki kemampuan yang lain. Dikatakan Dasein
karena cara beradanya berbeda dengan benda-benda lain (seinde) yang ada
begitu saja. Dasein berarti mengada di sana. Terdapat nuansa aktifitas
dari Dasein. Dasein adalah satu-satunya seinde yang secara
ontologis mampu keluar dari dirinya sendiri (Existenz) guna menguakkan
adanya sendiri dan adanya seinde lainnya
Ada tidak senantiasa menguakkan dirinya, oleh karenanya ia selalu merupakan
kemungkinan, mungkin ada dan mungkin juga tiada. Oleh karena itu, pemahaman
yang ditentukan oleh penyingkapan Ada, juga berada pada posisi kemungkinan,
mungkin ada dan mungkin tiada. Dalam Being and Time, Heidegger
mengatakan: “As understanding, Dasein projects its Being upon possibilities.”
Kehidupan, pada dasarnya, berjalan di atas kemungkinan-kemungkinan.
Kemungkinan-kemungkinan itu terejawantah dalam diri manusia. Manusia selalu
berada di antara kemungkinan manifestasi sesuatu dan ketidak-manifestasian
sesuatu. Ia tidak menguasainya, tetapi menjadi gembalanya. Manusia bukan
penguasa atas apa yang ada, melainkan gembalanya, penjaganya.
Sekalipun Heidegger masih tidak
mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau berpikir dan yang
diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa dipisahkan sama
sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi digunakan dalam
pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi anutan kesadaran.
Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang menunjukkan
dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis karena ia
merupakan hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi) adalah Dasein
itu sendiri. Berpikir, dalam pengertian Heidegger, bukan menggambarkan, bukan
memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, melainkan bertanya
dan meminta keterangan, mendengarkan dengan penuh rasa hormat suara Ada,
menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada. Ketika manusia berpikir lalu
memahami, sesungguhnya ia tidak memenjarakan objek pemahaman. Pemahaman
dipahami bukan sebagai sesuatu yang harus dimiliki, melainkan sebagai bentuk
atau elemen keberadaan di dunia yang berkelanjutan. Ia bukan suatu entitas di
dunia, tetapi sebagai struktur dalam keberadaan yang memungkinkan terjadinya
pengalaman pemahaman aktual pada level empirik. Pemahaman adalah basis bagi
keseluruhan interpretasi; ia sama aslinya dengan keberadaan seseorang dan ia
ada dalam setiap prilaku interpretasi.
C.
KESIMPULAN
Hermeneutika
Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermenutika yang
berpusat pada
analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara pada skema
subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan
mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.
D.
REFERENSI
Martin
Heidegger, Being and Time, trans., John Macquarrie & Edward
Robinson, HarperSanFransisco,
London, 1962,
DR. W.
Poespoprodjo, L.Ph., SS, Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan
Filsafatinya, Remadja Karya,
Bandung, 1987.
Dorothea Frede, “The
Questions of Being: Heidegger’s Project”, dalam The Cambridge Companion to
Heidegger, Cambridge, Cambridge University Press, 1993.
Post a Comment
Post a Comment